Bagian yang paling ‘membingungkan’ bagi sejumlah
kawan di dalam forum DTM ini adalah hubungan antara kehendak makhluk di dalam
KEHENDAK Tuhan. Ujung pangkal kebingungan itu saya lihat bermula ketika kita mengira bahwa
KEHENDAK Tuhan itu sama dengan kehendak kita. Atau, setidak-tidaknya, kita
merasa tahu kehendak Tuhan, dan bahkan menempatkan diri lebih tahu daripada
Tuhan. Hhehe.., lha wong menebak kehendak saya saja Anda tidak bisa, kok mau
menebak kehendak Tuhan.. ;)
Untuk bisa memahami posisi kehendak manusia di dalam kehendak Allah, saya
ingin mengajak Anda menelusurinya dari ujung pangkalnya, dan mengambil pijakan
dari sumber otentik: Firman Allah.
1. Bahwa seluruh alam semesta ini adalah MILIK-Nya dan DILIPUTI-Nya. Baik
itu berupa dimensi ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Termasuk peristiwa ‘baik’ dan
‘buruk’, anugerah dan musibah, adalah milik-Nya dan berada di dalam-Nya.
Diliputi-Nya.
QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah segala yang di langit dan
segala yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala
sesuatu.
2. Bukan hanya diliputi-Nya, baik dan buruk itu ternyata juga BERASAL
dari-Nya. Orang-orang yang menganggap kebaikan datang dari Allah, dan keburukan
datang dari manusia disebut sebagai ‘tidak mengerti’ pembicaraan.
QS. An Nisaa’ (4): 78
… Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini
adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana
mereka mengatakan: "Ini dari sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya dari sisi Allah". Maka mengapa
orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
3. Semua kejadian di alam semesta ini adalah KEHENDAK-NYA. Dan ketika
menghendaki semua realitas ini Dia hanya mengatakan KUN – 'jadilah',
maka mewujudlah segala yang Dia kehendaki itu. Termasuk ketika Allah
menciptakan manusia.
QS. An Nahl (16): 40
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya,
Kami hanya mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia.
QS. Ali Imran (3): 59
Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti Adam.
Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: KUN
(jadilah), maka jadilah dia.
4. Karena manusia diliputi Allah, maka kehendak manusia pun diliputi atau
berada di dalam Kehendak Allah. Bahkan, bukan hanya di dalam-Nya, melainkan
‘tidak bisa berkehendak’ kecuali dikehendaki-Nya.
QS. At Takwiir (81): 29
Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam.
5. Lantas, kalau begitu apakah berarti kehendak manusia SAMA dengan
kehendak Allah? Nah, disinilah distorsi pemahaman yang sering terjadi. Sehingga
ada yang mengatakan: kalau kehendakku adalah kehendak Allah, kenapa saya masih
disuruh bertanggung jawab? Kan ini sama saja dengan mempertanggungjawabkan
kehendak Allah sendiri?
Kalau Anda mengikuti sejumlah notes saya tentang keberadaan makhluk di
dalam Tuhan, mestinya Anda sudah bisa menarik kesimpulan yang cukup baik. Bahwa,
berada di dalam Allah itu bukan berarti SAMA DENGAN Allah. Saya kira Anda
masih ingat analogi ‘Himpunan Tak Berhingga’ yang memuat angka-angka. Jika
Allah diibaratkan sebagai SEMESTA PEMBICARAAN dalam himpunan tak berhingga itu,
maka makhluk bisa diibaratkan angka-angka yang menjadi anggotanya.
Misalnya, angka 1 adalah manusia, angka 2 adalah hewan, angka tiga
tumbuhan, angka 4 adalah malaikat, dan seterusnya termasuk benda-benda langit,
ruang, waktu, materi, energi, dan informasi, berserta dengan segala peristiwa
yang terjadi di dalamnya. Maka, tentu Anda sudah bisa mengambil kesimpulan
sendiri bahwa angka 1 tidaklah sama dengan angka ‘tak berhingga’. Atau dengan
kata lain, manusia tidak sama dengan Tuhan meskipun manusia berada di dalam
Tuhan.
Jika diperluas, kehendak manusia
TIDAK SAMA dengan kehendak Tuhan. Penglihatan manusia TIDAK SAMA dengan
penglihatan Tuhan. Pendengaran manusia TIDAK SAMA dengan pendengaran Tuhan. Dan
segala sifat manusia TIDAK SAMA dengan sifat-sifat Tuhan. Manusia mendengar,
Tuhan MAHA mendengar. Manusia melihat, Tuhan MAHA melihat. Manusia
berkehendak, Tuhan MAHA berkehendak. Manusia
berada dalam segala KETERBATASAN, sedangkan Allah dalam skala yang tak
terbayangkan. Tak berhingga.
Perbandingan antara sifat manusia dengan sifat Tuhan adalah ibarat angka 1
dibagi dengan angka tak berhingga, hasilnya = NOL. Ya, manusia di dalam Allah
adalah NOL alias semu. Ada lambangnya, tapi tak ada isinya. Itulah makna
kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH – tidak ada sesuatu pun yang eksis kecuali hanya
Allah. Siapa pun yang tidak bisa menerima kemutlakan eksistensi Allah ini
berarti dia telah mengingkari syahadatnya.
Maka, memahami kehendak manusia di dalam kehendak
Allah haruslah proporsional. Tidak serta merta MENYAMAKAN kehendak makhluk
dengan kehendak-Nya. Kehendak manusia hanya menempati BAGIAN yang sangat
PARSIAL dalam kehendak-Nya yang holistik. Dengan kehendak yang parsial itulah manusia bisa
mengalami kekeliruan dan kesalahan yang menyebabkan terjadi keburukan padanya. Ini pula yang dikatakan Allah di dalam
firman-Nya, bahwa kebaikan berasal dari Allah, sedangkan keburukan berasal dari
(keterbatasan) manusia. Sebuah pemahaman yang seakan-akan kontradiktif
dengan ayat 'kehendakku di dalam kehendak-Nya' di atas. Padahal, semata-mata
kita kurang memahaminya secara holistik.
QS. An Nisaa’ (4): 79
Segala kenikmatan yang kamu peroleh berasal dari Allah,
dan segala bencana yang menimpamu disebabkan oleh (keterbatasan) dirimu
sendiri…
6. Maka takdir jelek dan takdir baik itu sebenarnya terjadi disebabkan oleh
keterbatasan manusia di dalam berkehendak. Seandainya dia berkehendak searah
dengan kehendak Allah yang LEBIH HOLISTIK, maka dia akan memperoleh kebaikan. Tetapi, karena dia berkehendak
dengan ‘kehendak Allah’ yang parsial di dalam dirinya, dia pun memperoleh
musibah.
Maka, dalam konteks ini, kita menjadi paham
kenapa ada takdir baik dan takdir buruk. Karena, manusia sering terburu nafsu
menampilkan egonya lebih tinggi dari Ego Allah, mendahulukan kehendaknya daripada kehendak Allah,
menyombongkan kepintarannya dibandingkan ilmu Allah, mendahulukan
kepentingannya dibandingkan ‘kepentingan’ Allah, dan seterusnya.
Allah pun lantas mengingatkan, barangsiapa
menonjolkan kepentingan egoistiknya, ia bakal menemui bencana. Dan barangsiapa
mengikuti petunjuk-Nya ia akan memperoleh kebaikan. Disinilah muncul ayat tentang tanggung jawab itu.
QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur.
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya,
Artinya, kehendak 'maju' itu berada di dalam
kehendak Allah. Tetapi kehendak 'mundur' pun berada di dalam kehendak Allah.
Silakan memilih dengan segala konsekuensinya. Karena nikmat dan bencana itu
juga berasal dari Allah, disebabkan oleh pilihan yang kita lakukan sendiri.
7. Namun demikian, Allah pun BERKEHENDAK untuk mengampuni segala kekeliruan
yang kita lakukan dikarenakan segala keterbatasan kita itu. Siapa pun yang
datang kepada-Nya memohon ampunan pasti diampuninya, karena Dia adalah Dzat
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Semua terserah kepada kehendak-Nya..!
QS. An Nisaa’ (4): 110
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia
mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
~ Salam ‘Mudah-mudahan Tidak Bingung Lagi’ ~
0 komentar:
Posting Komentar