Bulan Ramadan adalah bulan turunnya Al Qur’an. Inilah kesempatan kita untuk
mengenal kitab suci yang ajaib ini lebih mendalam. Sebuah kitab yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern.
Apakah tanda-tandanya bahwa kitab ini cocok bagi peradaban akhir zaman?
Yang pertama, inilah kitab
suci yang sejak awal sudah punya perhatian besar pada budaya baca tulis. Karena
itu, sejak awal turunnya di gua Hira’ , Al Qur’an sudah mengedepankan budaya
membaca. Dan itu diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an. ‘’BACALAH
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari ‘alaq (embrio). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan PENA. Dia mengajari manusia segala apa yang tidak
diketahuinya.’’ [QS. Al ‘Alaq: 1-5].
Bukan hanya itu, di wahyu kedua pun
Allah memberikan perhatian kepada budaya baca tulis dengan mewahyukan surat Al
Qolam – surat Pena. ‘’ Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’’
[QS. Al Qolam: 1]. Ayat yang
dimulai dengan huruf Nun itu menjadi langkah selanjutnya dari proses
pembelajaran Rasulullah yang ummi alias buta huruf itu dalam baca tulis.
Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah untuk mengajari beliau lewat wahyu yang
berangsur-angsur selama 23 tahun. Sehingga, tidak heran, dalam puluhan
ayat yang turun selanjutnya Allah mewahyukan berbagai surat yang dimulai dengan
huruf-huruf seperti itu.
Ada yang dimulai dengan satu huruf semisal Qaf,
Shad dan Nun. Ada yang dua huruf seperti Ya Sin dan Tha Ha. Ada yang tiga
huruf seumpama alif lam mim dan alif lam ra. Serta ada pula yang
sampai lima huruf sebagaimana kaf Ha Ya Ain Shad. Semua huruf-huruf itu, selama ini ditafsiri
sebagai sesuatu yang rahasia. Sehingga dalam banyak kitab terjemah cuma
diberi penjelasan dalam kurung (Allah saja yang tahu maksudnya). Tetapi, saya melihat ini sebagai proses
pembelajaran kepada Rasulullah untuk mengenal huruf-huruf Hijaiyah.
Artinya, Rasulullah yang buta huruf sebelum menjadi Nabi itu, kelak memang menjadi
Nabi yang sesuai dengan zaman modern. Yakni sebuah zaman yang berbasis pada
budaya baca-tulis.
Budaya baca tulis itu mulai dari yang berbentuk pahatan pada batu, kulit
dan tulang binatang, pelepah pohon, kertas papirus, sampai pada peralatan digital
seperti berkembang di era komunikasi sekarang. Sehingga Al Qur’an yang awalnya
dituliskan pada media-media konvensional itu pun kini sudah berkembang menjadi
Al Qur’an Digital, dengan berbagai fasilitas kemudahannya.
Yang kedua, peradaban
modern adalah peradaban yang berbasis pada mekanisme akal dan data-data
empirik. Ternyata demikian pulalah Al Qur’an mengajari manusia dalam beragama. Proses keimanan di dalam Al Qur’an
bukan diajarkan secara dogmatis atau apalagi lewat doktrin-doktrin, melainkan
lewat argumentasi yang jelas. Sehingga,
dengan sangat tegas Allah melarang melakukan pemaksaan dalam beragama. Laa
ikraaha fiddiin – tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam QS. Al Baqarah: 256.
‘’Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh sudah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut
(Tuhan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’
Bukan cuma menginformasikan, dalam ayat berikut ini, bahkan Allah melarang alias mengancam akan
menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang memaksakan kehendak dalam
beragama. Allah saja tidak memaksa, kok kita mau memaksa-maksa
orang lain. ‘’Dan JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI, pastilah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) MEMAKSA manusia supaya
mereka BERIMAN semuanya? Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin
Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan AKALnya.’’ [QS. Yunus: 99-100].
Seiring dengan tidak boleh memaksakan kehendak dalam beragama itu, Allah juga menegaskan agar kita beragama
dengan argumentasi yang kuat, yang diistilahkan sebagai hujjah. Mulai
dari bertuhan kepada Allah, bernabi kepada Rasulullah Muhammad, berkitab pada
Al Qur’an, dan berbagai macam mekanisme peribadatan kita, semuanya mesti
dilakukan berdasar pada hujjah, alias argumentasi yang kuat. Bukan hanya
berpeganagn kepada ‘pokoknya harus begini dan begitu’. Dengan kata lain,
keimanan kita memang harus berproses seiring dengan penggunaan akal dan ilmu
pengetahuan.
Karena itulah dengan sangat telak Allah
berfirman, bahwa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan bisa
mengambil pelajaran dari Al Qur’an Al Karim. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat Qur’an,
diantaranya berikut ini: ‘’... wamaa yadzdzakkaru illa uulul albaab – dan
tidak bisa mengambil pelajaran dari (firman-firman) Allah kecuali orang-orang
yang menggunakan akal kecerdasannya.’’ [QS. Ali Imran: 7].
Maka, lewat kisah Nabi Ibrahim sebagai The
Founding Father agama Islam, Allah memberikan pelajaran tentang bagaimana
seharusnya umat Islam memahami dan menjalankan agamanya. Termasuk dalam
menanamkan ketauhidan atas Tuhan satu-satunya di jagat semesta raya ini. ‘’Ibrahim berkata: "Sebenarnya
Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku
termasuk orang yang dapat memberikan BUKTI atas yang demikian itu." [QS. Al Anbiyaa’: 56]
‘’Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi
kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu.’’ [QS. Al An’aam: 83]. Wallahu
a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar