Cara Kiyai Membangun Karakter Para Santri



Sepulang dari Semarang, menghadiri undangan dalam rangka berdiskusi, salah satunya  tentang pendidikan karakter, ---------di pesawat, saya duduk berdampingan dengan dua orang yang menggunakan baju gamis. Seperti biasa, saya selalu menyapa terlebih dahulu pada  orang yang kebetulan duduk berdekatan. Ternyata,  ia adalah seorang pengusaha. Tidak tahu apa maksudnya, pertanyaan saya  dengan bahasa Indonesia, tetapi  dijawab dengan Bahasa  Inggris.

Saya lihat  ia  bukan orang asing, sehingga mestinya lebih  tepat menggunakan bahasa Indonesia saja. Orang ini,  saya tahu,  bisa berbahasa Indonesia. Tetapi terus saja,  ia menggunakan Bahasa Inggris.  Saya tidak bertanya, alasan ia berbahasa Inggris, tapi dalam pikiran saya, mungkin ia akan menunjukkan bahwa, sekalipun berpakaian gamis, ia bisa berbahasa Inggris. Tentu, itu hanya dugaan saya. Tentang motif yang sebenarnya, saya tetap tidak tahu.

Lewat berdialog itu, orang yang mengaku berdomisili di Jakarta dan akan ke Surabaya itu, ternyata tujuannya akan ke pesantren, menghadiri undangan berdzikir bersama. Dia terbiasa ikut kegiatan ritual itu. Sekalipun mengaku lama belajar di Amerika, ia sangat menyenangi kegiatan ritual berupa dzikir bersama. Dengan kegiatan itu, ia mengaku hatinya menjadi damai dan tenang.  Sehari-hari, sebagai pengusaha untuk  mendapatkan  uang, ia masih  merasa perlu mengimbangi dengan kegiatan seperti itu.

Ia juga menjelaskan bahwa dirinya sangat mengagumi kyai pesantren. Oleh karena itu, pada saat-saat tertentu, ia bersama teman sesama pengusaha menyempatkan diri bersilaturrahmi ke lembaga pendidikan Islam yang umumnya ada di pedesaan itu.  Ia mengatakan bahwa untuk memperbaiki diri, agar memiliki akhlak atau karakter yang baik, maka tempatnya adalah di pesantren dan bukan di tempat lain.

Dalam kesempatan itu,  saya juga mencoba bertanya  tentang  kelebihan kyai dalam memberikan pendidikan kepada santrinya dibanding dengan para guru atau dosen. Sampai pada pembicaraan itu, saya belum menjelaskan bahwa, saya sendiri sebenarnya sedikit banyak tahu tentang pesantren, oleh karena di kampus yang saya pimpin juga ada  ma’had atau pesantrennya. Dia juga belum menanyakan pekerjaan saya sehari-hari, tetapi saya sudah memperkenalkan bahwa, saya bertempat tinggal di Malang.  

Atas pertanyaan saya tersebut, ia sangat bersemangat menjawabnya. Ia menjelaskan bahwa di dalam mendidik, kyai tidak saja menjalankan seperti yang dilakukan oleh guru atau dosen di perguruan tinggi, yaitu lebih banyak memberi tahu atau mengajarkan ilmu, lebih dari itu adalah membimbing dan mengasuh. Kyai tidak saja mengajar tetapi mengajak dengan contoh, dan bahkan kalau perlu menuntun. Kyai selalu menuntun kepada jalan yang benar.

Orang yang mengaku sebagai pengusaha tetapi berpakaian gamis itu menjelaskan bahwa dengan kasih sayangnya, kyai selalu menunjukkan dan sekaligus memberi contoh. Kyai  pesantren tidak saja menjelaskan tentang bagaimana cara sholat malam, tetapi juga mengajak dan bersama-sama sholat malam secara istiqomah. Kyai juga tidak saja mengajak membaca dzikir dan membaca doa, tetapi juga mengajak berdzikir dan berdo’a.  Membaca doa dianggap lain dengan berdo’a.  Selain itu, menurut sepengetahuannya, kyai selalu mendidik dengan tulus, ikhlas, dan penuh kegembiraan. Dia mengatakan bahwa kyai itu adalah pendidik yang sebenarnya.

Kyai yang akan dikunjungi  itu  dikenal olehnya  sejak  ia lulus dan  pulang  dari Amerika. Oleh karena itu, ia  merasakan perbedaan yang amat jauh apa yang dilakukan oleh guru-gurunya di luar negeri dengan kyai pesantren. Sebenarnya, kyai yang akan  ia datangi di Surabaya itu sudah beberapa tahun lalu wafat, dan kegiatan dzikir yang akan diikuti itu adalah dalam rangka haul kyai dimaksud. Sesibuk apapun, ia merasa harus datang. Yang ia rasakan, apa yang telah diberikan kyainya sama dengan yang diterima dari orang tuanya sendiri, yang telah mendidik dengan penuh kasih sayang, kesejukan, dan kedamaian.

Mengikuti pembicaraan sesama penumpang pesawat yang kebetulan berpakaian gamis tersebut, dan kemudian membandingkan dengan diskusi sesama pimpinan perguruan tinggi di Semarang, sekalipun isi pembicaraannya sama, -------yaitu tentang pendidikan karakter, ternyata memang berbeda jauh. Pendidikan karakter yang dilakukan oleh kyai dilakukan dengan cara memberikan bimbingan, tuntunan, contoh atau ketauladanan, dan ditambah dengan pemberian kasih sayang yang mendalam.

Sementara itu apa yang didiskusikan oleh para pendidik di perguruan tinggi, bahwa pendidikan karakter harus ada bahan ajar, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, jumlah jam pertemuan, dan yang tidak ketinggalan adalah biaya yang harus dikeluarkan. Sedangkan  kyai di pesantren tidak menggunakan itu semua. Tetapi anehnya, hubungan santri terhadap kyai sedemikian mendalam, menggambarkan adanya akhlak atau karakter yang mulia, hingga santrinya yang sudah menjadi  pengusaha di Jakarta pun merasa harus hadir  ikut berdoa bersama dalam acara haul pada setiap tahunnya. Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar