PENEMUAN Alain Aspect bersama timnya dari
Universitas Paris, tentang adanya interaksi antar partikel yang melebihi
kecepatan cahaya telah melahirkan teori holografik yang mengubah pemahaman
manusia modern terhadap realitas alam semesta. Ini sekaligus menjawab kelemahan
teori Einstein tentang kontinum ruang dan waktu.
Tiga dasawarsa yang lalu, Aspect bersama timnya
menemukan fakta bahwa partikel-partikel sub-atomik seperti elektron mampu
berkomunikasi secara real-time tanpa tergantung jarak. Tidak ada bedanya antara
jarak 1 meter dengan 1 milyar tahun cahaya. Dalam kondisi tertentu, ternyata
interaksi antar benda bisa berjalan secara serentak.
Tentu saja, hal ini melanggar prinsip dasar teori
Einstein yang menyatakan setiap interaksi membutuhkan proses dengan kecepatan
tak melebihi cahaya. Dalam skala makrokosmos, Teori Einstein terbukti tidak bisa menjelaskan
fenomena: kenapa antara dua benda langit yang berjarak miliaran tahun cahaya
bisa terikat oleh gravitasi secara real-time alias serentak. Apakah laju gaya
gravitasi memiliki kecepatan melebihi cahaya? Sebuah fakta yang bertolak
belakang dengan keyakinan para penganut teori Einstein.
Jawaban atas fenomena ini muncul dari penelitian
Aspect cs, yang kemudian memicu munculnya teori holografik yang diajukan oleh
pakar Fisika Teoritis dari Universitas London, David Bohm dan pakar neurofisiologi Karl Pribram
dari Universitas Stanford. Menurut Bohm, adanya interaksi real-time antar benda
itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar
proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita
observasi.
Ia menganalogikan demikian. Ada seekor ikan di
dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu dipasangi kamera:
depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu lantas
dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita, sebagai
pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat keenam
layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari sisi yang
berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.
Maka, apakah yang terjadi ketika ikan itu
bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang berbeda’.
Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan gerakan ekor.
Dan
monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian tubuh lainnya. Dan lihatlah, semuanya terjadi secara
serentak..! Tanpa membutuhkan waktu proses.
Bahkan seandainya seluruh monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun
cahaya, seluruh layar monitor akan menampilkan perubahan itu secara real-time,
terhadap peristiwa tunggal yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi antar-benda yang melebihi
kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh apa yang kita lihat memang bukan
realitas, melainkan sekedar proyeksi dari sesuatu yang tunggal belaka..!
Begitulah realitas alam semesta menurut paradigma
holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak lebih hanya
proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik segala yang
bisa kita observasi. Kenapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh pakar Neurofisiologi, Karl
Pribram dari Universitas Stanford.
Menurut Pribram, itu dikarenakan otak kita ini
bekerja secara holografik. Otak kita dengan sistem sensorik panca indera itulah
sebenarnya yang menstransfer ’Realitas Sejati’ di balik alam semesta, bagaikan
sebuah kamera, yang kemudian ditampilkan di ’layar monitor’ pemahaman kita.
Mirip dengan kamera yang digunakan untuk memantau ikan di dalam aquarium yang
saya ceritakan di atas. Seluruh frekuensi yang datang dari mata, telinga, penciuman, lidah, dan
kulit diproyeksikan ke dalam ’layar monitor’ di otak kita. Dan kemudian
menghasilkan gambar-gambar holografik yang kita pahami sebagai persepsi.
Sebagai gambaran, proses holografik pada benda
terjadi karena adanya interferensi sinar dari arah yang berbeda yang berpadu
sehingga membentuk gambar semu. Saya kira, Anda pernah melihat gambar hologram. Cara membuatnya begini: sebuah
obyek gambar yang ingin dibuat hologramnya dipancarkan dengan sinar laser ke
sebuah pelat film. Dalam waktu yang bersamaan pelat film itu juga disinari
dengan laser dari sudut yang berbeda. Bisa dengan obyek yang sama, bisa juga
dengan obyek yang berbeda.
Maka, ketika pelat film itu dicetak, ia akan menghasilkan gambar hologram
tiga dimensi yang semu. Jika obyek yang
diproyeksikan sama, Anda akan melihat hasil cetakannya menjadi 'dobel' atau
meruang dalam tiga dimensi dipandang dari sudut tertentu. Tetapi jika obyeknya
berbeda, Anda akan melihat gambar hologram itu berubah-ubah ketika dipandang
dari sudut yang berbeda.
Begitulah kurang lebih cara kerja otak kita. Ia
bekerja sebagai layar monitor yang menerima proyeksi dari sistem sensorik, yang
kemudian menghasilkan interferensi frekuensi dari berbagai sudut, sehingga
menghasilkan image atau persepsi tiga dimensi. Tetapi, sesungguhnya semua itu
semu belaka. Karena
kita tidak pernah ’melihat’ realitas sesungguhnya di alam semesta ini, kecuali
sesudah melewati ’kamera’ panca indera dan ’layar monitor’ sistem saraf di otak
kita..!
Mekanisme holografik ini pula yang bisa
menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya. Bahwa sistem memori itu tidak
terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak saja, melainkan terpencar ke
seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme holografik, dimana
perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi di semua titik-titik
cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah tak
berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang
ditembakkan ke pelat film.
Di setiap perpaduan gelombang itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah
terbukti dalam berbagai penelitian holografik, bahwa dalam setiap senti meter
kubik pelat film hologram bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit
informasi. Sebuah kapasitas memori yang luar biasa besar, yang sangat
bersesuaian dengan fenomena kerja memori otak kita.
Dengan teori holografik ini pula bisa dijelaskan,
kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan ’mendengar’ gelombang
cahaya. Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang memapar seluruh
permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai penelitian menunjukkan ternyata range
frekuensi panca indera kita itu jauh lebih lebar dari yang diperkirakan selama
ini. Seluruh tubuh kita bisa menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya,
dan merekamnya secara holografik di dalam otak kita. Dengan cara ini pula bisa
dijelaskan, kenapa seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan
orang lain, dan menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif
langsung ke otaknya.
Maka ringkas kata, saya cuma ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap realitas
alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi besar-besaran
seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas. Pijakannya
sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke masa depan.
Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang diproyeksikan
ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di balik segala yang
bisa kita observasi..!
Alam semesta dengan segala peristiwanya ini, tak
lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..!
Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang merasa dirinya
'ada', apalagi mengira akan 'eksis selama-lamanya'. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan
bahwa kehidupan ini sebenarnya semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya
sebagai pelita, dan segala ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja
adalah pelita, sedangkan cahaya hanya pancaran dari sang pelita.
Ya, semua realitas ini, termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari
diri-Nya..!
QS. Al Hadiid (57): 20
... Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, seperti
sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita
itu di dalam kaca. Kaca itu bagaikan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. Yaitu, pohon
zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat. Minyaknya
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya,
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Wallahu a’lam bishshawab
~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar