99,9 PERSEN UMAT ISLAM ‘BERHAJI’ DI TANAH AIR


Tahukah Anda berapa persen umat Islam Indonesia yang bisa berangkat haji ke tanah suci, setiap tahunnya? Ternyata hanya sekitar 0,1 persen saja! Yakni, 200 ribu orang di antara 200 juta umat Islam Indonesia. Yang 99,9 persen harus rela ‘berhaji’ di tanah air, dikarenakan berbagai alasan, terutama: karena tidak punya biaya atau tak punya kesempatan.

Padahal, kita semua tahu bahwa haji adalah ibadah puncak dalam rukun Islam. Sebuah pertanda bahwa seseorang telah menjalankan keislamannya secara paripurna. Tetapi kenapa hanya ‘diperuntukkan’ 0,1 persen umat Islam saja? Apakah memang demikian pemahamannya? Betapa beruntungnya orang-orang yang punya duit dan punya kesempatan, mereka bisa ‘membeli’ kesempurnaan ibadahnya kepada Allah..!

Tetapi, benarkah mereka yang pulang haji itu telah menjadi haji secara maknawi? Jangan-jangan hanya menjadi haji secara simbolis? Karena, ternyata mereka belum memperoleh puncak pelajaran haji: berserah diri hanya kepada Allah semata.

Berhaji bukanlah sekedar bepergian ke tanah suci semata. Karena rukun Islam kelima ini menjadi simbol puncak kualitas keislaman seseorang. Diharapkan, orang yang sudah menjalani ibadah haji akan memperoleh tingkat spritualitas yang tinggi sebagaimana ikon utama agama Islam, yakni Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dimana Nabi Muhammad SAW adalah salah satu keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Nabi Ismail.

Apakah yang bisa dipetik dari sejarah Nabi Ibrahim dan keluarganya itu? Ada beberapa pelajaran penting yang akan menjadi pondasi sekaligus kesempurnaan bagi keislaman kita. Yang paling utama adalah pelajaran tauhid. Yakni, kesungguhan untuk hanya bertuhan kepada Allah, Sang Penguasa Jagat Semesta. Itulah warisan utama dari agama Ibrahim ini.

Ya, ternyata Islam disebut sebagai agama Ibrahim. Bukan agama Muhammad. Dan bahkan Nabi Muhammad diperintah Allah untuk mengikuti agama Ibrahim, nenek moyang beliau sendiri. Al Qur’an-lah yang menceritakan semua itu, diantaranya ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2): 130-132
‘’Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.’’

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Berislamlah!” Ibrahim menjawab: "Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula (kepada) Ya'qub (cucunya). (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berislam".

Sehingga tidak heran Allah pun memerintahkan kepada Nabi Muhammad, sebagai keturunan Ibrahim, untuk mengikuti agama nenek moyangnya.

QS. An Nahl (16): 123
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus). Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.


Itulah sebabnya, puncak kualitas keislaman seseorang disandarkan pada ibadah haji yang ritualnya adalah napak tilas sejarah keluarga Nabi Ibrahim. Tetapi, bukan hanya dengan datang ke tanah suci dimana peristiwa ritual haji itu terjadi. Melainkan lebih mendalam dari itu. Dimana pun kita berada, kita bisa memperoleh substansi pelajaran puncak keislaman itu. Meskipun, idealnya adalah bagi mereka yang menyelami substansi sambil berada di tanah suci. Tapi, sungguh tak sedikit di antara kita yang bisa menjadi ‘lebih haji’ dibandingkan mereka yang pulang dari tanah suci..!
Agus Mustofa 

0 komentar:

Posting Komentar