Perbandingan antara alam dunia dan alam akhirat itu,
ibarat ujung jari dicelupkan ke samudera. Setetes air yang ada di ujung jari
itulah dunia, dan samudera itulah akhiratnya. Demikianlah suatu ketika
Rasulullah dawuh kepada para sahabat, sebagaimana diceritakan dalam HR
Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad.
Saya sempat tercengang ketika merenungi dawuh
Nabi itu. Betapa hebatnya pengetahuan dan pemahaman beliau tentang alam
akhirat. Saya membayangkan, agaknya, ini karena beliau sudah menyaksikan sendiri
besarnya alam berdimensi tinggi yang kita kenal sebagai alam Akhirat itu.
Bukankah beliau memang sudah sampai di ‘puncak langit’ bernama Sidratul
Muntaha, dimana alam akhirat terlihat? Bahkan, beliau digambarkan begitu
terpesona menyaksikan alam berdimensi sepuluh yang meliputi alam dunia.
Sehingga, muncullah kesimpulan bahwa alam rendah bernama Dunia ini ternyata
hanya seperti setetes air di samudera nan luas ketika dibandingkan dengan alam
Akhirat.
Saya terkagum-kagum kepada beliau yang dengan smart
memberikan analogi simple tapi mendalam, tentang dunia dan akhirat.
Itulah salah satu sebab, kenapa saya ngefans berat sama beliau, dan
memutuskan untuk tetap menjadi umatnya sampai hari kiamat.. :) Allahumma
shalli wasallim wabarik ’ala sayyidina wamaulana wahabibina Muhammad Rasulillah.
Padahal, dari sisi pengetahuan modern, ungkapan beliau itu sangat bermakna dan
membutuhkan penjelasan yang rumit, serta menjadi kontroversi hingga kini.. :)
Ada dua hal yang terkandung di dalam analogi itu. Yang
pertama, dari sisi ukuran alam semesta. Dan yang kedua, dari sisi komposisinya.
Menurut kesaksian beliau, alam dunia ini sangat kecil bila dibandingkan dengan
alam akhirat. Setetes air dibandingkan ‘tak berhingga tetesan’ air yang
membentuk samudera. Dan, secara bersamaan, analogi ini juga bermakna bahwa alam
dunia ini sebenarnya merupakan 'bagian tak terpisahkan' dari Akhirat. Mirip
dengan setetes air yang juga menjadi bagian tak terpisahkan dari samudera.
Dalam pemahaman teori dimensi, memang demikianlah
adanya. Alam dunia yang berdimensi tiga ini adalah bagian dari alam akhirat
yang berdimensi sepuluh. Tidak terpisahkan. Sudah sering saya jelaskan, bahwa
jika ada deretan garis yang berdimensi satu dalam jumlah tak berhingga dijejer
berimpitan, garis-garis itu akan membentuk luasan berdimensi dua. Dan jika
lembaran-lembaran berdimensi dua itu ditumpuk sebanyak-banyaknya sampai tak
berhingga, ia akan membentuk balok yang berdimensi tiga.
Dengan analogi di atas, saya cuma ingin menceritakan,
bahwa ‘ruangan’ berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi
satu dalam jumlah tak berhingga. Sedangkan ‘ruangan’ berdimensi tiga terbentuk
dari ‘ruangan’ berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Atau, secara umum
bisa disimpulkan, bahwa ‘ruangan’ berdimensi tinggi selalu tersusun dari
ruangan berdimensi lebih rendah dalam jumlah tak berhingga.
Sehingga, jika Anda menerima konsep itu –
detilnya dijelaskan oleh M-Theory – kita bisa memahami struktur
alam semesta yang berdimensi sepuluh itu dengan cara yang sama. Bahwa alam
Akhirat sebagai langit ketujuh ternyata tersusun dari langit ke enam dalam
jumlah tak berhingga. Sedangkan langit keenamnya tersusun dari langit kelima
dalam jumlah tak berhingga pula. Selanjutnya, langit kelima tersusun dari
langit keempat, tersusun dari langit ketiga, kedua, kesatu, masing-masing dalam
jumlah tak berhingga.
Jika disimpulkan secara sederhana, besarnya alam
akhirat itu adalah ‘tak berhingga pangkat tujuh’ dibandingkan dengan alam
dunia... :) Tentu saja, tidak ada istilah ‘tak berhingga pangkat tujuh’ di
dalam ilmu matematika. Karena, istilah tak berhingga itu sudah tidak bisa
dihitung lagi. Masa ada istilah ‘tak terhitung pangkat tujuh’? Hasilnya
pasti ‘tak terhitung’ juga, hhehe. Ini sekedar cara saya saja untuk menggambarkan
betapa luasnya akhirat dibandingkan dunia... :)
Bukan hanya fisiknya, melainkan juga kualitasnya.
Kualitas kehidupan dunia ini jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat
hanyalah ‘seper-tak berhingga pangkat tujuh’.. :D. Itulah kenapa Al Qur’an sering
menyebut kehidupan dunia ini hanya sekedar ‘main-main’, tipuan, dan fatamorgana
belaka. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan Akhirat. Yakni, saat
kesadaran kita bisa mengakses alam berdimensi lebih tinggi itu secara holistik.
Maka, kalau kita kaitkan antara alam dunia & alam
akhirat dengan keberadaan surga & neraka, kita memperoleh kesimpulan yang
menarik. Bahwa, karena surga dan neraka itu berada di alam akhirat, dan dunia
ini adalah bagian dari alam akhirat, maka kehidupan kita sekarang ini sebenarnya
sudah diliputi oleh surga dan neraka. Saat kita merasa bahagia, itu sebenarnya
adalah ‘rasa surga’ tapi dalam skala dunia. Dan ketika kita merasa menderita,
itupun adalah ‘rasa neraka’, dalam skala dunia.
Berapa besar skala perbandingannya? Kita cuma kecipratan
rasa surga & neraka dalam kadar ‘seper-tak berhingga pangkat tujuh’ saja..!
Dalam ibarat Nabi, seluruh rasa bahagia dan derita di dunia ini hanya seperti
setetes air di dalam samudera jika dibandingkan dengan rasa bahagia dan derita
yang sesungguhnya di alam akhirat. Shadaqta ya Rasulullah...
Lantas, bagaimana menjelaskan penglihatan Rasululah
saat beliau berada di Sidratul Muntaha? Kenapa beliau bisa melihat surga dan
neraka yang sudah ada penghuninya? Apakah itu kejadian sekarang ataukah
kejadian masa depan?
Meskipun secara ruangan, alam akhirat sudah ada
sekarang, sebenarnya manusia baru akan merasakannnya kelak sesudah kiamat Bumi,
yakni setelah dibangkitkan kembali. Itulah saat dimensi alam akhirat dibukakan
oleh-Nya, sehingga manusia bisa mengakses alam berdimensi lebih tinggi secara lebih
menyeluruh. Allah menyebutnya sebagai ‘terbukanya hijab’ dimensi, dimana
penglihatan dan pendengaran kita menjadi jauh lebih tajam daripada sekarang.
QS. Qaaf (50): 22
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari
(hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tabir (yang menutupi)
matamu, sehingga penglihatanmu pada hari itu amatlah tajam.
QS. Maryam (19): 38
Alangkah terangnya pendengaran mereka dan
alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada
Kami. Tetapi orang-orang yang zalim pada hari ini (di dunia) berada dalam
kesesatan yang nyata (karena
keterbatasan penglihatan dan pendengarannya).
Apa yang dilihat oleh Rasulullah saat Mi’raj itu
adalah kejadian masa depan. Bukan kejadian sekarang. Tapi kenapa Rasulullah
sudah bisa melihat semua itu? Ya, karena Rasulullah berada di dimensi tertinggi
alam semesta. Bukankah dalam pemahaman Fisika Modern, ruangan alam semesta ini
melengkung? Dan karena itu pula, dimensi waktu juga ikut melengkung? Sebab,
dimensi ruang-waktu itu memang tidak terpisahkan eksistensinya.
Ibarat Anda sedang berada di ruang dimensi tiga, maka
Anda akan bisa menggambar ‘kurva waktu’ lengkung di papan tulis yang berdimensi
dua. Sehingga, dalam waktu yang bersamaan, Anda akan bisa melihat urutan waktu
‘dulu-sekarang-nanti’ secara bersamaan dalam gambar itu. Atau, jika dimensi
waktu diibaratkan garis melengkung di permukaan sebuah bola kaca yang
berdimensi dua, maka kita bakal bisa melihat masa depan kurva itu lewat ruangan
dimensi tiga, tembus lewat kedalaman bola.
Ringkas kata, siapa saja berada di dimensi tinggi, ia
akan bisa melihat masa depan dari sebuah peristiwa yang tidak kelihatan di
dimensi rendah. Apalagi, saat itu Rasulullah berada di Sidratul Muntaha yang
memiliki dimensi paling tinggi di alam semesta. Itulah sebabnya beliau
terpesona disana, karena tidak pernah menduga akan melihat pemandangan
sedahsyat itu.
Dengan demikian, pemahaman kita sudah bertambah lagi.
Bahwa alam akhirat itu secara ruangan sudah meliputi kita, tetapi secara urutan
waktu baru akan kita rasakan kelak sesudah hari kiamat. Yakni, ketika Allah
membukakan langit-langit berdimensi tinggi, sehingga segala rahasia yang
tadinya tidak kelihatan, kelak menjadi tampak semua. Dan, surga serta neraka
yang selama di dunia tak begitu terasa, saat itu pun menjadi begitu dekatnya
dengan kita dan bisa kita rasakan sepenuhnya..!
QS. Ath Thaariq (86): 9-10
Pada hari ditampakkan segala rahasia,
maka sekali-kali tidak ada bagi manusia suatu kekuatan pun dan tidak
(pula ada) seorang penolong.
QS. Asy Syu’araa’ (26): 90-91
Dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada
orang-orang yang bertakwa, dan diperlihatkan dengan jelas neraka
Jahim kepada orang-orang yang sesat.
QS. Al Furqaan (25): 22
Pada hari mereka melihat malaikat (makhluk
berdimensi tinggi), di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang
berdosa, mereka berkata: ‘Semoga Tuhan menghindarkan kami dari bahaya’.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus
Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar