‘Shalat
adalah ibadah yang ditentukan waktunya’. Begitulah Allah berfirman
di dalam Al Qur’an. Ayat ini memiliki multi-tujuan. Selain memberikan pedoman dalam
menjalankan shalat, di dalamnya terkandung perintah agar umat Islam memahami
soal waktu. Bahkan, di sebuah surat yang sering kita baca, Allah menjadikan
waktu sebagai sumpah: wal ashri - demi
waktu. Menunjukkan betapa pentingnya ‘waktu’ itu.
Terkait dengan penetapan waktu ibadah shalat,
umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat
mengganjal. Dan saya
masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama, dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu
global – antar benua. Atau, yang bermukim di negara-negara sub-tropis.
Kawan saya – cerita di tulisan sebelumnya – yang
sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun bertanya
tentang hal ini. ‘’Mas, bagaimana saya menentukan
waktu shalatnya. Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja.
Lantas, berpedoman ke jam yang mana?’’ tanyanya, gundah.
Pertanyaan semacam itu, katanya sudah disampaikan ke beberapa kawannya yang
dianggap mengerti, tapi belum terjawab secara tuntas, sampai ia membaca buku
saya: ‘Tahajud Siang Hari, Duhur Malam Hari’. Beberapa jawaban yang ia terima, menganjurkan agar ia memanfaatkan saja
‘keringanan’ yang diberikan Al Qur’an, yakni dengan men-jamak-qashar shalat, dan mem-fidyah puasanya.
Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu shalat
dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu Duhur, atau boleh juga di
waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah empat-empat, melainkan cukup
dua-dua. Demikian pula dengan Maghrib dan Isya’, Tiga rakaat dan dua rakaat.
Sehingga shalat lima waktu hanya dikerjakan dalam tiga waktu saja. Sedangkan fidyah, adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi
makanan kepada orang miskin.
Tapi, menurutnya, karena ia berada di negara lain
itu dalam kurun waktu yang panjang, ‘’masa iya saya harus terus
menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku
sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan, untuk mengunjungi
anak saya yang bersekolah disini,’’ paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa kali saya terima.
Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.
Maka, saya menganjurkan mereka untuk mengacu
kepada jam saja. Sama dengan yang terjadi di negara-negara tropis, termasuk
Indonesia. Setiap shalat tak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup melihat
jam tangan, atau jam dinding atau jam HP. Bahwa shalat Subuh di wilayah
tropis adalah sekitar jam 4 sampai jam 5 pagi. Duhurnya, antara jam 12 sampai
jam 3 siang. Asharnya jam 3 sampai jam 6 sore. Maghrib antara jam 6 sampai jam
7 petang. Dan Isya’ antara jam 7 sampai menjelang subuh.
Pertanyaannya adalah: bagaimana
dengan musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja,
Maghrib baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa
jam 11 atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada kawan-kawan saya itu
agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus dilihat adalah matahari
tropis, di garis bujur yang sama. Karena, di garis bujur yang sama itu semua
kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama. Cuma berbeda posisi
mataharinya. Yang dijadikan
patokan adalah kota di negara tropis dimana matahari bergerak secara seimbang,
pada kawasan 23,5 derajat lintang utara, dan 23,5 derajat lintang selatan.
Contoh gampangnya begini. Jika di
Surabaya sedang jam 12 siang, maka kota-kota di garis bujur yang sama adalah
jam 12 siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan
Rusia, semua yang segaris bujur sedang berada di jam 12 siang. Demikian
pula di belahan selatan, mulai dari pantai barat Australia sampai ke Antartika.
Bedanya, ketika di belahan utara Bumi sedang Musim Panas, maka di belahan
selatan sedang musim dingin.
Yang di utara siangnya lebih panjang, sedangkan yang di selatan malamnya
lebih panjang. Tapi semua kawasan yang segaris dengan Surabaya itu berada di
jam 12 siang. Meskipun di belahan selatan sedang puncak musim dingin, dan
langitnya gelap seperti malam hari, substansinya kawasan itu sedang berada di
siang hari. Jadi, kalau mau shalat Duhur, tidak usah menunggu matahari musim
panas yang baru datang beberapa bulan lagi. Laksanakan saja shalat Duhur pada
‘malam hari’ itu. Karena, sebenarnya, meskipun langit sedang petang,
sesungguhnya itu adalah jam 12 siang..!
Demikian pula, pada saat tengah
malam di Surabaya. Katakanlah sedang jam 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang
mengalami puncak musim panas, pasti sedang terang benderang. Kalau Anda
ingin shalat Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di
musim dingin yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja shalat Tahajud di ‘siang hari’ itu. Karena sesungguhnya, itu
adalah jam 12 malam, cuma sedang dihadiri oleh matahari. Sehingga, terjadilah
shalat Tahajud di siang hari, Duhur di malam hari..!
‘’… Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa
kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi
keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an…’’ [QS. Muzzammil: 20].
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar