Banyak orang berbicara tentang eksistensi Tuhan dengan menggunakan sudut
pandang makhluk. Sehingga hasilnya bukan Tuhan, melainkan tetap makhluk.
Pemikiran filsafat tidak pernah menemukan Tuhan dalam arti yang sesungguhnya,
karena ia hanya berputar-putar dalam sudut pandang kemanusiaan atau makhluk
belaka.
Islam berbicara tentang Tuhan dalam sudut pandang yang lebih holistik,
keluar dari kemakhlukan. Bahwa Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang tidak serupa dengan
makhluk apa pun (laisa kamitslihi
syai-un). Sehingga setiap apa pun yang bisa kita persepsi, bukanlah Tuhan.
DIA berada dalam wilayah ‘ketidaktahuan’ kita sebagai makhluk. Selama kita
masih tahu tentang ‘dia’, maka itu bukanlah DIA.
Yang kedua, Islam mengajarkan bahwa Tuhan
adalah Maha Besar (Allahu Akbar)
mewadahi seluruh makhluk. Maka, selama masih ada sesuatu yang mewadahi ‘tuhan’,
dia itu bukanlah Tuhan. Karena itu, Islam menolak tuhan-tuhan yang masih berada
di dalam alam semesta. Tuhan tidak terwadahi oleh apa pun termasuk alam semesta
– ruang, waktu, materi & energi. Justru alam semesta itulah yang berada di
dalam Tuhan. Bahkan juga, Tuhan tidak terwadahi oleh pikiran manusia ataupun
pancaindera. Karena kalau masih terwadahi, berarti ‘tuhan’ itu masih kalah
besar dengan pikiran dan kemampuan indera kita. Ini menyalahi kaidah Allahu
Akbar. Itu pasti bukan Tuhan.
Yang ketiga, Tuhan sangat dekat dengan
makhluk-Nya (aqrabu ilaihi min hablil
warid). Diistilahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher kita
sendiri. Tentu, antara kita dengan urat leher tidak berjarak, karena urat leher
itu sudah di dalam tubuh kita. Tetapi Allah menggambarkan Dirinya sebagai lebih
dekat daripada yang tidak ada jaraknya itu. Ini sekaligus membantah orang-orang
yang mempersepsi Tuhan sebagai sosok.
Yang keempat, Tuhan mewadahi segala yang kontradiktif
(huwal awwalu wal akhiru, wazhahiru wal
bathinu). Dulu dan nanti, ada di dalam Dirinya. Kelihatan dan gaib berada
di dalam Dirinya. Disana-disini-disitu juga berada di dalam Dirinya.
Ringkas kata, kalau kita berbicara tentang eksistensi ketuhanan di dalam
islam, ibarat sedang membicarakan ‘Semesta Pembicaraan’ dalam suatu himpunan
angka. Bahwa seluruh angka yang ada di dalam himpunan itu adalah bagian atau
anggota dari semesta pembicaraan. Berbicara apa pun tentang makhluk, adalah
berbicara tentang eksistensi ketuhanan itu sendiri. Karena sekecil apa pun
eksistensi makhluk, ia adalah bagian dari semesta pembicaraan yang ‘tak
berhingga’. Namun, tentu saja, semesta pembicaraan tidaklah sama dengan apa pun
yang ada di dalam himpunan angka.
Jadi, Tuhan bukanlah sekedar pengisi kekosongan saat ‘tidak tahu’ terhadap
sesuatu, karena kita sedang berbicara totalitas eksistensi. Bahwa ‘kekosongan’
adalah bagian dari eksistensi ketuhanan, itu adalah iya, sebagaimana
‘keberadaan’ juga adalah bagian dari eksistensi ketuhanan. Bahwa
‘ketidaktahuan’ adalah berbicara tentang eksistensi ketuhanan juga iya,
sebagaimana ‘ketahuan’ juga berbicara tentang eksistensi ketuhanan.
Karena itu, untuk menjadi ‘tahu’ bahwa diri kita ‘tidak tahu’, kita harus
berproses menjadi tahu dulu. Disinilah terjadi proses saintifik dari: tidak
tahu, belum tahu, lebih tahu, semakin tahu, tapi tidak akan pernah ‘benar-benar
tahu’. Karena ternyata di balik ‘ketahuan’ selalu muncul ‘ketidak tahuan’ yang
baru. Disanalah Tuhan sedang ‘memberi tahu’ tentang kesombongan manusia yang
‘sok tahu’. Sains tidak pernah bisa menjawab segalanya, karena ia hanya membuka
tirai-tirai 'ketidak tahuan' manusia terhadap realitas yang selalu memunculkan
misteri baru di baliknya.
Lebih dari itu semua, karena Tuhan adalah semesta pembicaraan, dan bukan
anggota himpunan, maka segala operasi bilangan tidak berlaku bagi-Nya.
Pertanyaan ‘dimana Tuhan’, ‘bagaimana Tuhan’, ‘sebelum & sesudahnya ada
Tuhan apa nggak’, dan seterusnya tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan
dalam arti sebenarnya.
Untuk apa kita bertanya ‘Tuhan Ada Dimana’ misalnya. Lha wong, ruang alam
semesta ini berada di dalam-Nya. Pertanyaan ‘dimana’ itu hanya berlaku untuk
makhluk, yang sekali waktu ada disini, disitu, atau disana. Karena Tuhan sudah
meliputi seluruh ruang alam semesta, maka dalam waktu yang bersamaan DIA sudah
berada disini, disitu, dan disana. Jadi buat apa kita bertanya ‘DIA berada
dimana?’ Pertanyaan semacam itu hanya berlaku untuk makhluk yang terikat oleh
dimensi ruang.
Sama juga ketika kita bertanya tentang eksistensi Tuhan dengan pertanyaan
‘Apa, Bagaimana, dan Kapan’. Tidak bermakna apa-apa, karena seluruh waktu,
materi, dan energi sudah berada di dalam eksistensi-Nya. DIA adalah DIA, yang
tidak pernah bisa kita persepsi, karena eksistensi-Nya berada di luar jangkauan
persepsi manusia. Tetapi, kehadiran-Nya bisa dirasakan dengan hati yang jernih.
Kecuali bagi orang-orang yang tidak punya hati… ;)
Hmm, bagaimana mungkin kita bisa menceritakan bentuk sebuah gedung yang
megah, kalau kita berada di dalamnya dan tak ada peluang untuk keluar darinya?
Paling-paling kita hanya akan berputar-putar menceritakan interiornya belaka.
Itu pun hanya sejauh kemampuan mata kita memandang.. :)
~ Salam Bertuhan kepada Tuhan yang Benar-Benar Tuhan ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar