WAKTU MUTLAK DAN PENANGGALAN RELATIF


Tanggal berapakah sekarang? Orang Indonesia menyebutnya tanggal 29 juli 2012. Orang Cina menamakannya, 11 Bing Shen 4710. Dan orang Arab mengatakan, 10 Ramadan 1433 H. Padahal harinya sama. Tetapi, kenapa kok tanggalnya berbeda? Itulah realitas. Waktu alam semesta bersifat mutlak, tetapi waktu manusia berbeda-beda, bersifat relatif.

Memang, kalender bersifat kesepakatan manusia. Bisa dalam komunitas kecil, atau bangsa, atau dunia internasional. Tiga macam kalender yang saya sebut diatas adalah tiga kalender besar dunia, yang masing-masingnya dianut oleh miliaran penduduk bumi. Kalender Masehi alias Gregorian dipakai secara internasional, antar bangsa dan negara. Kalender Cina dipakai oleh bangsa Cina dimana pun mereka berada. Demikian pula kalender Hijriyah dipakai oleh umat Islam di berbagai negara.

Perbedaan antara satu kalender dengan lainnya, terletak pada sistem penghitungan dan permulaan tahun pertamanya. Kalender Masehi menganut sistem solar yang berbasis pada peredaran bumi mengelilingi matahari, dan memulai awal tahunnya dari kelahiran Al Masih. Sekarang sudah berumur 2.012 tahun. Kalender Cina menggunakan dasar perhitungan terpadu antara sistem matahari dan bulan (lunisolar). Dan awal tahunnya dimulai dari masa pemerintahan kaisar Huang Ti. Usia kalendernya sudah 4.710 tahun. Sedangkan kalender Hijriyah berdasar pada perputaran bulan (lunar), dan dimulai dari saat hijrahnya Rasulullah SAW. Usia kalendernya sudah 1.433 tahun.

Untuk menyebut fakta alam yang sama, ternyata manusia menggunakan cara berbeda-beda, tergantung pada kepentingannya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi, masing-masing pengguna kalender tersebut sepakat bahwa kalender mereka berlaku internasional. Bukan hanya pada komunitas terbatas. Bahkan, semuanya ingin agar kalendernya dipakai sebagai pedoman internasional untuk menandai berbagai peristiwa.

Kalender Masehi adalah kalender yang paling global, dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Termasuk yang sudah punya kalender Cina dan Hijriyah. Sedangkan Kalender Cina terbatas di negaranya sendiri, dan para Cina perantauan yang masih ingin menjalin hubungan dengan bangsanya. Demikian pula kalender Hijriyah, berlaku di negara-negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudiyah, beserta umat Islam dimana pun berada, yang berkepentingan untuk menandai peristiwa-peristiwa keagamaannya. Diantaranya, puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Semua itu, tentu saja, dimaksudkan agar pelaksanaan ibadah puasa, Idul Fitri dan Hari Raya Haji memiliki gaung syiar secara internasional.

Maka, jika terjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain dalam penetapan kalender Hijriyah, sebenarnya itu menyalahi tujuan dibuatnya kalender tersebut. Mestinya tidak mungkin berbeda, kecuali para penganut  kalender itu tidak ingin kalendernya mendunia. Dan hanya berlaku lokal-lokal saja. Atau, bahkan hanya terkotak-kotak dalam komunitas kecil belaka. Kalender seperti ini bakal berakhir tragis – punah – karena penganutnya akan semakin sedikit, disebabkan konflik yang terus menerus muncul karenanya. Dan tidak bisa dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat.

Jadi, untuk apa dibuat kalender kalau tidak untuk disepakati dan ditaati, dimana negara-negara yang bertetangga pun bisa berbeda.  Bahkan, di dalam negara yang sama pun, ternyata ada dua kalender Hijriyah. Keadaan semacam ini akan mendorong generasi selanjutnya lebih suka memilih kalender lain yang lebih praktis. Maka, kayaknya ada yang salah dengan penanggalan Hijriyah yang berbeda saat awal Ramadan itu. Dan tentu saja harus segera diselesaikan, karena bisa menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif secara syiar.

Itulah alasannya, kenapa saya lantas mengajukan solusi memisahkan ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’ Ramadan, seperti dalam tulisan sebelumnya. Karena, kalender Hijriyah di seluruh muka bumi ini harusnya sama. Kalau berbeda, menjadi aneh. Masa, di Arab Saudi dan Mesir tanggal 1 Ramadan, tapi di Indonesia tanggal 30 Syakban, misalnya. Padahal jarak antara Timur Tengah dengan Indonesia hanya 4-5 jam saja. Tentu, ada yang keliru dengan perbedaan ini. Kecuali, kedua kawasan itu berjarak 12 jam, sehingga berada di balik bumi.

Dengan memisahkan antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’, persoalannya menjadi clear. Bahwa di setiap negara yang menganut kalender Hijriyah, pada hari yang sama tanggalnya pasti sama. Tetapi puasanya bisa saja berbeda, dikarenakan alasan fikih terkait penampakan hilal. Ada yang melakukannya lebih awal, dan ada pula yang lebih akhir. Saya kira – untuk sementara waktu – tidak menjadi masalah. Karena ada landasan yang jelas. Akan tetapi akan menjadi absurd, kalau di antara negara-negara penganut kalender Hijriyah itu sendiri berada di tanggal yang berbeda-beda. Segala interaksi administrasi internasional bakal ikut bermasalah.

Mudah-mudahan umat Islam di dunia Internasional – khususnya di Indonesia – segera menyadari hal yang sangat serius ini. Segeralah duduk bersama untuk membuat kalender Hijriyah yang disepakati bersama, karena dari sinilah bermula kerbersamaan umat. Wallahu a’lam bishshawab.


Agus Mustofa

Related Posts:

  • SURGA DAN NERAKA SUDAH KITA RASAKAN Perbandingan antara alam dunia dan alam akhirat itu, ibarat ujung jari dicelupkan ke samudera. Setetes air yang ada di ujung jari itulah dunia, dan samudera itulah akhiratnya. Demikianlah suatu ketika Rasulullah dawuh kepa… Read More
  • DUNIA DAN AKHIRAT ADA SECARA BERSAMAAN Setelah memahami bahwa kehidupan Bumi pasti bakal berakhir, salah satu ‘kata kunci’ dalam memahami buku ‘Akhirat Tidak Kekal’ adalah definisi tentang ‘alam dunia’ dan ‘alam akhirat’. Ini perlu kita pahamkan terlebih dulu, … Read More
  • DUNIA DI BUMI DAN AKHIRAT JUGA DI BUMI Banyak diantara kita yang membayangkan alam akhirat itu nun jauh disana – beyond the universe. Padahal puluhan ayat Al Qur’an dengan sangat gamblang menceritakan bahwa alam akhirat itu terjadi di Bumi ini pula. Alam dunia … Read More
  • KETIKA YANG MATI BISA HIDUP KEMBALI Salah satu issue yang ditegaskan berulang-ulang oleh Allah di dalam Al Qur’an adalah tentang bisa hidup kembalinya orang-orang yang sudah mati. Kenapa demikian? Karena, bagi yang tidak percaya kepada Al Qur’an, itu adalah … Read More
  • APA PUN YANG TERJADI, BUMI PASTI MATI Suatu ketika di tahun 1988, saya membaca koran Jawa Pos di halaman opini. Salah seorang wartawannya menulis cerita tentang ‘Kematian Bumi’, yang membuat saya tergerak untuk menanggapinya. Waktu itu, saya memang belum menja… Read More

0 komentar:

Posting Komentar