Salah satu kesalahan yang mendasar dalam memahami
Takdir adalah mencoba melihatnya dari sudut pandang Tuhan. Kita membayangkan
bahwa kita adalah Tuhan, dengan segala Kemahatahuan-Nya. Padahal, kita tidak pernah bisa keluar dari ruang
& waktu, bahkan untuk sekedar melihat alam semesta yang kita tempati.
Apalagi, berkhayal menjadi Tuhan yang Maha Tahu.
Teori-teori ruang & waktu yang berkembang
sejak era klasik sampai sekarang sebenarnya baru ‘menebak-nebak’ bentuk alam
semesta. Dulu, tebakan
Newton dianggap benar sepenuhnya. Ternyata Albert Einstein menemukan kelemahan
yang mendasar, sehingga orang lebih memilih teori Einsteinian dalam memahami
alam semesta secara lebih holistik. Dalam ruang-waktu yang variable.
Tapi, jangan salah, teori Einstein pun ternyata memiliki kelemahan mendasar
dalam memahami ruang-waktu, yakni ketika di-cross-kan dengan fakta
‘interaksi real-time’ antar partikel sub atomic dalam ruang-waktu alam semesta.
Teorinya menjadi runtuh bertabrakan dengan postulatnya sendiri: bahwa kecepatan
tertinggi di alam semesta adalah cahaya. Dengan kata lain, rumus Einstein tidak
bisa lagi digunakan untuk menjelaskan ‘secara holistik’ tentang ruang-waktu,
dimana segala peristiwa terjadi di dalamnya.
Maka, pemahaman Takdir berlandaskan teori Einstein dengan sendirinya tidak
lagi valid secara holistik. Dan hanya bisa digunakan secara parsial. Sehingga,
kalau ada yang memahami alam semesta sebagai time-space block
Einsteinian, ia hanya akan menghasilkan sudut pandang parsial dalam memahami
terjadinya peristiwa di dalam universe.
Justru karena itulah saya mengelaborasi teori yang lebih baru, yakni teori
Holografik. Dimana teori ini dimunculkan untuk mengatasi kelemahan teori
Einstein dalam hal interaksi real-time tersebut. Tetapi, sayangnya,
pembahasan kritis yang diajukan oleh Brian Koentjoro malah ‘mundur lagi’ ke
teori Einsteinian, sehingga nggak ketemu dalam frame yang sama.
Padahal, dengan sangat jelas saya menggunakan pijakan holografik untuk
menjelaskan Takdir dan Kehendak.
Bahwa, segala peristiwa ini adalah proyeksi
holografik dari sebuah ‘realitas tunggal’ yang ada di dimensi lebih tinggi.
Baik berupa peristiwa maupun berupa kehendak. Menggunakan teori Einstein tentang ruang waktu yang
melengkung saja, ternyata tidak cukup. Karena, kelengkungan alam semesta yang
demikian besar itu menjadi absurd ketika ditempuh dengan kecepatan cahaya
sekali pun.
Cobalah bayangkan, ada dua benda langit yang
berjarak 1 miliar tahun cahaya. Itu artinya, proses interaksi antara kedua
benda langit itu membutuhkan waktu selama 1 miliar tahun. Ini menyalahi FAKTA bahwa interaksi antar keduanya
terjadi secara real-time. Jadi,
kalau Anda masih menggunakan teori Einstein, tanpa memadukan dengan teori
holografik yang mengelaborasi adanya dimensi lebih tinggi, Anda akan terjebak
pada pemahaman parsial yang mbuleti sendiri. Kenapa? Ya, karena
teori ruang-waktu Einsteinian nggak cukup untuk membahasnya.
Teori itu tidak bisa menjelaskan hubungan takdir satu dengan takdir lainnya
yang terpisah dalam rentang jarak yang jauh dalam skala universe. Misalnya, kenapa pusat gravitasi alam semesta masih
saja ‘mengikat’ benda-benda langit yang bergerak menjauh dalam jarak miliaran
tahun cahaya. Jadi, kenapa kita masih saja bertahan menggunakan teori
Einstein untuk menjelaskan hubungan ruang-waktu universe dengan Tuhan? Padahal,
Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang ‘meliputi’ universe.
Bagaimana Anda bisa memahami adanya ‘Sesuatu’
yang meliputi universe, sementara alam semesta didefinisikan sebagai ruang yang
hanya berdimensi tiga? Disinilah teori Einstein tidak bisa menjelaskan, kecuali
mengakui adanya ruang berdimensi lebih tinggi. Yang mana dimensi lebih tinggi itu memuat ruang-ruang
langit berdimensi lebih rendah. Dan, seluruh interaksi antar benda langit bisa
terjadi dengan cara ‘menerobos’ kedalaman dimensi yang lebih tinggi, yang
menyebabkan waktu interaksi jauh lebih cepat, bahkan real-time.
Jadi, sebelum Anda memformulasikan hubungan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya, tidak bisa tidak Anda harus terlebih dulu menemukan penjelasan
teknisnya. Disinilah kenapa saya ‘terpaksa’ menjelaskan secara njlentreh
perbandingan teori-teori yang ada dengan berbagai kelemahannya, baru kemudian
menyimpulkannya secara filosofis. Bahwa,
hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya itu bisa didekati dengan teori
Holografik yang selangkah lebih maju dari teori Einstein tentang ruang dan
waktu.
Menurut saya, teori ini sangat smart dalam
menjelaskan realitas. Bahwa realitas ‘dulu’ dan ‘nanti’ itu sebenarnya tidak
ada. Yang ada itu ‘sekarang’. Ruang adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Waktu
juga proyeksi dirinya: ‘sekarang’. Dan seluruh peristiwa adalah proyeksi
diri-Nya: ‘sekarang’. Semuanya terjadi secara real-time.
‘Kemarin’ sudah ‘tidak ada’. Sebagaimana ‘besok’
pun ‘tidak ada’. Kemarin adalah sekedar memori peristiwa yang membekas di
sistem saraf otak kita. Realitasnya TIDAK ADA lagi. Badan Anda kemarin sudah
tidak ada. Karena badan Anda yang sekarang ini sudah berbeda secara substantive
dengan kemarin. Rambut sudah lebih panjang atau memutih. Kuku juga. Seluruh organ-organ
dan triliunan sel tubuh Anda berbeda dengan sebelumnya, bahkan jika
dibandingkan dengan semenit yang lalu.
Realitas adalah SEKARANG. Bukan tadi, atau nanti. Ini tidak bisa dijelaskan oleh
teori Einstein, yang memandang ‘tadi’ dan ‘nanti’ itu ada secara parallel
dengan ‘sekarang’. Yang begini ini, dengan sangat baik dijelaskan oleh teori
holografik. Bahwa semua takdir bisa
berlangsung secara real-time: sekarang. Kenapa bisa sekarang? Karena,
ruang-waktu-peristiwa adalah sebentuk proyeksi belaka: disini dan sekarang.
Sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sekaligus diakhiri..!
Kita tidak punya pijakan apa pun untuk mengatakan bahwa Allah ‘sudah’
menakdirkan, atau ‘belum’ menakdirkan. Karena, yang disebut takdir itu adalah
ketika ‘terjadi’: sekarang, sebagai proyeksi dari diri-Nya. Baik yang berupa
kehendak, maupun peristiwanya. Kehendak Anda semenit yang lalu itu hanya ilusi.
Tidak ada realitasnya. Yang ada ialah kehendak sekarang: saat ini. Yang sedang
terjadi. Dan semua itu ada dalam kehendak Allah, ditentukan lewat takdir-Nya:
saat ini juga. Maka, setiap makhluk di alam semesta ini hanya berpindah dari
satu takdir ke takdir lainnya: sekarang.
QS. Al Hadiid (57): 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin;
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah
Maha Meliputi segala sesuatu.
Karena bagi Allah ‘dulu’ dan ‘nanti’ adalah:
‘sekarang’, maka dengan sendirinya Dia menjadi Maha Mengetahui. Bukan karena
waktu berjalan secara urutan ataupun paralel, melainkan karena waktu ‘tidak bergerak’ di
dalam-Nya. Dimensi waktu yang bergerak itu adalah jika dipandang secara
Einsteinian. Dalam pandangan holografik, waktu tidak bergerak. Karena ‘dulu’
dan ‘nanti’ hanyalah ‘kesan’ yang terbentuk di sistem saraf otak kita. Yang
riil itu adalah: ‘sekarang’. Dan, Allah
menempatkan seluruh kejadian ‘sekarang’ itu dalam kitab kenyataan bernama Lauh
Mahfuzh. Yang bisa dihapus atau ditetapkan secara real-time oleh-Nya, dan
langsung menjadi kenyataan. Terserah pada kehendak-Nya
QS. Al Hajj (22): 70
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
saja yang ada di langit dan di bumi?; Bahwasanya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah.
QS. An Naml (27): 75
Tidak ada sesuatu pun yang gaib di langit dan di bumi, melainkan di dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
QS. Ar Ra’d (13): 39
Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan
(apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh
Mahfuzh).
Pembahasan soal Takdir dan Kehendak ini memang cukup kompleks dan
membutuhkan daya imajinasi yang baik, terutama dalam tataran filosofis. Karena,
harus bisa merangkum seluruh kemungkinan yang rumit. Tetapi, dalam ranah
operasional, sebenarnya Allah
memberikan petunjuk yang sangat sederhana. Bahwa, karena setiap makhluk berada
di dalam ruang dan waktu, maka manusia harus selalu menjadikan hari esoknya
lebih baik dari sekarang.
Allah memberikan derajat keleluasaan tertentu
kepada manusia untuk ‘mengubah takdir’ masa lalunya menjadi takdir masa depan
yang lebih baik. Kalau takdir Anda kemarin adalah miskin, maka Anda diberi
peluang untuk mengubahnya lewat sunnatullah, menjadi lebih kaya. Kalau Takdir Anda kemarin adalah
‘sakit’, maka Anda diberi peluang untuk mengubah Takdir masa lalu itu menjadi
‘sembuh’. Dan seterusnya.
QS. Ar Ra’d (13): 11
… Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan (takdir yang sudah
terjadi) pada suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan (takdir
yang sudah terjadi) yang ada pada diri mereka sendiri…
Wallahu a’lam bishshawab
Agus Mustofa
~ Salam ~
0 komentar:
Posting Komentar