Hari ini, 8 Dzulhijjah, jamaah haji di tanah suci sedang
bersiap-siap memulai seluruh rangkaian ibadahnya. Mereka berkumpul di kota
Mina, sebuah kawasan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Mekah, menuju ke
Arafah. Diharapkan malam ini jutaan jamaah dari seluruh penjuru dunia itu sudah
bisa berkemah di Arafah – yang masih berjarak 14 kilometer lagi. Karena, besok
siang mereka mesti melakukan wuquf sebagai awal sekaligus puncak ibadah
hajinya.
Lebih dari 4000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim bersama Istri
dan anaknya – Siti Hajar dan Ismail – juga sedang berada di tempat yang sama:
Mina. Sebuah lembah yang diapit perbukitan dimana keluarga Ibrahim sering
menggembalakan ternaknya, sampai di kawasan Arafah. Di tempat inilah Ibrahim
mulai diuji oleh Allah dengan ujian yang sangat berat, yang kemudian menjadi ritual
haji.
Waktu itu, Ibrahim sedang melepas rindu karena
bertahun-tahun tidak bertemu istri dan anaknya. Sejak bayi memang Ismail telah
ditinggalkan oleh Ibrahim di sebuah lembah tandus, cikal bakal kota Mekah.
Ismail tinggal di Mekah bersama ibundanya, Siti Hajar hingga masa remaja.
Sedangkan Ibrahim pulang ke Palestina, dan tinggal bersama istri dan anaknya
yang lain – Sarah dan Ishak. Kota Palestina berjarak sekitar 1.500 kilometer
dari Mekah.
Sejak meninggalkan mereka belasan tahun yang lalu itulah
Ibrahim melepas rindu untuk pertama kalinya, dengan mengunjungi Hajar dan
Ismail di kota Mekah. Ia begitu bangga dengan istrinya yang telah berhasil
membesarkan Ismail menjadi anak yang saleh dan penyabar. Ia juga bangga dengan
Ismail yang telah tumbuh sebagai remaja yang sangat penyantun dan taat kepada
Allah serta orang tuanya. Maka, Ibrahim pun mulai melibatkan Ismail dalam syiar
agama Islam. Dan lantas, mengajaknya untuk meninggikan pondasi Kakbah menjadi
sebuah rumah ibadah, pusat penyebaran agama Islam di Jazirah Arabiyah.
QS. Al Baqarah (2): 127-128
Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim membangun pondasi Baitullah bersama Ismail. (Mereka berdoa): "Ya
Tuhan kami terimalah (amal ibadah) kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu. Demikian pula
(jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang berserah diri kepada-Mu. Dan
tunjukkanlah kepada kami cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Dan terimalah
taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.
Maka Allah pun menunjukkan tatacara ibadah haji kepada
keluarga Ibrahim. Mereka diperintahkan untuk berjalan ke arah Arafah, sebuah
padang berjarak sekitar 22 kilometer dari tempat tinggal mereka di Mekah,
dimana Hajar dan Ismail biasa menggembalakan ternak mereka. Nah, pada tanggal 8
Dzulhijjah itu sampailah mereka di Mina, lantas beristirahat disana.
Dalam tidurnya Ibrahim bermimpi aneh, yakni disuruh
menyembelih anaknya – Ismail. Ia tergeragap, terbangun karenanya. Sebuah mimpi
yang sangat jelas, dan menggetarkan hatinya. Ia termenung memikirkan mimpi itu.
Tetapi, tidak bercerita kepada istri dan anaknya. Ia pun mengajak mereka untuk
meneruskan perjalanan ke Arafah yang masih belasan kilometer lagi. Di Arafah
itulah Ibrahim ingin berkemah untuk memperoleh petunjuk Allah tentang tatacara
ibadah haji.
Ibrahim dan keluarganya sampai di Arafah menjelang malam
hari, memasuki tanggal 9 Dzulhijjah. Mereka pun berkemah disana. Malam itu, Ibrahim
bermimpi kembali dengan sangat jelas: lagi-lagi diperintahkan untuk menyembelih
anak yang sangat dicintainya. Hatinya semakin gemetar, ia gundah jangan-jangan
ini adalah perintah Allah terkait dengan ibadah haji yang sedang dimintakan
petunjuk kepada-Nya.
Sampai keesokan harinya, Ibrahim terpanggang dalam
kegelisahan. Hatinya ragu-ragu dengan mimpi yang aneh itu. Tetapi, mau
bercerita kepada istri dan anaknya ia tidak sampai hati. Akhirnya Ibrahim
memutuskan untuk bermunajat kepada Allah seusai Zhuhur. Ia berdiam di dalam
kemahnya melakukan wuquf – menghentikan segala kegiatannya untuk memfokuskan
diri berdzikr dan berdoa kepada-Nya memohon petunjuk.
Wuquf itu dilakukannya sampai menjelang matahari terbenam.
Di dalam wuqufnya itulah Ibrahim memperoleh keyakinan, bahwa mimpi yang
dialaminya itu adalah perintah dari Allah. Sebuah proses terbukanya hijab jiwa,
yang membuatnya bisa menangkap informasi kebenaran yang ditunjukkan Allah
kepadanya. Maka ia pun menyudahi wuqufnya, dan mengajak keluarganya melanjutkan
perjalanan untuk kembali ke Mekah.
Menjelang tengah malam, keluarga Ibrahim sampai di suatu
tempat bernama Muzdalifah. Di tempat ini keluarga Ibrahim beristirahat, dan
untuk ketiga kalinya Ibrahim bermimpi dengan isi yang sama: diperintahkan mengorbankan
Ismail. Hatinya pun menjadi mantap, bahwa ini memang perintah dari Allah untuk
menguji keimanannya.
Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang janji yang pernah
diucapkannya puluhan tahun yang lalu. Sejak muda Ibrahim suka melakukan qurban.
Puluhan kambing dan unta disembelihnya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang
yang miskin dan kelaparan. Sekaligus untuk mencontohkan kepada manusia bahwa
praktek berkurban yang diajarkan oleh sejumlah agama pagan adalah tidak benar,
dikarenakan mereka membuang daging-daging ternak secara mubazir, bahkan
kadang-kadang diselingi mengorbankan manusia untuk dipersembahkan kepada para
dewa. Berkurban ala Ibrahim adalah memadukan keikhlasan untuk Allah sekaligus
menebarkan manfaat untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
QS. Al Hajj (22): 36
Dan telah Kami jadikan
untukmu unta-unta itu sebagian dari syi'ar (agama) Allah. Kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh, maka
makanlah sebagian (daging)nya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk makan
orang-orang miskin yang tidak meminta-minta. Dan (juga) untuk orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur.
Nah, sesaat setelah berkurban dalam jumlah besar itulah
Ibrahim sempat berkata, bahwa seandainya Allah menghendaki dia untuk berkurban
lebih banyak lagi ia pasti akan melakukannya. Termasuk apa saja yang paling
dicintainya. Begitulah memang keikhlasan Ibrahim dalam bertuhan kepada Allah
sebagaimana doanya yang sering kita baca dalam shalat: ‘’sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’
Ternyata ucapan Ibrahim waktu masih muda itu kini ‘ditagih’
oleh-Nya. Ibrahim diminta untuk mengorbankan Ismail yang sangat dikasihinya.
Anak yang diharapkan akan meneruskan syiar agama Tauhid yang sedang
diperjuangkannya. Betapa berat beban jiwa Ibrahim ketika itu. Tetapi, karena
ini adalah perintah Allah, maka dengan kesabaran dan kepasrahan yang sangat
mendalam ia pun bertekat untuk menjalankannya..!
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar