Sebelum saya mengakhiri pembahasan
tentang ketidak-kekalan akhirat di note ke-9 besok, saya ingin membahas
sejumlah istilah ‘kekekalan’ di dalam Al Qur’an secara lebih khusus. Karena, di
istilah-istilah inilah pertama kali munculnya kerancuan makna yang menyebabkan
kontroversi berkepanjangan itu.
Sejumlah kata yang sering digunakan
dalam menceritakan kondisi ‘kekekalan’ akhirat itu yang paling banyak adalah baqaa,
khalada, dan abadaa. Ketiga kata itu sebenarnya memiliki penekanan
makna yang agak berbeda, tetapi semuanya lantas diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi ‘kekal’ terkait dengan pembahasan akhirat. Ada istilah lain
yang juga diterjemahkan ‘kekal’ dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak kita bahas
disini karena keterbatasan halaman.
Dalam kamus bahasa Arab, kita bisa
menemukan makna dasar dari istilah-istilah itu.
1. Baqaa berasal
dari kata baqiya, bermakna: tetap, tinggal, bersisa, kondisi pilihan
alias kondisi utama. Lantas diterjemahkan sebagai ‘kekal’.
2. Khalada
bermakna: menempel, melekat, berdiam atau menetap, berumur panjang. Dan
lantas diterjemahkan sebagai ‘kekal’.
3. Abadaa bermakna:
berdiam, tinggal, selama-lamanya atau selama mungkin. Yang juga
diterjemahkan sebagai ‘kekal’.
Untuk memperoleh rasa bahasanya,
berikut ini saya kutipkan sejumlah ayat yang menggunakan istilah-istilah
tersebut dalam berbagai konteks. Yang pertama, yang berakar kata ‘baqiya’.
Istilah ini, ternyata bukan hanya digunakan untuk menjelaskan kondisi akhirat,
melainkan juga kita dapati dalam konteks riba, keuntungan bisnis, dan manusia
pilihan atau manusia utama.
QS. Al Baqarah
(2): 278
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (baqiya
minarribaa) jika kamu orang-orang yang beriman.
QS. Huud (11):
86
Sisa (keuntungan bisnis) dari Allah (baqiyyatullah)
adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah
seorang penjaga atas dirimu"
QS. Huud (11):
116
Maka mengapa
tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu ‘orang-orang pilihan’ (ulul
baqiyyatin) yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali
sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara
mereka. Dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada
mereka. Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.
Selain itu istilah baqaa juga
digunakan dalam bentuk perbandingan – abqaa – seperti dalam
ayat-ayat berikut ini, yang lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘lebih utama’,
karena setara dengan apa yang diperbandingkan. Misalnya, perbandingan kehidupan
akhirat yang berkualitas tinggi dengan kehidupan dunia yang berkualitas rendah.
Pemaknaan seperti itu lebih pas, karena digandengkan dengan kata khairu
yang diterjemahi ‘lebih baik’ dalam kualitas.
QS. Thaaha
(20): 131
Dan janganlah
kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka
dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik (khairu) dan lebih utama (abqaa).
QS. Al Qashash
(28): 60
Dan apa saja
yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan
perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik (khairu) dan lebih
utama (abqaa). Maka apakah kamu tidak memahaminya?
QS. Asy Syuura
(42): 36
Maka sesuatu
yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia. Dan yang ada di
sisi Allah lebih baik (khairu) dan lebih utama (abqaa) bagi orang-orang
yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.
QS. Al A’laa
(87): 16-17
Tetapi kalian
memilih kehidupan duniawi. Padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik
(khairu) dan lebih utama - untuk dipilih (abqaa).
Jadi, penggunaan kata abqaa –
terkait dengan akhirat – pada ayat di atas, sebenarnya bukan menggambarkan
‘tempat’ sebagaimana selama ini dipahami, melainkan menggambarkan kualitas
‘kehidupan’.
Yang kedua, istilah khalada. Kata ini paling banyak
digunakan di dalam Al Qur’an untuk menjelaskan kondisi yang terkait dengan
akhirat. Tetapi, lagi-lagi bukan untuk menjelaskan ‘tempat’, melainkan untuk
menjelaskan ‘orang’. Dari 72 ayat yang saya cermati, semuanya menceritakan
kondisi orang-orang yang masuk ke surga atau neraka. Tidak ada yang bercerita
tentang surga atau neraka sebagai tempat. Sehingga, terjemahan yang lebih cocok
untuk kata khalada itu bukanlah ‘kekal’, melainkan ‘menetap’.
Penggunaannya adalah sebagai
berikut: 1 kali dalam bentuk khaalidu, yakni dalam QS. 47: 15 ~ huwa
khaalidu finnaar – mereka menetap di neraka. Ayatnya berikut
ini.
QS. Muhammad
(47): 15
Perumpamaan
surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, (bagaikan taman) yang
di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang
disaring. Dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan
ampunan dari Rabb mereka. (Apakah penghuni surga itu) sama dengan orang yang menetap
di dalam jahannam (huwa khaalidu finnaar) dan diberi minuman dengan air
yang mendidih sehingga memotong ususnya?
Kemudian 3 kali dalam bentuk khaalidan,
yakni terdapat pada QS. 4: 14/ QS. 4: 93/ QS. 9: 63/ ~ khaalidan fiiha
– menetap di dalamnya. Salah satu diantaranya terdapat pada ayat berikut
ini.
QS. An Nisaa’
(4): 14
Dan barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka. Ia menetap di dalamnya
(khaalidan fiiha); dan baginya azab yang menghinakan.
Lainnya lagi, dalam bentuk khaalidiina,
ada 44 ayat terdapat pada QS. 2: 162/ QS. 3: 15, 88, 136, 198/ QS. 4: 13, 57,
122, 169/ QS. 5: 85, 119/ QS. 6: 128/ QS. 9: 22, 68, 72, 89, 100/ QS. 11: 107,
108/ QS. 14: 23/ QS. 16: 29/ QS. 18: 108/ QS. 20: 76, 101/ QS. 21: 8/ QS. 25:
16, 76/ QS. 29: 58/ QS. 31: 9/ QS. 33: 65/ QS. 39: 72, 73/ QS. 40: 76/ QS. 46:
14/ QS. 48: 5/ QS. 57: 12/ 58: 22/ QS. 59. 17/ QS. 64: 9,10/ QS. 65: 11/ QS.
72: 23/ QS. 98: 6,8. ~ khaalidiina fiiha – menetap di dalamnya.
Diantaranya terdapat pada ayat berikut ini.
QS. Al Baqarah
(2): 162
Mereka menetap
di dalamnya (khaalidiina fiiha); tidak akan diringankan siksa dari
mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
QS. Ali Imran
(3): 15
Katakanlah:
"Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian
itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan
mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka menetap
didalamnya (khaalidiina fiiha). Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri
yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya.
Selebihnya, dalam bentuk
khaaliduun, ada 24 kali terdapat pada ayat-ayat: QS. 2: 25, 39, 81, 82,
217, 257, 275/ QS. 3: 107, 116/ QS. 5: 80/ QS. 7: 36, 42/ QS. 9: 17/ QS. 10:
26, 27/ QS. 11: 23/ QS. 13: 5/ QS. 21: 99, 102/ QS. 23: 11, 103/ QS. 43: 71,
74/ QS. 58: 17 ~ hum fiiha khaaliduun – mereka di dalamnya
menetap. Berikut ini saya ambilkan contoh-contoh ayatnya.
QS. Al Baqarah
(20): 25
Dan
sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa
bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.
Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka
mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu."
Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada
isteri-isteri yang suci dan mereka menetap di dalamnya (hum
fiiha khaaliduun).
QS. A Baqarah
(2): 39
Adapun
orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni
neraka; mereka menetap di dalamnya (hum fiiha khaaliduun).
QS. Al Baqarah
(2): 257
Allah Pelindung
orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kesesatan)
kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang ingkar, pelindung-pelindungnya ialah
setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan
(kesesatan). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka menetap di
dalamnya (hum fiiha khaaliduun).
Yang ketiga, adalah kata abadaa. Istilah ini bermakna selama-lamanya
atau selama mungkin. Di dalam Al Qur’an digunakan sebanyak 28 kali, dan
sebagian besarnya justru digunakan untuk menjelaskan hal-hal selain akhirat.
Misalnya, ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Baqarah
(2): 95
Dan sekali-kali
mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya (abadaa),
karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri),
dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.
QS. Al Kahfi
(18): 35
Dan dia
memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata:
"Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya (abadaa).
QS. Al Maa-idah
(5): 24
Mereka berkata:
"Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasuki (kota itu) selama-lamanya
(abadaa), selagi mereka (tentara musuh) ada di dalamnya,
karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua,
sesungguhnya kami akan duduk menanti disini saja."
Kata abadaa adalah istilah
yang mengandung nuansa ‘belum final’, dan bergantung kepada sesuatu yang lain.
Hal itu ditunjukkan dalam QS. 5: 24 di atas, saat Bani Israil mau pulang
kampung ke Palestina. Mereka tidak mau masuk ‘selama-lamanya’ selagi ada
musuh di dalamnya. Dan menyuruh Nabi Musa berperang sendirian bersama Tuhannya.
Dalam kaitannya dengan akhirat, kata
abadaa digunakan untuk menegaskan kata khaalidiina sehingga
memiliki makna ‘menetap selama-lamanya’ di dalam surga atau neraka ~ khaalidiina
fiiha abadaa. Tetapi, sebagaimana contoh di atas, kata abadaa bukan
menunjuk ‘kekekalan’ yang tanpa batas, melainkan masih bergantung kepada
kondisi yang menyertainya. Yakni, selama ‘waktu’ atau ‘tempat’nya masih ada,
atau penyebab lain yang membatasinya.
Semoga penjelasan di atas bisa
sedikit mengurangi ‘benang kusut’ tentang istilah ‘kekal’ di dalam Al Qur’an.
Sehingga kesimpulan kita menjadi lebih proporsional... :)
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar