LEMPAR JUMRAH, MENGUSIR SIFAT-SIFAT SETANIYAH


Tiga hari ke depan ini jamaah haji di tanah suci sedang menggenapkan ritual ibadahnya. Di hari tasyrik – sampai tanggal 13 Dzulhijjah – seusai wuquf di Arafah jamaah haji melakukan lempar jumrah di Mina atau Tawaf dan sa’i di Mekah. Tertunainya keempat ritual itu menjadi tanda sempurnanya ibadah haji secara syariat. Meskipun, boleh jadi, tak sedikit jamaah yang tak mampu menyelami substansi hajinya.

Sebagaimana telah saya sampaikan di tulisan sebelumnya, Nabi Ibrahim memperoleh kemantapan iman saat berwuquf di Padang Arafah. Namun, hal itu baru menjadi awal ujian kesabaran yang sebenarnya. Beragama tidak cukup hanya bersifat internal di dalam keyakinan diri, melainkan harus sampai mengimbas keluar, dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Seberapa mantap Ibrahim memenuhi ujian Allah itu, setan pun memperoleh peran untuk menghadang perjalanan Ibrahim menuju Jabal Qurban.

Jabal Qurban adalah sebuah bukit yang ada di kawasan Mina. Dimana seusai menjalani wuquf, Ibrahim bersama istri dan anaknya berjalan menuju ke Mekah melewati kaki bukit itu. Ibrahim yang sudah mantap untuk menjalani ujian Allah, meminta istrinya menunggu di bawah bukit. Ia mengajak Ismail yang tak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya ke atas bukit.

Di lereng bukit itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan dengan segala rayuannya, agar membatalkan niat mengorbankan anaknya. Sebuah rayuan maut, yang seakan-akan membela Ibrahim dan menyodok perasaan cinta kepada anak yang dikasihinya. Tapi keimanannya telah menghunjam jiwa, hatinya telah terbuka dari hijab yang menutupinya. Ia bisa melihat dengan jernih bahwa yang menghadangnya adalah setan yang menunggangi kesadaran egoistiknya sebagai manusia. Sementara, kesadaran ilahiah telah memancar ke dalam relung-relung jiwa yang paling dalam, mencahayai segala perbuatannya.

Dengan tegar Ibrahim melangkah ke atas bukit sambil menggandeng Ismail. Setan yang menghadang dengan rayuan itu tak digubrisnya, bahkan dilemparinya dengan bebatuan. Bukan hanya sekali si setan merayu Ibrahim, melainkan sampai tiga kali, hingga menjelang puncak bukit. Ibrahim kukuh dengan keimanannya. Peristiwa melempar setan itulah yang kemudian diabadikan secara simbolik menjadi ‘lempar jumrah’: jumratul Aqobah, jumratul Wustha, dan jumratul ‘Ula di kota Mina, yang hari-hari ini sedang dilakukan jamaah haji di tanah suci.

Tak terbayangkan, sebenarnya, betapa berat pergulatan batin Ibrahim saat menuju ke puncak Jabal Qurban itu. Tetapi, keimanannya telah memenangkan pertarungan melawan setan yang merayunya dengan segala cara. Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menyampaikan maksudnya mengajak Ismail. Di atas bukit di kawasan Mina itulah drama keikhlasan dan kesabaran antara dua orang hamba yang saleh dipertontonkan. Dan kisah ini lantas diabadikan Allah di dalam kitab suci Al Qur’an Al Karim. Serta, diwariskan sebagai ajaran puncak dalam berislam kepada Allah, Tuhan Jagat Semesta Raya, kepada umat Islam sampai akhir zaman.

QS. Ash Shaaffaat (37): 102
Maka ketika anak itu (Ismail) sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Betapa mengharukan dialog antara dua orang yang sangat santun dan saling menyayangi ini. Sang Bapak tak melakukan pemaksaan apa pun kepada Anaknya, melainkan menyampaikan ‘perintah Allah’ itu dengan penuh kehati-hatian. Panggilan yaa bunayya dalam ayat di atas adalah ‘panggilan kesayangan’ kepada seorang anak, yang diterjemahkan sebagai: ‘wahai anakku tersayang’. Berbeda dengan yaa ibniy, yang meskipun juga diterjemahkan sebagai: ‘hai anakku’, tetapi bermakna lugas.

Panggilan kesayangan semacam itu menunjukkan, betapa trenyuhnya Nabi Ibrahim ketika akan menjalankan perintah Allah tersebut. Dan kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang sangat lembut untuk ‘meminta pendapat’ kepada Ismail tentang mimpinya yang aneh itu dengan pertanyaan: fikirkanlah apa pendapatmu? Tak ada kesan otoriter sama sekali. Tak ada kekejaman dan kebengisan seorang ayah kepada anaknya, meskipun itu atas nama perintah Tuhan.

Dan yang membuat air mata saya menetes tak tertahan adalah saat membaca jawaban sang anak. Ia membalas kalimat penuh sayang yang ‘mengancam jiwanya’ itu dengan kalimat santun dan penuh hormat: yaa abati if’al maa tu`maru. Satajiduniy insyaa Allaah minash shaabiriin – wahai ayahanda lakukanlah yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Ini bukan tentang peristiwa seorang ayah yang mengorbankan anaknya, dimana sang ayah menjadi subyek dan sang anak menjadi obyek, tetapi sebuah drama keikhlasan dan kesabaran dari dua orang hamba Allah yang luar biasa mendalamnya. Kedua-duanya paham betul bahwa cobaan tersebut diberikan Allah kepada mereka berdua, bukan hanya salah satunya. Tak ada paksaan sama sekali di dalamnya. Juga tak ada rasa terpaksa pada sang anak, meskipun Ismail menjadi anak yang akan ‘dikorbankan’. Semua dijalani dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebuah kualitas ketaatan yang paripurna, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terbuka hijabnya. Sehingga setan pun tak mampu mempengaruhinya.

Sampai disini tak terbendung lagi air mata saya, yang tumpah berderai-derai di wajah. Tak mampu lagi saya mengukur suasana kebatinan dua Nabi teladan itu dalam mempraktekkan ikrar berserah dirinya kepada Allah..!

QS. Ash Shaaffaat (37): 103-110
Tatkala keduanya telah BERSERAH DIRI dan Ibrahim membaringkan anaknya pada pelipis(nya), (terbuktilah kesabaran dan keikhlasan mereka). Maka Kami seru dia: "Hai Ibrahim (cukup)..! Sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya begitulah Kami memperlakukan orang-orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ini benar-benar suatu UJIAN yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (peristiwa) itu di kalangan orang-orang yang hidup di zaman kemudian. "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim." Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat kebajikan.

Inilah simbolisasi keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa. Yang dicapai dengan perjuangan dan kesengajaan dalam mencari ridha Allah. Yang dilakukan oleh orang-orang yang telah mencapai kejernihan spiritual, dengan menghalau sifat-sifat setaniyah yang telah menunggangi egonya. Sebuah kesadaran ilahiyah yang telah mampu menaklukkan kesadaran nafsiyah, sebagai puncak perjalanan spiritualitasnya: Ikhlas BERSERAH DIRI hanya kepada Allah. Wallahu a’lam bishshawab.

Agus Mustofa

0 komentar:

Posting Komentar