Seorang pegawai bersama teman-temannya memperbincangkan tentang wajah para dosen dan juga karyawan.
Entah sekedar iseng atau serius, mereka ternyata sehari-hari memperhatikan
wajah-wajah para pimpinan, dosen, dan
karyawan yang ada di kampus tempat mereka
bekerja. Di antara para dosen, katanya
tidak sama. Ada yang sehari-hari ceria, murah senyum, dan juga pandai bergaul.
Tetapi sebaliknya, ada juga dosen yang entah karena bawaannya
sejak lahir, tampak tidak pernah senyum, wajahnya selalu muram atau masam, dan selalu
tampak bahwa seolah-olah dunia ini bagi
mereka tidak pernah dirasa menggembirakan. Wajah seperti itulah yang menjadi bahan
diskusi informal para karyawan yang sedang istirahat.
Tentu saja saya tidak ikut dalam diskusi itu. Saya mendapatkan
cerita itu dari salah satu di antara mereka yang kebetulan sedang bertemu dan
mengajak bergurau. Ia mengatakan bahwa
ternyata di kampus ini ada wajah-wajah aneh. Mereka tampak berwajah
marah, tetapi tidak diketahui apa sebenarnya yang sedang dimarahi.
Di kampus, menurut pendapat karyawan yang tidak mengenyam S1 itu, seharusnya tidak boleh ada orang yang menunjukkan wajah
cemberut, muram atau masam. Sebab di
kampus, siapapun yang akan ditemui
adalah para dosen, karyawan, dan mahasiswa yang selalu menginginkan kegembiraan
dan wajah-wajah ceria.
Umpama sebelum ke kampus, mereka sedang marah dengan
isteri atau dengan anak-anaknya, maka kemarahan itu mestinya tidak boleh di bawa ke luar rumah. Suasana batin yang sumbek,
dan agak marah seharusnya tidak
perlu diketahui orang, kecuali keluarganya sendiri. Sebab, orang sekantor
tidak memerlukan wajah muram. Wajah
seperti itu hanya akan mendatangkan
respon yang tidak simpatik.
Rupanya para pegawai tingkat bawah, sekalipun tidak berpendidikan terlalu tinggi
tersebut mengetahui wajah yang seharusnya ditampakkan di kampus. Bahkan, mereka juga mengetahui hubungan antara wajah
seseorang dengan demokrasi kampus. Bahwa
di alam demokrasi seperti sekarang ini
orang harus berwajah menyenangkan. Orang yang selalu menampakkan wajah muram,
dan apalagi suka marah, maka tidak akan
ditempatkan pada posisi strategis dan dipilih sebagai pemimpin pada tingkat
apapun.
Di era demokrasi, pemimpin selalu dipilih oleh mereka yang
dipimpin. Orang yang bisa menyenangkan orang lain, tampil
dengan wajah simpatik,
peduli, dan mampu memberi empatik kepada orang lain,
-------manakala yang bersangkutan memenuhi persyaratan, akan dipilih sebagai
pemimpin. Sebaliknya, orang yang selalu
berwajah muram, masam, dan angker, maka tidak akan dipilih orang. Demokrasi
ternyata mengharuskan orang berwajah cerita dan suka senyum.
Itulah sebabnya, foto-foto calon pemimpin yang diperkenalkan di pinggir-pinggir jalan tidak ada yang
berwajah muram, masam dan apalagi menampakkan wajah yang menggambarkan suka marah. Wajah dalam
foto tersebut tampak senyum, ceria, penuh harap dan
menyenangkan. Itulah demokrasi, foto
calon pemimpin saja yang ditampakkan adalah tatkala sedang bergembira.
Mendengarkan celotehan para karyawan tersebut, maka saya juga ikut berpikir, bahwa semestinya
para dosen, lebih-lebih yang sudah bergelar Doktor, dan ditambah lagi bidang studinya adalah kajian Islam, mestinya
selalu bisa menyembunyikan wajah masam
dan muram. Sekalipun tidak dalam keadaan senang atau gembira, maka mereka
menampakkan bahwa seolah-olah gembira
dan bersimpatik kepada siapapun.
Islam juga mengajarkan
agar dengan siapapun selalu menunjukkan wajah gembira. Bahkan tersenyum ketika bertemu dengan orang adalah
bagian dari shadaqoh dan ibadah.
Apalagi, seorang dosen yang selalu
dijadikan tauladan dan apalagi kelak
ingin dipilih menjadi pemimpin,
maka harus pintar bersenyum. Di alam demokrasi seperti sekarang ini wajah
muram, masam, dan pemarah tidak akan
laku. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar