Seorang kawan saya bertanya: ‘’Benarkah alam
semesta beserta isinya ini bakal lenyap setelah berusia belasan miliar tahun ke
depan?’’ Saya katakan: ‘’agaknya begitu’’. Karena, Al Qur’an sendirilah yang
menceritakan bahwa fase terakhir drama kehidupan manusia memang bukan alam
akhirat, QS. 2: 28, sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelum ini.
Ternyata, alam akhirat baru menempati fase keempat, yang akan segera disusul
fase kelima: runtuhnya alam semesta, lenyap menuju ketiadaan. Yakni, fase
kembali kepada-Nya – ilaihi turja’un.
Kawan saya pun melanjutkan pertanyaannya: ‘’Berarti surga juga bakal lenyap?’’ Saya menjawab: ‘’Agaknya
demikian.’’ Bukankah surga itu memang bagian dari alam akhirat, dan baru
berada di fase keempat? Sehingga ketika alam semesta digulung oleh-Nya, dengan
sendirinya surga dan neraka bakal ikut lenyap’
‘’(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti
menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan
pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami
tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.’’ [QS.
Al Anbiyaa’: 104]
Kawan saya bersungut-sungut: ‘’kalau begitu buat apa saya beribadah
capai-capai begini? Toh surga bakal lenyap?’’ Saya menimpali: ‘’Oh, jadi
ibadahmu selama ini bukan karena Allah toh? Hanya karena surga? Sehingga ketika
surga tidak ada maka engkau pun menjadi malas beribadah untuk menyembah Allah?
Katamu, semua ibadah harus lillahi ta’ala – hanya karena Allah. Lha kok
ternyata hanya karena surga?’’
Dialog diatas hanya sekelumit dari realitas yang banyak terjadi di sekitar
kita. Sebuah gambaran tentang bergesernya kualitas ketauhidan umat. Ibadah yang
semula diperuntukkan Allah semata, mulai kehilangan orientasi, dan menjadi
untuk diri sendiri. Padahal, orientasi ibadah itu bisa menjadi salah satu
parameter kepada siapakah kita bertuhan: kepada Allah ataukah kepada yang lain
– termasuk kepada diri sendiri?
Orang yang ibadahnya karena surga, tentu bukan
beribadah karena Allah. Dia lebih mencintai surga daripada mencintai Allah. Dan
lebih takut neraka daripada takut kepada Allah. Sehingga, Allah tak lebih hanyalah pihak yang
disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Termasuk untuk memberi kebahagiaan
surga dan menghindarkan dari neraka.
Kita mesti berhati-hati, karena tanpa terasa ketauhidan kita mulai bergeser
bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada diri sendiri. Ternyata, tuhan kita bukan Allah, melainkan diri kita sendiri. Sedangkan
Allah tak lebih hanyalah ‘pelengkap penderita’ yang kita mintai ini-itu
saat kita perlu. Dan ketika segala keinginan itu tidak dipenuhi kita
marah-marah dan ‘ngambek’ kepada-Nya. Emangnya kita ini siapa?
Inilah yang dikritisi oleh seorang sufi wanita
yang sangat terkenal di abad pertengahan: Rabi’ah Al Adawiyah. Suatu
ketika dia membawa obor dan seember air melintasi keramaian masyarakat. Ia pun
ditanya, untuk apakah membawa obor dan seember air itu kemana-mana. Ia
menjawab, akan membakar surga dan menyiram api neraka. Tentu saja banyak yang
heran dan bertanya kepadanya tentang jawaban yang aneh itu. Tapi dengan lugas
ia menjawab, semua itu dia lakukan agar umat Islam kembali bertuhan hanya
kepada Allah. Dan mencintai serta mengabdikan segala ibadahnya lillahi
ta’ala, hanya karena Allah semata. Bukan sebaliknya, bertuhan kepada surga dan neraka, sehingga melupakan
Allah sebagai Tuhan. Serta menjadikan-Nya sebagai ‘pelengkap penderita’ belaka.
‘’Janganlah kamu sembah bersama Allah, tuhan
apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang pantas disembah) selain Dia. Segala sesuatu
bakal binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala ketentuan, dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’’ [QS. Al Qashash: 88]
Begitulah Allah mengajarkan di dalam Kitab Suci. Itulah yang disebut
sebagai pemurnian tauhid dalam menuhankan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang
pantas dipersekutukan dengan-Nya. Meskipun itu adalah surga, malaikat ataupun
nabi. Apalagi diri sendiri. Bertuhan
adalah mengikhlaskan hati untuk hanya mengakui keagungan-Nya. Dan berserah diri
menaati segala perintah-Nya. Dzat Tunggal penguasa jagat semesta raya.
Sedangkan surga dan neraka, tak lebih hanyalah
ciptaan yang bakal diganjarkan kepada siapa saja yang memang pantas
memperolehnya. Tak ada
satu pun makhluk yang mampu menghalangi, jika Dia berkehendak memberikan surga
kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana juga tak ada yang bisa menolak jika Dia memberi
ganjaran neraka bagi orang yang berdosa.
Allah Maha Adil atas segala kehendak-Nya. Dia
menjadi sumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Karena, Dialah
Sang Penguasa jagat raya Yang Maha Mulia, Maha Agung, lagi Maha Bijaksana. ‘’Allaahumma
antassalam waminkassalaam tabaarakta rabbana yaa dzal jalaali wal ikraam – Ya
Allah, Engkaulah kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dan dari
Engkau sajalah bersumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan. Maha Suci Engkau
wahai Tuhan kami, Sang Pemilik segala Keagungan dan Kemuliaan...’’
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar