Di bagian akhir tulisan saya tentang Takdir &
Kehendak ini saya ingin menegaskan sekali lagi, perbandingan antara kehendak
makhluk dengan kehendak Tuhan. Bahwa, kehendak makhluk itu berada di dalam
kehendak Tuhan. Bagian yang tak terpisahkan, tetapi tidak sama. Ibarat setetes
air di dalam samudera.
Apakah setetes air adalah bagian dari samudera?
Tentu saja, jawabnya: ya. Apakah setetes air sama dengan samudera? Tentu saja,
jawabnya: tidak. Air setetes dan dan air samudera adalah sama-sama air laut, tetapi banyak
memiliki perbedaan. Mulai dari jumlahnya, kekayaan kandungannya, dinamikanya, power-nya,
daya coverage-nya, informasi yang terkandung di dalamnya, dan
seterusnya.
Meskipun, analogi ini tidak bisa sepenuhnya mewakili perbandingan antara
makhluk dan Tuhan, tapi saya kira Anda bisa menangkap maksud saya. Bahwa,
setetes air dan samudera adalah tidak sama, meskipun setetes air itu adalah
bagian samudera yang sudah melebur di dalam samudera itu sendiri.
Karena itu, ketika kita berbicara soal kehendak makhluk di dalam Kehendak
Allah, kita tidak boleh serta merta menyamakan antara keduanya. Seakan-akan
kehendak kita SUDAH MEWAKILI kehendak Allah. Tentu terjadi distorsi pemahaman
yang sangat jauh. Ibarat Anda mewakilkan kekuatan dan kekayaan samudera kepada
setetes air laut. :(
Maka, perhatikanlah istilah yang layak digunakan untuk makhluk dan untuk
Tuhan dalam hal ‘kehendak bebas’ ini. Untuk
Tuhan lebih pantas kita gunakan FREE WILL – ‘kehendak bebas’. Sedangkan
untuk manusia lebih pantas disebut free choice – ‘pilihan bebas’. Dari
sini saja kita sudah paham seberapa bebas ‘pilihan’ yang dimiliki oleh manusia
dibandingkan ‘KEHENDAK’ Tuhan.
Bahwa manusia tidak memiliki kemampuan
berkehendak semau-maunya. Karena, ia sudah DIBATASI oleh desain penciptaannya. Badannya kecil, ototnya tidak
seberapa, jangkauan pandangan dan pendengarannya terbatas, kekuatan organ
tubuhnya juga ringkih, bahkan kemampuan otak yang dibangga-banggakan itu pun
banyak mengalami distorsi. Jadi, mau berkehendak bebas macam apa sih manusia
ini?!
Paling-paling, Anda hanya bisa memilih antara
segelas coca-cola dan segelas air mineral. Atau, tambahkanlah sejauh perbendaharaan bahasa Anda
tentang jenis makanan dan minuman, mulai dari dawet, bajigur, es teller, es cendol, teh panas, sampanye sampai vodka,
dst. Semakin Anda berusaha menyebut daftar menu itu akan semakin tampak
keterbatasan Anda. Hhehe.., ternyata hanya ‘segitu saja’ kehendaknya..!
Manusia TIDAK BISA berkehendak secara bebas. Yang
bisa dia lakukan hanyalah MEMILIH dari apa yang sudah ada di sekitarnya. Bahkan, hanya dari yang dia KETAHUI
saja. Tak lebih. Apa yang disebut
‘kebebasan’ itu ternyata secara natural sudah terbatasi dengan sendirinya oleh
desain kemanusiaan kita. Saya suka dengan ungkapan ini: You can do
every thing under My Rules..!
Maka, meskipun menurut saya tidak terlalu penting, jika hal ini mau
diproyeksikan ke filosofi Newtonian, Einsteinian dan Holografik, kita bisa
membedakan tingkat kebebasan makhluk terhadap Tuhan itu sedemikian rupa. Secara Newtonian, manusia memandang Tuhan
sebagai SOSOK yang terpisah dari ruang dan waktu. Atau, malah ada yang
memandangnya berada di dalam ruang & waktu. Misalnya ada yang
mendefinisikan Tuhan berada di dalam surga. Atau, di langit. Atau di dalam
hati. Atau, di alam akhirat. Sehingga menimbulkan komplikasi yang kontradiktif:
Tuhan ada disana, dan tidak berada disini.. :(
Konsekuensi dari sudut pandang ini, makhluk
menjadi ‘sosok berkehendak’ yang berada di luar Kehendak Tuhan. Sehingga
muncullah istilah free-will bagi makhluk. Padahal, sebenarnya tidak ada free-will
baginya. Yang ada ialah free-choice. Ketika pemahamannya sudah pada free-choice,
sebenarnya kita sudah mulai melangkah ke filosofi Einsteinian yang memandang
Tuhan meliputi makhluk-Nya. Bukan lagi sebagai sosok yang terpisah: Tuhan di
surga, dan makhluk di Bumi.
Dalam tataran Einsteinian, ruang dan waktu alam
semesta berada di dalam Tuhan. Tuhan sudah meliputi kehendak
manusia. Sehingga kehendak manusia merupakan ‘bagian’ dari kehendak Tuhan.
Jangan lagi membayangkan Tuhan sebagai ‘Sesuatu yang terpisah’ dari
makhluk-Nya. Sayangnya, teori ini tidak
bisa menjelaskan bagaimana ‘posisi’ makhluk di dalam Tuhan itu sendiri, karena
Einsteinian hanya mendefinisikan alam semesta sebagai ruang berdimensi tiga.
Sehingga kata ‘meliputi’ menjadi tidak jelas maknanya. Lha wong tidak
ada ruangan yang lebih besar dari universe yang telah didefinisikan sebagai 3
dimensi.
Dengan munculnya teori Holografik, saya lantas
bisa menjelaskan dengan lebih gamblang tentang 'posisi makhluk di dalam Tuhan’
secara lebih teknis. Termasuk, kehendak manusia di dalam Kehendak-Nya. Bahwa,
makhluk bukan lagi ‘bagian’ dari eksistensi Tuhan, melainkan cuma hasil
proyeksi dari diri-Nya.
Karena sifatnya proyeksi, maka hasil proyeksinya
pasti memiliki derajat lebih rendah. Pasti juga, dimensinya lebih rendah. Pasti
juga kualitasnya lebih rendah. Bergantung ini hasil proyeksi berapa kali dari masternya. Jika sebuah benda berdimensi tiga
diproyeksikan sekali, ia akan menjadi benda berdimensi dua. Dan jika
diproyeksikan lagi, ia akan menjadi benda berdimensi satu. Dan jika diproyeksikan lagi, dia akan menjadi
‘titik’, yang secara filosofis bermakna ‘ketiadaan’. Alias ilusi belaka.
Ada simbolnya, tapi tidak ada isinya.
Dan menariknya, setiap kali kita memperoyeksikan
benda, hasilnya selalu kehilangan sejumlah informasi seiring dengan hilangnya
salah satu dimensi. Kalau ada sebuah kotak berbentuk kubus Anda sorot dengan lampu proyektor
ke dinding, Anda tidak akan bisa lagi melihat ‘ketebalan’ kubus itu. Karena
bentuknya sekarang menjadi sebuah 'bayangan' kotak tanpa ketebalan. Yang ada
cuma panjang dan lebarnya saja. Selanjutnya, ketika diproyeksikan lagi Anda
akan kehilangan sekali lagi sisi panjangnya atau sisi lebarnya. Karena ia akan
membentuk sepotong 'garis'. Dan akhirnya, ketika diproyeksikan lagi, Anda akan
kehilangan semua informasinya.
Begitulah perbandingan antara Kehendak Allah’
dengan ‘kehendak makhluk-Nya’. Karena kehendak makhluk adalah proyeksi dari
Kehendak-Nya, maka Anda sebenarnya sudah kehilangan informasi sangat banyak
tentang kehendak Allah itu. Anda sama sekali tidak akan bisa membayangkan Kehendak Allah, hanya dengan
memahami kehendak manusia. Jika dipaksakan, akan menjadi absurd..!
Jadi, kalau saya ditanya: ‘’Di manakah unsur ‘free-choice’ (atau
‘bebas’nya) ketika peristiwa yang terjadi /kehendak manusia itu
merupakan hasil “proyeksi holografik dari sebuah realitas tunggal” dari-Nya?’’
Maka, jawabnya ada dua:
Yang pertama, terjadi kesalahan mendasar secara filosofis (entah
disengaja atau tidak) dalam mentranslate free-choice dengan ‘kehendak
bebas’. Menurut saya, mestinya diterjemahkan sebagai ‘pilihan bebas’. Disini
saya melihat ada kerancuan, atau keambiguan, atau kegamangan.
Yang kedua, jangan membayangkan ‘kehendak’ sebagai sosok materi,
yang ketika diproyeksikan akan membentuk sesosok ‘kehendak’ pula. Kehendak
adalah ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tentu saja abstrak.
Tidak bisa disosokkan. Sama dengan ‘waktu’ yang juga hasil proyeksi dari diri-Nya. Anda tentu
tidak bisa mensosokkan waktu, meskipun ia adalah proyeksi diri-Nya. Lha wong
ditanya ‘waktu’ itu apa sih, sudah kebingungan. Apalgi memahami dan melihat
Masternya ‘waktu’.
Maka, lewat proyeksi holografik itu, manusia menjadi memiliki ‘daya dorong’
untuk melakukan sesuatu pula sebagaimana Allah. Tetapi, dalam skala yang sangat
terbatas. Sehingga kita lebih pantas menyebutnya sebagai ‘pilihan bebas’. Bukan
kehendak bebas.
Pertanyaan kedua tentang konsep free-choice dalam model Newtonian,
Einsteinian, dan holografik sudah saya jawab dalam uraian di atas. Sedangkan
pertanyaan ketiga: apakah Allah TAHU
bahwa orang yang sakit itu sembuh (‘melihat’ proyeksi holografik diriNya yang
real-time itu)? Ataukah Allah ‘menunggu’ respon dari manusia sakit itu untuk
‘mengubah’ takdirnya? Ataukah Allah tidak memiliki foreknowledge sama sekali?
Menurut saya, pertanyaan ketiga ini muncul
dikarenakan belum utuhnya pemahaman penanya terhadap konsep holografik. Bahwa
di dalam teori holografik tidak ada istilah ‘forekowledge’ ataupun ‘menunggu’,
seakan-akan Allah berada di dalam deret waktu. Atau katakanlah: meliputi waktu.
Karena, intisari konsep holografik adalah kejadian SEKARANG. Tidak ada masa
lalu dan akan datang.
Setiap peristiwa adalah REAL-TIME sekarang semua. Urutan kejadian yang dibayangkan
manusia itu hanya akibat dari persepsi otaknya, yang mengurutkan kejadian
‘sekarang-1, sekarang-2, sekarang-3, sekarang-4, dst…’ Karena itu, pertanyaan apakah ‘Allah tahu’ bahwa orang yang sakit itu
AKAN sembuh?, sebenarnya TIDAK BERMAKNA dalam sudut pandang holografik. Karena,
waktu di dalam-Nya tidak bergerak.
Kesalah kaprahan ini terjadi, karena kita MENGIRA
Tuhan memandang realitas dengan menggunakan sudut pandang manusia yang berada
di dalam ruang-waktu. Menjadi konyol. Dan ini memang menjadi kelemahan dari filosofi
Einsteinian, yang lantas ditutupi oleh teori holografik.
Dalam sudut pandang holografik, Tuhan tidak bisa
DIPREDIKSI sama sekali. Karena, tidak ada waktu untuk memprediksinya, sebagai
konsekuensi proses yang real-time. Juga, dikarenakan kita sebagai manusia
hanyalah PROYEKSI yang sudah mengalami DEGRADASI dalam skala tak berhingga dari
‘Sesuatu’ yang kualitasnya tak berhingga dan tak bisa kita bayangkan. Lha wong menebak kehendak
saya saja Anda tidak bisa, padahal kehendak saya kan hanya proyeksi dari
Kehendak-Nya, kok mau menebak-nebak kehendak Tuhan.
Maka, betapa pas dan indahnya ketika Allah membuat perumpamaan hubungan
antara makhluk dengan Allah itu ibarat pelita dan cahaya. Makhluk ini hanyalah
pancaran cahaya dari sebuah PELITA. Dimana pelita itu tersembunyi di balik
kaca, di dalam sebuah lubang gelap yang misterius. Yang karenanya, Anda tidak akan
pernah bisa melihat PELITA, Sang Sumber cahaya. Apalagi, kalau sekedar
MENEBAK-NEBAK dari kejauhan berdasar cahaya yang dipancarkan-Nya. Ooalah,
manusia.. manusia… !
QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA Allah, adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada PELITA besar. Pelita itu di
dalam kaca. Kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (Yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat. Yang minyaknya
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya,
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan ini bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Wallahu ‘alam bishshawab
Agus Mustofa
~ Salam ‘Menjadi Cahaya-Nya’ ~
0 komentar:
Posting Komentar