Saya memiliki pelajaran sederhana
yang saya peroleh dari ayah saya sendiri terkait dengan berdakwah.
Berdakwah menurut ayah saya, terutama kepada orang yang belum mengenal
Islam, harus dilakukan dengan sabar dan hati-hati. Berdakwah tidak boleh
tergesa-gesa, sekalipun bermaksud baik, agar segera mendapatkan hasil.
Ajaran Islam, kata ayah saya, memang
sedemikian indahnya. Akan tetpi jangan dikira bahwa apa saja yang dirasakan dan
disebut indah itu semua orang segera bisa melihat dan merasakan keindahan
itu. Hal itu sama saja dengan penyikapan orang terhadap makanan.
Makanan yang sedemikian enak pun akan ditolak oleh orang yang belum mengenal
dan merasakan kelezatannya.
Ayah juga mengajari saya bahwa
manusia itu memiliki kebebasan atau otoritas pada dirinya sendiri. Mereka itu
bisa menentukan sikap dan pilihan hidupnya. Tidak semua orang bisa dipaksa-paksa
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pemaksaan tidak akan ada
gunanya, apalagi terhadap agama. Agama tidak saja menyangkut hal yang bersifat
dhahir, melainkan juga menyangkut aspek yang bersifat batin.
Apa yang diajarkan oleh ayah kepada saya
tersebut ternyata juga benar-benar dijadikan pegangan olehnya. Saya melihat
sendiri, bagaimana ayah saya mengahadapi orang-orang yang masih
sama sekali belum mengenal agama. Sebagaimana kehidupan di pedesaan ketika itu,
tidak sedikit orang masih menyukai berjudi, meminum minuman keras, dan
bahkan juga ada orang yang pekerjaannya sehari-hari mencuri, dan
lain-lain. Mereka mengaku beragama Islam, namun tidak saja meninggalkan
shalat lima waktu, puasa, dan lain-lain, bahkan sehari-hari juga berbuat maksiat.
Awalnya saya begitu heran, mengapa
orang-orang yang sehari-hari berbuat dosa seperti itu, manakala datang ke
rumah, oleh ayah mereka masih dilayani dan bahkan
ditanya hasil yang diperoleh dari uasahanya mencuri itu. Mereka yang ditanya
itu dengan malu-malu menjawab, bahwa beberapa waktu akhir-akhir ini tidak
mendapatkan penghasilan. Ayah saya ketika itu sama sekali tidak menyalahkan
perbuatan dosa mereka itu.
Merasakan hal aneh yang dilakukan oleh
ayah itu, suatu ketika, saya pernah memberanikan diri,
menanyakan, mengapa beliau itu sedemikian lunak terhadap
orang-orang yang jelas-jelas sehari-hari melakukan maksiat dan tidak pernah
datang ke masjid, shalat lima waktu, dan seterusnya itu. Pertanyaan itu
dijawab oleh ayah dengan pertanyaan balik, yaitu apakah mengubah
kebiasaan orang dari berbuat maksiat itu bisa dilakukan dengan cepat.
Pertanyaan itu kemudian saya lanjutkan, kenapa mereka itu tidak
dinasehati, agar segera bertaubat dan meninggalkan perbuatan buruk
itu. Pertanyaan itu dijawab lagi lewat pertanyaan selanjutnya,: “ apakah
jika dinasehati, mereka itu akan segera berhenti dari perbuatan tercela
itu”. Ayah saya menjawabnya sendiri : “ tentu tidak”.
Beberapa kali saya menyampaikan pertanyaan
itu, justru saya yang balik dinasehati, bahwa orang-orang seperti
itu harus dikasihani, dibesarkan hatinya, digembirakan, agar mereka tidak
lari dari kita. Mereka sehari-hari melakukan maksiat namun sekali-kali
masih mau datang ke rumah, sebenarnya kita sudah beruntung. Kita tidak
bisa membayangkan, umpama mereka sudah tidak mau datang, maka kita harus
mencarinya dan bahkan sampai kapan pun, mereka tidak akan memperoleh seruan
dakwah dari siapapun. Kata ayah saya, kita akan ikut rugi, yaitu tidak berhasil
menjalankan dakwah.
Terhadap orang-orang yang selalu berbuat maksiat
seperti itu, maka yang terpenting, kata ayah saya adalah, mereka
jangan sampai merasa terganggu dan disakiti hatinya. Mereka harus digembirakan
dan dihargai. Menurut pandangan ayah, bahwa di kala mereka sedang senang
itulah, maka sedikit demi sedikit kita masukkan pada pikiran dan hati
mereka tentang kebaikan, keindahan ajaran Islam, dan seterusnya. Mereka itu
sejak kecil, kata ayah saya, tidak mengenal istilah Tuhan, Nabi Muhammad,
shalat, dan seterusnya. Mengajak orang-orang seperti itu harus pelan
dan sabar.
Setelah sekian lama, ternyata dakwah yang
dilakukan oleh ayah, saya lihat sendiri ternyata ada hasilnya. Perasaan hormat
kepada ayah saya, mendorong orang-orang yang semula jauh dari agama Islam itu,
ternyata kemudian anak-anak mereka dianjurkan ke masjid dan bahkan
disekolahkan ke madrasah, sekalipun dirinya sendiri belum tergerak untuk
menjalankan shalat lima waktu. Mereka mengaku, agar anaknya bisa mengaji
sekalipun dirinya sendiri tidak menjalaninya. Pernah suatu ketika, mereka
mengatakan : “biar saya bodoh tetapi jangan sampai anak-anak bernasip
seperti saya”.
Proses itu berlanjut, dan ternyata
orang-orang yang menjalani maksiat seperti itu akhirnya berhenti dengan
sendirinya. Tatkala anak-anak mereka sudah belajar mengaji ke
masjid, menghormat kepada orang tua, dan menjalankan shalat lima waktu,
dan lain-lain, maka sekali-kali, mereka juga ikut ke masjid untuk shalat.
Sekali lagi proses itu berjalan lama, tetapi akhirnya dakwah itu berhasil. Saya
melihat sendiri, orang yang dulu bergelimang dengan perbuatan maksiat,
ternyata lama kelamaan menjadi terbiasa ke masjid dan meninggalkan perbuatan
buruk itu.
Belajar dari pengalaman itu, saya
berkesimpulan bahwa dakwah memang harus dilakukan dengan sabar, lewat kasih
sayang, contoh, memberi tauladan, dan dengan perilaku yang baik. Sebaliknya,
berdakwah lewat kekerasan, mengolok-olok, mengejek dan seterusnya, hanya
justru akan memberi gambaran bahwa Islam itu keras, bengis,
dan menakutkan. Jika hal itu benar-benar dilakukan, maka bisa jadi,
mereka akan lari dari Islam. Mereka itu memiliki otoritas dan kebebasan untuk
menentukan sikap dan perilaku dirinya sendiri. Itulah sebabnya beragama tidak boleh
dipaksa dan berdakwah harus sabar. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar