Antara berpusa dan berpolitik tentu
sangat beda. Berpuasa adalah dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa. Sedangkan
berpolitik adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Gangguan paling besar
terhadap keberhasilan puasa terletak pada dirinya sendiri. Seseorang yang tidak
berhasil mengendalikan hawa nafsu, maka puasanya akan gagal atau sia-sia.
Itulah sebabnya, pelaksanaan puasa tidak perlu ada pengawasan dari orang
lain. Seseorang sedang berpuasa atau tidak, yang paling tahu, adalah yang
bersangkutan sendiri.
Berbeda dengan berpuasa
adalah berpolitik. Dalam berpolitik lawan atau
kompetitornya adalah orang lain. Agar menang, maka seorang
politikus harus menggunakan strategi, taktik dan siasat. Taktik dan
semacamnya itu semua tidak boleh diketahui oleh lawan atau kompetitornya.
Pemain politik tidak boleh lugu dan bermain apa adanya. Jika itu
dilakukan, maka pasti kalah. Oleh karena itu, maka politikus pasti
menggunakan kecerdikatannya. Berbeda hal itu dengan berpuasa.
Ibadah puasa harus selalu dijalani dengan kejujuran.
Apakah berpolitik tidak seharusnya
dilakukan dengan jujur sebagaimana berpuasa itu. Jawabnnya memang
seharusnya demikian itu. Rakyat selalu menuntut agar siapapun jujur dalam
berpolitik. Hanya sayangnya, berpolitik itu mirip dengan sebuah permainan.
Dalam bermain selalu ada yang kalah dan sebaliknya, ada yang menang.
Dalam setiap permainan, pihak-pihak yang terlibat menghendaki meraih
kemenangan. Maka tidak jarang, dalam proses-proses permainan itu,
mereka melakukan tindakan yang kurang sportif. Akibatnya, ketidak
jujuran akan terjadi. Berpolitik sebenarnya sama dengan melakukan
permainan. Berpolitik juga selalu diwarnai oleh ketidak-jujuran
itu. Jarang sekali ada politik jujur. Oleh karena itu, dalam berpolitik diperlukan
pengawas, dan bahkan juga pihak-pihak yang menjaga agar proses itu
berjalan jujur dan adil.
Siapapun akan mengalami
kesulitan mencari permainan politik yang jujur dan adil, kecuali politik
yang dijalankan oleh Rasulullah. Politik yang dijalankan pada zaman rasulullah
sama dengan berpuasa. Rasulullah dalam berpolitik, sekali saja tidak
pernah bohong. Semua pihak diperlakukan secara adil sekalipun terhadap
orang-orang yang beragama nasrani maupun Yahudi. Rasulullah dalam
membangun masyarakat di Madinah membuat piagam perjanjian, yang dikenal dengan
piagam Madinah. Pada saat itu, siapapun tidak pernah merasa diingkari atau
diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah.
Bahkan, untuk menjaga rasa keadilan, tatkala membagi sesuatu, maka mereka yang
membagi harus mengambil bagian terakhir. Cara itu, jelas akan
mendatangkan rasa keadilan secara sempurna.
Oleh karena itu, sebenarnya
berpolitik pun bisa ditempuh dengan cara yang jujur seperti itu. Hanya
saja syaratnya, perspektif menang atau kalah dari mereka yang terlibat dalam
politik dimaksud harus disamakan dengan berpuasa. Kemenangan dalam
berpuasa diraih oleh seseorang manakala yang bersangkutan mendapatkan derajad
taqwa, yaitu menjadi manusia yang berderajad mulia di hadapan Allah.
Berpolitik juga seharusnya demikian itu. Kemenangan tidak lagi diraih oleh di
antara mereka yang terlibat dalam permainan itu, melainkan oleh semua pihak
secara adil. Semua pemain politik seharusnya merasa memperoleh kemenangan.
Manakala lewat berpolitik itu semua pihak mendapatkan keuntungan, yaitu
tidak ada yang kalah dan yang menang, ------apalagi hanya ingin menjadi umat
terbaik, maka kejujuran itu akan tercipta.
Berpolitik semestinya harus dilihat
sebagaimana membangun rumah tangga dalam sebuah keluarga. Dalam keluarga itu,
suami, isteri, anak-anak dan bahkan para pembantu memiliki kepentingan yang
sama, yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.
Kemenangan keluarga, manakala tujuan bersama itu tercapai. Kemenangan bagi
keluarga bukan diraih tatkala pihak-pihak tertentu mengalahkan lainnya.
Sebaliknya, disebut menang manakala semua pihak mendapatkan kebahagiaan. Sebab
di dalam keluarga itu, manakala ada anggota yang sakit, maka
penderitaan itu akan dirasakan oleh semua. Andaikan misalnya, seorang anak
dalam keluarga itu jatuh sakit, maka orang tuanya harus mengirim ke rumah
sakit, dan bahkan harus mencarikan biaya yang diperlukannya.
Akibatnya, semua anggota keluarga menjadi merasa sakit.
Manakala bangsa ini dipandang
sebagai semacam rumah besar, yang dihuni oleh keluarga besar, yaitu
bangsa Indonesia secara keseluruhan tanpa terkecuali, maka kesejahteraan
dan keadilan itu akan berhasil diwujudkan. Sebaliknya, apabila yang
terjadi adalah seperti sekarang ini, yaitu dijadikan gelanggang
kompetisi, berebut, dan bahkan konflik di antara berbagai pihak yang
berkepentingan, maka rasanya kesejahteraan dan kedilan itu hanya ada pada dunia
mimpi. Bahkan yang akan terjadi adalah justru sebaliknya, yaitu lama
kelamaan tidak mustahil, bangunan kebangsaan ini menjadi
sobek hingga tidak mudah ditenun atau dirajut kembali.
Namun pertanyaannya
adalah, apakah mungkin konsep ideal itu terjadi dan bisa
diwujudkan. Jawabnya, tidak sulit. Contoh sudah ada, ialah pemerintahan yang
dibangun oleh Rasulullah. Pada saat itu, masyarakatnya juga majemuk,
selain mereka yang beragama Islam juga terdapat kaum Nasrani dan Yahudi.
Mereka diajak bersama-sama, tanpa kecuali, membangun masyarakat Madinah
yang diwarnai oleh suasana kejujuran, keadilan hingga akhirnya melahirkan
masyarakat yang beradab, ialah masyarakat Madani. Kuncinya adalah, bahwa
antara berpuasa dan berpolitik harus diidentikkan, kedua-duanya harus
diorientasikan sebagai bagian dari beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
dan harus dilakukan secara ikhlas dan sejujur-jujurnya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar