Betapa kelirunya jika kita beragama dengan cara
memaksa. Karena, ternyata Allah pun tak mau memaksa seseorang dalam menjalankan
agamanya. Semua harus berangkat dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan. Sehingga, proses spiritualitas
seseorang dalam meningkatkan kualitas beragamanya adalah seiring dengan proses
meningkatnya kesadaran dan berserah diri kepada-Nya. Bukan membesarnya rasa
keterpaksaan dalam menjalankan ibadah.
Beragama dengan cara terpaksa adalah percuma. Dia tidak akan pernah berserah diri
kepada-Nya, melainkan malah memupuk rasa keingkaran dalam jiwa. Tentu saja ini
berlawanan dengan kata ‘Islam’ yang bermakna berserah diri hanya kepada Allah.
Sungguh, kualitas berserah diri itu tidak akan pernah bisa dicapai oleh
orang-orang yang merasa terpaksa dalam beragama. Keberserah-dirian hanya bisa
dicapai oleh orang menjalaninya dengan keikhlasan, kesabaran, ketaatan, dan
pengorbanan.
Di dalam berbagai ayat, Allah menjelaskan hal
itu. Diantaranya dalam ayat berikut ini. ‘’Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, pastilah beriman orang-orang di
muka bumi ini, seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang beriman, semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman
kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang
yang tidak mempergunakan akalnya.’’ [QS. Yunus: 99-100].
Ayat diatas sangat gamblang bercerita bahwa Allah
memang tak hendak memaksa manusia beriman kepada-Nya. Siapa saja diberi kebebasan untuk memilih apa yang
dimauinya.Tentu saja dengan segala konsekuensinya. Padahal sebagai Sang
Pencipta yang berkuasa mutlak, Allah sangat bisa memaksakan kehendak-Nya. Dan,
kemudian tak ada orang-orang yang mengingkari-Nya. Semuanya bersujud
kepada-Nya. Apa susahnya buat Dia. Tapi Allah tidak melakukan semua itu.
Allah saja tak memaksa, kenapa kita lantas main
paksa kepada sesama untuk menjalani agama? Hal itu diungkapkan dengan kalimat
yang sangat eksplisit dalam ayat di atas: ‘’apakah kamu hendak memaksa manusia untuk beriman
seluruhnya?’’ Tak ada gunanya. Bukan itu yang dikehendaki oleh-Nya. Seseorang bisa saja dipaksa untu melakukan
shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, berdoa, dan ibadah apa saja. Tapi sungguh,
semua itu tak berguna. Karena mereka akan menjalankannya sebagai ritual belaka,
yang tak membekas ke dalam jiwanya. Hasilnya, bukan kualitas berserah diri kepada-Nya, melainkan
pemberontakan diam-diam , yang terus menerus terjadi di dalam jiwanya.
Beragama harus terjadi seiring dengan kesadaran.
Memupuk kepahaman. Yang menghasilkan keyakinan. Bukan cuma ‘ilmul yaqin, melainkan harus
meningkat ke ‘ainul yaqin, dan
berujung di haqqul yaqin.
Keyakinan dan kepahaman yang tiada tergoyahkan. Orang-orang yang sudah merasakan sendiri bahwa
beragama adalah sebuah jalan pembebasan dari keterbelengguan duniawi.
Diperolehnya kemerdekaan yang hakiki, karena dia telah bersama Allah Sang
Penguasa jagat semesta, Sang Maha Berilmu lagi Maha Bijaksana.
‘’Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa
mengingkari thaghut (tuhan selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat, yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Berilmu.’’ [QS. Al Baqarah: 256].
Sekali lagi, lewat ayat ini, Allah menegaskan
bahwa beragama tidak boleh dilakukan dengan terpaksa. Kalau terpaksa, berarti
belum beragama dengan benar. Shalatnya terpaksa, dzikirnya terpaksa, puasanya terpaksa, zakatnya
terpaksa, menolong orang terpaksa, dan semua aktifitas ibadahnya terpaksa. Itu
belum menunjukkan proses beragama yang benar.
Yang harus dilakukan, kata ayat di atas, adalah membedakan
antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang tersesat. Istilah yang dipakai dalam ayat
tersebut adalah: qad tabayyana
rrusydu minal ghayyi ~ sungguh sudah jelas antara kebaikan dan keburukan.
‘Tabayyana’ itu bermakna klarifikasi dan cross-check. Maksudnya,
beragama memang tidak boleh asal percaya dan ikut-ikutan belaka. Harus
dikaji dengan akal sehat, diklarifikasi, dan di-cross-check kebenarannya
ke sumber-sumber yang otentik.
Jika sudah jelas valid, kesimpulannya akan menjadi kepahaman dalam
menjalani agama. Dan kemudian memunculkan keyakinan yang tiada tergoyahkan.
Dalam istilah ayat di atas, kita seperti berpegang pada tali yang sangat kuat
yang tidak bisa putus. Hidupnya tidak terombang-ambing oleh ketidak-pastian.
Karena dia telah mengikuti cara Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Berilmu. Wallahu
a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar