Seluruh interaksi keseharian kita membutuhkan energi. Baik
yang bersifat internal di dalam badan fisik dan jiwa kita, maupun yang bersifat
eksternal berupa interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Semuanya
membutuhkan energi agar bisa berdinamika ke arah lebih baik atau sebaliknya menjadi
lebih buruk.
Otak membutuhkan energi, jantung membutuhkan energi,
paru-paru, liver, pencernaan, kelenjar-kelenjar, jaringan tubuh, sampai
triliunan sel semuanya berdinamika dengan menyerap atau memancarkan energi.
Jika energi kehidupan di tubuh kita habis, maka tubuh sebagai wadah kehidupan
itupun rusak dan kemudian disebut meninggal. Lantas, triliunan sel-sel tubuhnya
pun bakal terurai.
Jiwa kita juga butuh energi. Tidak seperti energi badan yang
bisa diukur secara fisikal, energi jiwa lebih abstrak dan unpredictable,
sehingga masih membutuhkan penelitian intensif agar tidak disebut sebagai
pseudo-science. Tetapi perkembangan mutakhir di dunia psikologi menunjukkan
perkembangan yang semakin kuat bahwa energi jiwa ternyata memiliki peran yang
sangat besar dalam perubahan peristiwa di dunia fisikal.
Kenapa tangan kita bisa digerakkan, misalnya? Sumber
utamanya bukan di energi badaniah, melainkan berada di energi jiwa. Bukan
karena ‘otak fisik’ kita yang menggerakkan, melainkan ada ‘otak batiniah’ yang
menginginkan. Kebanyakan pakar biologi hanya berhenti pada mekanisme ‘otak
fisik’ belaka. Padahal, jika ‘otak batiniah’ sudah meninggalkan otak fisik itu
ia tak lebih hanya menjadi organ seperti bubur yang berbobot sekitar 1 kg yang
tak punya ‘kehendak’. Meskipun hanya untuk sekedar menggerakkan ujung jari
sekalipun.
Jiwa berdinamika dengan menggunakan energi. Para pakar
psikologilah yang terus berusaha untuk membuktikan agar semakin transparan.
Tetapi, gejala dan dampaknya sungguh sangat besar dalam kehidupan seseorang
maupun kolektif. Meskipun, orang-orang yang kurang memahaminya akan mengatakan
itu sebagai pseudo-science atau bahkan ‘cocokology’, hanya disebabkan mereka
belum bisa menghubungkan mekanisme antara psycho-energy dengan physio-energy.
Akhlak adalah sumber psycho-energy alias energi kejiwaan
yang sangat besar. Penerapan akhlak yang baik secara benar akan menghasilkan
perubahan fisikal yang baik dan benar pula. Kita menyebutnya sebagai energi
positif. Sebaliknya, akhlak yang buruk akan menghasilkan perubahan fisikal yang
buruk dan merugikan. Baik yang terjadi pada badan kita maupun lingkungan. Kita
menyebutnya sebagai energi negatif.
Seseorang yang sedang stress disebut sedang menghasilkan
energi negatif di dalam dirinya. Dan efeknya bukan hanya pada jiwanya,
melainkan juga pada badannya. Tubuh fisiknya bisa mengalami sakit yang sulit
diketahui sebab-musababnya. Dan tak jarang, para dokter biasa – physician –
tidak bisa menyembuhkannya. Tetapi, bukan berarti ini berada di wilayah
pseudo-medical atau supranatural dan sebangsanya, karena ternyata ia bisa
disembuhkan oleh seorang psychiatrist yang mengerti ilmu jiwa. Itulah yang
disebut sebagai penyakit psikosomatis.
Apa yang saya uraikan diatas hanya untuk menggambarkan
betapa manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, yang selalu
memancar-mancarkan energi atau menyerapnya saat melakukan aktivitas
kesehariannya. Mulai dari yang bersifat fisikal, emosional, sampai spiritual.
Semakin fisikal semakin mudah diukur, semakin spiritual semakin sulit. Tetapi,
semuanya terbukti memiliki dampak riil dalam kehidupan kita. Bisa berakibat
baik atau buruk, yang lantas menjadi penting untuk diperhatikan.
Ibadah Haji sarat dengan amalan-amalan spiritual tingkat
tinggi bagi yang memahaminya. Dan tentu saja melibatkan energi spiritual yang
sangat besar, yang bisa berdampak sampai kepada emosi dan fisik. Sebaliknya,
bagi yang tidak memahami, mereka hanya akan memperoleh dampak fisikal seperti
orang yang melakukan camping, outbond, atau long-march belaka, sebagaimana
telah saya uraikan di tulisan sebelumnya.
Pelajaran Haji adalah pelajaran tentang akhlak yang mulia
sebagaimana dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul. Seperti kesabaran,
keikhlasan, pengorbanan, dan sebagainya. Secara energial, sifat-sifat itu
memiliki energi yang sangat tinggi. Semakin sabar seseorang, semakin tinggi
energi spiritualnya, dan itu akan berdampak positif pada kondisi emosi dan
fisiknya menjadi semakin baik. Sebaliknya, semakin tidak sabaran seseorang,
semakin rendah energi spiritualnya, dan itu akan memunculkan ketidakstabilan
pada energi emosional maupun fisikalnya.
Orang yang emosinya tidak stabil dan memburuk, akan
menghasilkan frekuensi rendah yang ditandai oleh melonjak-lonjaknya denyut
jantung dan tremor di seluruh tubuhnya. Dan kemudian oleh kacaunya sistem
kelenjar maupun hormonal. Lonjakan getaran fisikal itu, dalam Fisika disebut
sebagai gelombang yang amplitudonya membesar. Dampaknya, frekuensinya menurun.
Dan efek berikutnya adalah energi yang drop menjadi rendah.
Maka orang yang sedang marah-marah, tidak sabaran, gelisah,
meledak-ledak, stress dan sebangsanya, sebenarnya sedang mengalami penurunan
energi spiritual, emosional, dan fisikal sekaligus. Orang yang sedang dalam
arasy energi semacam ini sedang terkungkung oleh energi negatif yang merugikan
diri sendiri. Jika mengambil keputusan cenderung salah, jika bertanding pasti
kalah, dan berbuat apa saja daya kontrolnya rendah.
Sebaliknya, orang-orang yang sedang dalam kondisi sabar,
rendah hati, ikhlas, dan sebagainya – berakhlak mulia – ia sedang berada di
arasy energi spiritual yang tinggi. Denyut jantungnya ikut lembut, emosinya
stabil, sistem energi tubuh dan jiwanya dalam kondisi yang bagus. Dampaknya,
berbagai keputusannya cenderung bijaksana dan perbuatannya terkontrol dengan
baik.
Jika energi tersebut berada dalam kerumunan secara kolektif,
dampaknya pun menjadi akumulatif. Dan bisa menyebabkan leburnya arasy energi
individual menjadi massal. Itulah sebabnya, kenapa dalam sebuah demonstrasi
yang emosional sifat-sifat individu yang tadinya baik bisa hanyut oleh emosi
massa yang tak terkendali dan merusak apa saja yang ada di hadapannya.
Sebaliknya, akumulasi energi spiritual yang kolosal bisa
membawa individu-individu di dalamnya menjadi lebih baik. Dan berdampak kebaikan
pula kepada segala yang berinteraksi dengannya. Baik interaksi individual
maupun interaksi massal yang bersifat keumatan. Itulah yang terjadi pada ritual
Haji selama di tanah suci. Pusaran energi makna itu bergema di angkasa fisik
jutaan jamaah, yang kemudian menjadi
atmosfer emosional dan spiritual yang menghanyutkan individu-individu di
dalamnya dalam lantunan dzikir-dzikir yang penuh makna.
Memancar dari kalimat-kalimat talbiyah hamba-hamba yang
rindu Tuhannya. Menggeletar dari jiwa yang penuh kepasrahan. Menggetarkan
sanubari yang paling dalam, dan menggema di angkasa semesta berpusaran di Arsy
Allah Azza wajalla, Tuhan Jagat Semesta Raya...
Labbaik Allaahumma
labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wanikmata laka wal
mulk. Laa syariikalak... (Kupenuhi panggilan-Mu ya Allah. Kupenuhi
panggilan-Mu wahai Dzat yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya, segala
puja dan puji beserta semua kenikmatan dan kerajaan hanyalah untuk-Mu semata.
Tiada sekutu bagi-Mu...)
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar