Saat bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat merasakan datangnya awal
Ramadan, awal Syawal, dan lebaran Haji, di tahun 2010 . Penetapan awal
puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha disana sangat ‘lancar, aman dan terkendali’.
Karena itu, saya kira sangat pantas kalau kita belajar dari mereka. Apalagi
kita tahu, Mesir dengan Al Azharnya adalah salah satu kiblat dunia dalam
keilmuan Islam. Siapa tahu kita bisa memperoleh inspirasi dalam
menyelesaikan ‘masalah abadi’ yang sangat khas Indonesia ini.
Hampir setiap terdengar perbedaan penetapan waktu ibadah di Indonesia,
sejumlah kalangan di Mesir menanggapi dengan ‘senyuman aneh’. Mereka rupanya
tidak bisa mengerti kenapa persoalan yang di Mesir sangat simple itu di
Indonesia menjadi ‘hiruk pikuk’. Dimanakah letak masalahnya?
Menyongsong Ramadan, di Kairo suasananya sangat hangat. Bukan hangat
oleh isu penetapan permulaan puasa, melainkan oleh semangat menyambut datangnya
bulan mulia. Hampir di setiap jalan dan gang-gang mereka menyambutnya dengan lampu
tradisional berwarna-warni yang dikenal dengan sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu
bahwa Ramadan akan jatuh tanggal sekian, karena sistem kalendernya memang sudah
mapan.
Meskipun demikian, pemerintah memang juga mengadakan sidang isbat untuk
menetapkan awal puasa. Namun, sidang itu berjalan sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah
berarti. Pengumuman penetapan awal puasa di Mesir, sepertinya hanya menjadi
ritual atau ‘selebrasi’, bagi permulaan ibadah bersama. Bukan ‘perjuangan hidup
dan mati’ ala sidang isbat di Indonesia, yang sampai ada walk out
segala.
Sore itu, saya sedang bertamu di rumah Minister Counselor KBRI, Pak
Burhanuddin Badruzzaman. Obrolan kami, salah satunya, adalah tentang penetapan
awal ibadah di Mesir. Dengan tertawa dia mengatakan bahwa di Mesir tak pernah
ada ribut-ribut soal hilal. Juga tidak ada ribut-ribut soal perbedaan
awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal lebaran Haji. ‘’Orang sini memandang
kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh bin ajaib,’’ katanya lantas
tertawa.
Kenapa di Mesir soal ini bisa sedemikian mapan? Ada tiga hal yang
mendasarinya. Yang pertama, mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal
diserahkan kepada lembaga Astronomi yang berkompeten. Dimana hasil perhitungan
mereka sudah dipakai sebagai dasar untuk menyusun kalender Hijriyah Mesir. Sehingga,
penguasaan terhadap masalah hilal itu memang sudah menjadi ‘makanan
sehari-harinya’.
Meskipun demikian, menjelang akhir Syakban lembaga Astronomi Mesir tetap
melakukan pengamatan di beberapa lokasi, termasuk observatorium terbesar di
pinggiran kota Kairo: Helwan. Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan
hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya. Berbeda dengan di
Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal di bawah sumpah. Sehingga
ketika itu benar-benar terjadi - ada penduduk yang mengaku melihat hilal, dan
masyarakat di kawasan itu memutuskan tarawih malam itu juga - malah memunculkan
masalah tambahan.
Yang kedua, lembaga Darul Ifta’ di Mesir sangatlah berwibawa.
Ini adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al
Azhar, yang ketika itu diketuai oleh Dr Ali Jum’ah. Ia digelari sebagai
Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar oleh umat. Dengan berdasar pada
hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta’ memberikan fatwanya,
tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak ada perbedaan tafsir atas
data astronomi yang dihasilkan.
Sidang isbat dilakukan di kantor Darul Ifta’, dengan dihadiri oleh sejumlah
tokoh pengambil keputusan. Prosesnya berlangsung sangat singkat dan tidak bertele-tele.
Hampir-hampir seperti seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi yang
berlangsung sengit seperti di sini. Setelah mendengarkan lantunan ayat suci Al
Qur’an, Grand Mufti langsung membacakan pengumuman dengan terlebih dahulu
menyebutkan landasan keputusan tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari
lembaga astronomi yang diterimanya dan sejumlah ayat dan hadist yang menjadi
rujukannya. Acara pun selesai. Dan kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci
al Qur’an kembali.
Hadir dalam sidang isbat itu, diantaranya adalah Grand Syekh Mesir yang
diposisikan sebagai sesepuh umat Islam, gubernur Kairo yang mewakili Presiden
Mesir, Menteri Kehakiman terkait dengan ketetapan tersebut sebagai produk
hukum, dan menteri agama yang membawahkan bidang tersebut. Selebihnya adalah
para ulama dan duta besar perwakilan berbagai Negara sahabat. Semua undangan
itu hanya menjadi saksi atas penetapan awal Ramadan.
Faktor ketiga, yang menyebabkan pengumuman penetapan itu sedemikian
lancar, adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal,
pengumuman itu dilakukan oleh lembaga fatwa Darul Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka
pemerintah akan turun tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah
personal, puasa Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial
secara kolektif. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar
suasana tetap kondusif.
Saya dan Pak Burhanuddin, waktu itu sempat berandai-andai, membayangkan
betapa indahnya ya, jika proses seperti itu bisa terjadi di Indonesia.
Kita bakal benar-benar bisa beribadah Ramadan dengan hati yang bersih. Dan
menikmati indahnya Idul Fitri dengan hati yang suci..! Insya Allah.
Agus Mustofa
* Notes ini dimuat di koran Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya di
berbagai kota.
0 komentar:
Posting Komentar