PUASA DI PERJALANAN, IKUTI JAM ATAU MATAHARI


Tiga hari menjelang bulan Ramadan, seorang kawan saya mengirimi SMS dari Amerika Serikat. SMS berbahasa Inggris itu kurang lebih berisi begini: mas Agus, saya dan anak saya sedang berada di kota Seattle.  Kami berencana melakukan perjalanan ke Oklahoma naik mobil pada saat bulan puasa. Anak saya memutuskan berpuasa 13 jam saja, sesuai dengan paparan buku Anda: ‘Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari’. Tapi saya berencana berpatokan pada gerakan matahari, yang durasinya lebih panjang. Bagaimana pendapat Anda?

Saya katakan kepadanya, tidak ada masalah dengan keduanya. Baik berbuka mengikuti tenggelamnya matahari, maupun berbuka lebih awal. Karena keduanya memiliki pijakan yang jelas. Yang berbuka mengikuti matahari berdasar pada tradisi yang sahih, sedangkan yang berbuka sesuai perhitungan jam mengikuti substansi ibadah; yang akan saya jelaskan berikut ini.

Suatu ketika saya membawa jamaah umroh di bulan puasa. Berangkat dari Jakarta sekitar jam 1 siang, pesawat bergerak ke arah barat menuju Jeddah. Kecepatan pesawat itu rata-rata 1000 km/ jam. Karena bergerak ke arah barat, maka pesawat itu seperti sedang mengejar matahari. Kecepatan rata-rata matahari 1.600 km/ jam, sehingga pesawat itu pun tertinggal 600 km/ jam. Dampaknya, durasi siang menjadi lebih panjang 4-5 jam, karena mataharinya lebih lama terlihat.

Kejadian menariknya adalah saat perjalanan itu sudah menempuh waktu lima jam. Seorang jamaah umroh bertanya kepada saya: ‘’pak Agus, menurut jam tangan saya yang masih mengikuti waktu Jakarta, sekarang ini sudah jam 6 sore.  Tetapi, saya melihat keluar jendela matahari masih terang. Bagaimana dengan puasa kita, apakah kami boleh berbuka ataukah harus menunggu matahari tenggelam?’’

Saya katakan kepadanya, ‘’Anda boleh berbuka sekarang mengikuti jam Jakarta.’’ Saya lihat matanya bersinar penuh tanda tanya. Dan, ia memang bertanya lebih lanjut: kenapa kok boleh berbuka sekarang? Bukankah berbuka harus ditandai dengan tenggelamnya matahari?, tegasnya. Saya menjawabnya demikian, karena ia memulai puasanya sahur  di Jakarta, maka ia pun boleh mengakhirinya dengan berpedoman pada jam Jakarta juga. Lha wong tidak berpuasa saja boleh kok. Karena, ia sedang dalam perjalanan: sebagai musafir.

Jamaah umroh yang mendengar argumentasi saya ada yang bisa menerima, dan lantas berbuka. Tetapi, sebagiannya tidak mantap dengan penjelasan saya itu. Dan kemudian memutuskan untuk mengikuti matahari tenggelam saja. Sambil tersenyum saya katakan kepada mereka: ‘’Silakan bagi yang mau mengikuti matahari tenggelam’’. Jadilah sebagian jamaah itu berbuka, dan sebagiannya menahan diri menunggu tenggelamnya matahari.

Satu jam kemudian, jamaah yang menunggu tenggelamnya matahari itu melihat jam tangannya. Masih jam 19.00 wib. Dia melihat keluar jendela: sinar matahari terang menyinari langit. Dua jam kemudian, dia melihat jam tangannya lagi, sudah menunjukkan jam 20.00. Di luar jendela ternyata masih terang. Tiga jam kemudian, pukul 21.00, ia melihat keluar jendela lagi, juga tetap masih terang. Ia mulai gelisah. Dan empat jam kemudian, pukul 22.00 wib, ternyata langit masih terang. Saya lihat, ia sudah hampir tidak mampu menahan kegelisahan...

Untunglah, tak lama kemudian pramugari mengumumkan bahwa kota nun jauh di bawah pesawat sudah memasuki waktu maghrib. Beberapa jamaah itu hampir bersamaan berucap Alhamdulillah, tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Dibukanya jendela, tapi mereka terkejut, karena ternyata langit tetap masih terang..! Dengan wajah bingung, ia bertanya kepada saya, kenapa sampai waktu maghrib pun langit di luar jendela masih cukup terang.

Sambil tesenyum saya menjawab: ‘’tentu saja, karena kita sedang berada di ketinggian 40 ribu kaki alias 13 kilometer dari daratan. Sehingga, matahari masih kelihatan cukup terang.’’ Saya lantas menggodanya, ‘’apakah Anda benar-benar ingin berbuka setelah matahari tenggelam?” Sambil tersipu mereka pun memulai berbuka puasa.

Saya katakan lebih lanjut kepadanya, ‘’untung kita naik pesawat dengan kecepatan 1000 km/ jam. Seandainya pesawat ini bergerak dengan kecepatan 1.600 km/ jam, yakni sama dengan kecepatan matahari, maka kita tidak akan pernah menyaksikan matahari tenggelam, meskipun berhari-hari mengelilingi bumi.’’

Lebih parah lagi, kalau kita naik pesawat Concorde yang sudah grounded itu. Kecepatannya lebih dari 2000 km/ jam. Sehingga pesawat akan menyelip matahari yang kecepatannya hanya 1.600 km/ jam. Dan ketika matahari sudah terselip, berarti posisi matahari yang tadinya di barat pesawat, kini menjadi di timurnya. Artinya, lebih pagi dari saat berangkat. Semakin lama bukan semakin siang, melainkan semakin pagi. Kemudian ketemu waktu subuh, padahal, tentu saja, kita sudah shalat subuh di tanah air. Selanjutnya, bertemulah kita dengan waktu sahur. Semakin runyam, karena semakin jauh dari waktu berbuka..!  Kok, jadi ‘kacau balau’ begini?

Yah, begitulah keadaan peradaban modern ini. Pergerakan manusia yang semakin mengglobal telah menembus batas-batas waktu konvensional yang selama ini kita jadikan patokan ibadah. Jika kita tidak melakukan adaptasi sesuai kondisi yang terus berkembang pesat ini, umat Islam benar-benar akan terjebak di masa lalu, dan sibuk berkutat dengan hal-hal yang tidak perlu. Wallahu a'lam bishshawab.

Agus Mustofa

Related Posts:

  • MENJADI HAJI TANPA BERHAJI Di tulisan terakhir ini saya ingin merefleksikan seluruh uraian tentang hikmah haji di tanah suci itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahwa ritual haji itu sebenarnyalah menjadi pedoman perilaku kita dalam mendekatkan… Read More
  • DIA TELAH MELIPUTI SELURUH CIPTAANNYA Dikarenakan adanya ruh yang masuk ke dalam jasadnya, maka manusia menjadi ‘terimbas’ sifat-sifat ketuhanan. Seperti: Hidup, Mendengar, Melihat, Berbicara, Berkehendak, Berkuasa, Berbuat, dan lain sebagainya. Ketika ruh tel… Read More
  • SA’I, PERJUANGAN TIADA HENTI Lebih dari 4000 tahun yang lalu Mekah masih berupa lembah tandus tanpa penghuni. Sekelilingnya gunung bebatuan yang tak menampakkan kehidupan. Sehingga, tak ada yang mau hidup di tempat ini karena tak ada air maupun tetumb… Read More
  • MELATIH JIWA BERKORBAN Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran.… Read More
  • TAWAF, BERPUTAR-PUTAR DI ‘ARSY ALLAH Seorang ibu setengah baya bertawaf mengelilingi kakbah sambil menangis terisak-isak. Wajahnya terlihat kalut, matanya nanar, dan mulutnya berkomat-kamit menyebut nama Allah berulang-ulang. Tak ada kalimat lain yang terucap… Read More

0 komentar:

Posting Komentar