Setiap karya selalu mengandung energi pembuatnya. Entah itu
berupa karya sastra, karya lukis, musik, sains, budaya, bahkan politik. Apalagi
karya-karya spiritual. Energi yang tersimpan di dalam karya-karya itu suatu
ketika bisa menular alias meresonansi siapa saja yang berinteraksi dengannya.
Dan kemudian menimbulkan efek yang sama dengan sumbernya.
Pernahkah Anda membaca suatu karya sastra sampai merinding,
bahkan meneteskan air mata? Kenapa kita bisa ikut terharu saat membaca sebuah
puisi yang mengharu biru? Boleh jadi Anda akan mengatakan: ‘’ya, karena isinya
memang menyentuh hati, sehingga hati saya bergetar’’. Kenapa bisa menyentuh
hati dan apa yang membuatnya bergetar?
Itulah yang disebut sebagai resonansi energi makna.
Kalimat-kalimat yang kita baca itu memunculkan informasi. Di dalam informasi
itu ada makna yang kita pahami. Dan di dalam makna itu terdapat energi yang
menyebabkan jantung kita berdesir. Desiran itu menggetarkan seluruh tubuh kita.
Mengaktifkan sejumlah hormon dan kelenjar. Termasuk kelenjar air mata, sehingga
menetes tanpa bisa kita bendung lagi. Dan seterusnya. Bahkan sampai mendorong
kita untuk melakukan sesuatu perbuatan yang berdampak riil.
Dalam konteks yang sedang kita bicarakan, karya sastra itu
telah memancarkan energi pembuatnya kepada kita yang membacanya. Jika karya itu
dibuat sambil menangis, maka energi makna yang tersimpan di dalam tangisan sang
pujangga itu akan mengisi karyanya. Tertuang dalam kalimat-kalimat yang penuh
haru. Meresap ke dalam diksi-diksi yang dipilihnya sehingga bisa menggambarkan
isi hatinya. Dan saat kita membacanya, energi makna yang tersimpan di dalam
karya itu akan menggeletar meresonansi jiwa kita. Sehingga kita pun menangis
sebagaimana sang pujangga itu menangis saat menumpahkan isi hatinya.
Bukan hanya karya sastra dalam bentuk puisi, sebuah karya
lukis pun menyimpan getaran-getaran jiwa sang pelukis. Sebuah karya yang hebat
adalah karya yang menuangkan seluruh perasaan sang maestro ke dalam kanvas. Dan
kelak, ketika ada yang menikmati karya lukis itu sepenuh hati, mereka akan bisa
merasakan getaran perasaan sang maestro di dalam kanvas tersebut. Seorang
penikmat lukisan bisa berjam-jam berada di depan lukisan yang telah
menggetarkan jiwanya. Itulah resonansi energi..! Meskipun tidak ada kata yang
terucap, aliran energi itu tetap bisa mengalir deras kepada orang yang memiliki
frekuensi sama dengan sumbernya.
Hal semacam ini bisa terjadi pada karya apa pun. Berbagai
karya budaya, pidato-pidato hebat, penemuan-penemuan fenomenal, sampai pada
karya-karya spiritual seperti petilasan para nabi dan orang-orang yang saleh.
Bukan hanya yang berupa teks-teks yang mengandung makna secara harfiah,
melainkan juga benda-benda yang seakan-akan tak memiliki makna, tetapi
sebenarnya mengandung getaran energi sang pembuatnya. Yang semua itu baru bisa
dirasakan resonansinya oleh orang-orang yang memiliki frekuensi sama dengan
sumbernya.
Ini mirip dengan sebuah alat musik – katakanlah gitar – yang
bisa menggetarkan gitar di sebelahnya jika kedua gitar itu disetem dengan
nada-nada snar yang sama. Meskipun gitar yang bersebelahan itu hanya dipetik
salah satunya. Kenapa bisa demikian? Itulah resonansi: bergetarnya sebuah benda
disebabkan oleh bergetarnya benda lain yang berfrekuensi sama.
Inilah penjelasannya, kenapa seseorang yang berdekatan
dengan orang yang sabar hatinya akan ikut merasa tenteram. Sebaliknya jika
berdekatan dengan orang yang emosional, hatinya akan ikut gelisah dan emosional
pula. Atau, ketika kita berada di sebuah tempat yang energinya negatif perasaan
kita menjadi gelisah, dan kalau berada di tempat yang berenergi positif hati
kita merasa tenteram.
Tanda positif dan negatif pada energi, dalam konteks ini,
bermakna energi yang bermanfaat atau merugikan kita. Ada sebuah tempat yang
jika kita berlama-lama di tempat itu kita bisa menderita sakit, maka tempat itu
kita sebut sebagai berenergi negatif. Sebaliknya, ada tempat yang jika kita
berlama-lama disitu badan kita menjadi lebih bugar, maka tempat itu kita sebut
sebagai berenergi positif. Bahkan bukan hanya yang bersifat fisikal, melainkan
juga yang bersifat spiritual.
Maka, petilasan para nabi dan orang-orang saleh adalah
tempat yang berenergi positif. Diantaranya adalah tempat-tempat ritual haji,
terutama di Masjid Haram, dimana Baitullah berada. Inilah rumah ibadah tertua
yang dibangun oleh manusia. Dan kemudian ditinggikan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail. Yang lantas, selama ribuan tahun dijadikan tempat ibadah oleh manusia.
QS. Ali Imran (3): 9
Sesungguhnya rumah
(ibadah) yang pertama kali dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Berdekatan dengan karya Ibrahim kita bakal teresonansi
energi yang tersimpan di dalamnya. Tentu saja bagi yang memiliki frekuensi yang
sama dengan sumbernya. Bagaimanakah frekuensi Nabi Ibrahim itu? Al Qur’an
berulang kali menjelaskan tentang karakter beliau yang sangat santun, berakhlak
mulia, rendah hati, penuh pengorbanan, dan berserah diri hanya kepada Allah.
QS. AtTaubah (9): 114
‘’… Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.’’
QS. An Nahl (16): 120
Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi taat kepada Allah dan
hanif (lurus). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (Tuhan).
Maka, jika kita datang ke Baitullah dengan sifat-sifat
Ibrahim itu, niscaya kita akan merasakan resonansi luar biasa dari Baitullah.
Mirip dengan apa yang saya ceritakan di atas, bahwa berdekatan dengan orang
yang sabar akan ketularan sifat sabar, berdekatan dengan orang yang emosional
bakal ikut-ikutan emosional. Sifat-sifat Ibrahim yang lembah lembut, santun,
taat, penuh keikhlasan dan berserah diri hanya kepada Allah akan mengimbas jiwa
kita sampai ke relung-relung hati yang paling dalam. Sehingga tak terasa akan
terucap doa Ibrahim yang penuh makna dalam bisikan-bisikan mesra kita kepada
Allah Sang Penguasa Jagat Semesta saat kita bermunajat kepada-Nya.
QS. Al An’aam (6): 162-163
‘’… Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.
Dan aku adalah orang yang paling awal berserah diri (kepada-Nya)".
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar