Lailatul Qadr adalah puncak puasa Ramadan. Hampir semua umat Islam yang paham
tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu dengan malam yang mulia dan penuh
berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia maupun belahan dunia
dipenuhi orang-orang yang beriktikaf demi memenuhi harapan untuk bertemu
Lailatul Qadr yang penuh hikmah.
Malam yang diceritakan Al Qur’an memiliki
kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW selalu hadir di
sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu sejak memasuki hari ke-21 sampai
menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian
kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang di hari-hari ganjil:
21, 23, 25, 27, dan 29. Sehingga tak jarang memunculkan keinginan mencegatnya
hanya di malam-malam ganjil itu. Meskipun banyak juga yang tak mau main cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf
karena Allah semata, sepanjang hari-hari terakhir Ramadan.
Di Mekah dan Madinah sendiri, masjid penuh sesak
dihadiri ratusan ribu jamaah. Hampir-hampir seperti suasana musim haji.
Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lainnya. Sepuluh
hari terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba
Allah yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah yang sedang
dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekedar ingin memperoleh keberkahan
Lailatul Qadr. Dan lantas mencegatnya.
Ada semacam kesalahkaprahan dalam menyongsong
malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadr bisa
dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan
melek malam agar bisa tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadr
bakal datang. Tak
jarang, orang-orang yang demikian ini, mencegat tidak sambil mengkaji kandungan
Al Qur’an melainkan sambil begadang
belaka.
Sesungguhnya, point penting Lailatul Qadr bukanlah pada datangnya ‘sang
malam’, melainkan pada turunnya ‘sang Jibril’ bersama para malaikat yang
menyertainya. Jika
penekanannya pada ‘sang malam’ maka siapapun bisa bertemu dengannya, meskipun
katakanlah ia mencegat Lailatul Qadr sambil bermain kartu. Tentu pemahamannya
bukan demikian. Hanya orang yang
benar-benar layak sajalah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu.
Dengan kata lain, jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu
tempat, belum tentu semua orang itu bakal didatangi oleh Sang Jibril.
Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan
malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah
tersucikan oleh puasa Ramadannya selama dua puluh hari yang pertama. Ini
mirip dengan cerita pewayangan, dimana ksatria yang bertapa bakal memperoleh
azimat Kalimasada di akhir pertapaannya. Dikarenakan, di akhir masa
pertapaannya itu ia sudah memiliki jiwa yang suci dan bijak dan menyikapi
kehidupan.
Lailatul Qadr juga demikian. Ia hanya turun
kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang sekedar
menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya. Mulai dari pikiran dan perasaannya,
penglihatan, pendengaran, dan segala ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah
laku dan perbuatannya.
Kesucian jiwa yang demikian itulah yang membuat
jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah
alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar dengan pesawat radio.
Jika frekuensinya sudah matching,
maka seluruh informasi yang dipancarkan oleh stasiun radio itu akan tertangkap
dengan mudah oleh pesawat radio. ‘’Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan
yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa)
menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah) disucikan.’’ [Al Waaqi’ah:
77-79].
Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut bukanlah
bersifat fisik, sebab menurut kalimat sebelumnya, Al Qur’an itu sebenarnya
masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja.
Yakni hard-copy berupa teks alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang
kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.
Sayangnya kebanyakan umat Islam terjebak pada mengkaji Al Kitab yang berisi
teks-teks saja. Termasuk di bulan Ramadan ini banyak yang mengkhatamkan Al
Qur’an berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al Kitab. Padahal substansi Al Qur’an
itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada Al Hikmah. Barangsiapa membaca Al Qur’an tanpa memahami isinya, ia temasuk
orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.
Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi
kandungan Al Qur’an yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman
hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.‘’Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang
mendalam tentang isi Al Quran) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
dianugerahi al hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang sangat banyak.
Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman-firman-Nya).’’ [QS. Al Baqarah: 269].
Wallahu a'lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar