Banyak umat Islam yang memperlakukan
Al Qur’an dengan salah kaprah. Sehingga, kitab suci yang amat hebat ini tidak
ditempatkan atau difungsikan sebagaimana mestinya. Kesalah-kaprahan itu semakin
terlihat di bulan suci Ramadan. Sebuah bulan dimana kandungan hikmah Al Qur’an
– yang masih berada di Lauh Mahfuzh – itu diturunkan ke Bumi.
Saya
sering menyebutnya dengan istilah ‘umat Islam jauh dari Al Qur’an’. Meskipun,
secara fisik kitab suci itu dibawa kemana-mana. Seorang kawan saya protes dengan istilah ‘jauh dari Al
Qur’an’ itu. ‘’Saya ini dekat mas dengan Al Qur’an. Setiap saat kitab suci ini
tak pernah jauh dari saya. Selalu saya bawa kemana pun saya pergi.’’
Ia memang mempunyai Al Qur’an saku
yang dibawa kemana pun ia pergi. Ia juga punya Al Qur’an digital yang kini
semakin ngetren, diinstal di HP dan laptopnya. Bahkan, di perpustakaan
pribadinya ia memiliki sejumlah Al Qur’an terjemahan berbagai bahasa. Ya, dia
memang ‘dekat’ dengan fisik Al Qur’an, tetapi belum tentu dekat dengan isi Al
Qur’an. Apalagi hikmah yang terkandung di dalamnya.
Kedekatan
kita dengan Al Qur’an bukan diukur secara fisikal, melainkan pada tataran
penerapan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena kesalah-kaprahan
dalam memahami kedekatan inilah, umat Islam mengalami kemunduran dalam
peradaban dunia. Dulu, umat
Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat
dan penerusnya, bisa menjadi pusat peradaban dunia. Negara superpower seperti
Romawi dan Persia pun akhirnya tenggelam digantikan zaman keemasan Islam,
selama ratusan tahun.
Sayangnya
sejak abad ke 14 umat Islam mengalami kemunduran luar biasa, sekitar 700 tahun,
sampai kini. Salah satu penyebabnya adalah SDM Islam tidak dibangun berdasarkan
petunjuk-petunjuk Al Qur’an. Kitab
ini hanya dijadikan pajangan-pajangan di rak-rak perpustakaan, diinstal di HP
dan laptop, dilombakan bacaan indahnya dan dibaca khatam ‘cepet-cepetan’,
bahkan tidak sedikit yang cuma menjadikannya sebagai mantera azimat alias
pusaka penyelamat.
Allah
sudah sangat jelas mengajarkan di dalam firman-Nya, bahwa Bacaan Mulia yang
diturunkan di bulan suci Ramadan ini penuh dengan hikmah. Dan berisi
petunjuk-petunjuk untuk menjadi solusi atas segala macam masalah manusia. Di
dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan atas petunjuk tersebut. ‘‘... bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya
diturunkan Al Quran sebagai PETUNJUK bagi manusia dan berisi
PENJELASAN-PENJELASAN mengenai petunjuk itu...’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Sayangnya,
yang terjadi bukan menggali petunjuk-petunjuk itu dalam berbagai seminar atau
kajian-kajian intensif, melainkan lebih kepada membaca indah, khatam
bolak-balik tanpa memahami maksudnya, atau sekedar menjadi mantera-mantera
tersebut. Apalagi di bulan Ramadan. Cobalah
bandingkan seberapa banyakkah orang-orang yang mengkaji Al Qur’an terkait
dengan isi dan hikmah yang terkandung di dalamnya? Bandingkan dengan
orang-orang yang membacanya sekedar untuk mengejar target khatam berkali-kali.
Sedikit sekali.
Lebih
jauh, sebagian kita malah menjadikan Al Qur’an itu sebagai ‘sumber kesaktian’
tanpa memahami makna yang seharusnya. Misalnya, seorang kawan saya demikian kuatnya
berpegang pada ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa energi Qur’an ini sangat
besar, sehingga jika diturunkan ke gunung, gunung itu bisa hancur berantakan.
'’ Kalau
sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk hancur berantakan disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan
PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN itu Kami buat untuk manusia supaya mereka BERPIKIR.’’ [QS. Al Hasyr: 21]
Ada kesalahan mendasar yang
dilakukannya dalam memahami ayat ini. Yakni, ia mengabaikan informasi Allah, bahwa cerita di atas adalah sebuah
perumpamaan.Dia menanggapinya secara harfiah. Karena itu, ketika ada seorang kawannya yang membawa mushaf Al Qur’an
ditaruh di atas sebuah gunung, gunung itupun tidak hancur. Karena, ayat di atas
memang sudah menjelaskan bahwa itu adalah sebuah perumpamaan, dan kita disuruh
berpikir untuk mengetahui maksudnya.
Saya
katakan, energi Al Qur’an memang sangat besar dan bisa mengubah dunia seperti
yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Tetapi, energi tersebut
bukan terletak di tulisan atau lembaran-lembarannya secara harfiah seperti itu.
Sehingga, lantas ada yang menggunting lembaran-lembaran kitab Al Qur’an untuk
dijadikan jimat. Atau, malah ada yang membakarnya, dan abunya diminum segala.
Dan dia sudah merasa memperoleh energi dari dalam Al Qur’an. Bukan begitu.
Energi yang besar di dalam kitab suci ini bukan terdapat di tulisannya itu,
melainkan di dalam maknanya.
Barangsiapa
memahami maknanya, dan kemudian menjalankannya dalam kehidupan nyata, maka
sungguh dia telah memperoleh energi ilahiah yang luar biasa besarnya. Dia akan memiliki kemampuan hebat untuk mengubah
peradaban. Baik secara fisikal maupun secara moral. Dialah pemimpin yang telah
memperoleh petunjuk Sang Maha Berilmu dan Maha Berkuasa dalam segala tataran
wilayah perbuatannya. ‘
’Sesungguhnya
Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal kebajikan. Bagi mereka
ada pahala yang besar.’’ [QS. Al
Israa’: 9] Wallahu a'lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar