Jutaan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia hari ini sudah
berada di Padang Arafah. Sebuah padang bebatuan dimana mereka akan memulai
seluruh rangkaian ibadahnya dengan perenungan suci. Yakni sejak Zhuhur sampai
tenggelamnya matahari. Inilah puncak ibadah haji, yang kata Rasulullah SAW
tidak sah haji seseorang jika tidak melakukan wuquf.
Sayang, kebanyakan jamaah haji lantas hanya berusaha
memenuhi sahnya haji secara syariat belaka. Yakni, berdiam di Arafah selama
waktu siang sampai sore hari. Asal tidak meninggalkan Arafah di waktu tersebut,
maka hajinya pun menjadi sah. Sehingga, saya melihat, tak sedikit jamaah haji
yang lantas menghabiskan waktu wuquf hanya dengan tidur-tiduran, ngobrol ke
tenda sebelah, dan kegiatan-kegiatan tak bermakna lainnya.
‘’Toh tidak membatalkan ibadah haji,’’ begitu barangkali
pikirnya. Padahal, di tempat inilah Nabi Ibrahim memahami substansi ibadah
hajinya. Yakni setelah beliau meyakini kebenaran mimpinya, sebagai ujian
kesabaran yang diberikan Allah kepada keluarganya.
Di Padang Arafah itulah keyakinan Ibrahim menjadi mantap,
dikarenakan bisa menangkap pesan mimpi anehnya: menyembelih anak yang
dikasihinya. Padahal dia sendiri adalah penentang praktek agama pagan yang
mengorbankan manusia kepada dewa-dewi. Kini ia malah memperoleh perintah untuk
mengorbankan anaknya. Tapi, dengan ritual ini, kelak Ibrahim justru tahu bahwa
berkurban yang benar adalah menyembelih ternak yang bermanfaat untuk banyak
orang. Bukan seperti yang dilakukan oleh penganut agama pagan itu.
Ibrahim tahu betul bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Maha Bijaksana. Sehingga, hati kecilnya tetap yakin semua ini
hanya bersifat ujian untuk mengetahui seberapa besar tingkat berserah dirinya
kepada Allah. Agar terbukti ikrar kepasrahan yang selalu ia lantunkan setiap
hari: ‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah
semata...’’
Saya membayangkan betapa dahsyat pergulatan batin Ibrahim
untuk memperoleh keyakinan bahwa mimpi itu adalah perintah Allah. Bukan bisikan
setan. Pada orang awam yang kejernihan batinnya belum setingkat Nabi, pasti
sangat sulit untuk membedakan antara perintah Allah dan bujukan setan. Tetapi,
dengan cara wuquf itu Nabi Ibrahim lantas memperoleh kemantapan. Apakah yang
terjadi ketika itu?
Intinya adalah terbukanya hijab alias tabir dalam jiwa
Ibrahim. Sebuah proses menjernihkan hati, yang dilakukan dengan sepenuh jiwa
lewat dzikir-dzikir yang intensif. Inilah yang secara umum telah saya sampaikan
di tulisan-tulisan sebelumnya, dan lebih khusus di buku ‘Ma’rifat Di Padang
Arafah’. Bahwa dzikir adalah proses untuk menyambungkan jiwa kita kepada Allah.
Mengisi seluruh kesadaran hanya dengan nama-Nya. Dan kemudian merasakan
kehadiran-Nya.
Semua itu terjadi di dalam inner-cosmos yang meleburkan
kesadaran nafsiyah ke dalam kesadaran ruhiyah. Kesadaran nafsiyah adalah
kesadaran ego sebagai manusia, sedangkan kesadaran ruhiyah adalah kesadaran
akan hadirnya Tuhan dalam diri. Karena ruh kita memang sudah membawa
sifat-sifat ketuhanan. Itulah sebabnya Allah mengatakan Dia telah hadir begitu
dekat dengan kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sehingga bisa
mengetahui seluruh bisikan jiwa setiap manusia.
QS. Qaaf (50): 16
Dan sesungguhnya
Kami-lah yang telah menciptakan manusia. Dan Kami mengetahui segala yang
dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
Bagaimanakah Anda memahami sebuah ‘jarak’ yang lebih dekat
daripada sesuatu yang ‘tak berjarak’? Bukankah urat leher itu sudah di dalam
diri kita, yang dengan kata lain sudah tak berjarak? Tetapi Allah masih
mengatakan lebih dekat daripada yang tak ada jaraknya itu. Kesimpulannya, kita
ini sebenarnya sudah berada di dalam Diri-Nya. Sudah diliputi-Nya.
Nah, dengan dzikir saat wuquf itulah seseorang akan
merasakan kehadiran Allah dalam seluruh kesadarannya. Meleburkan sifat-sifat
yang egoistik ke dalam sifat-sifat ruh yang universal. Sifat-sifat kemakhlukan
ke dalam sifat-sifat ketuhanan.
Hubungan antara ego manusia dengan Ego Tuhan itu ibarat
timbangan. Jika ego kita membesar, maka Ego Tuhan akan mengecil dalam kesadaran
kita. Sebaliknya, jika Ego Tuhan kita hadirkan sebesar-besarnya dalam
kesadaran, ego kita akan mengecil bahkan bisa hilang sama sekali. Itulah
substansi dari kalimat laa ilaaha illallah – tidak ada lagi yang mendominasi
kesadaran kita kecuali Dia.
Orang yang bisa menghadirkan rasa ini di dalam dzikirnya,
dia telah menghilangkan hijab yang membatasi jiwanya terhadap ruhnya sendiri.
Energi ruhiyah akan memancar menerangi jiwa. Dan menerobos sampai kepada
ucapan, serta tingkah lakunya. Menjadi rahmat bagi seluruh alam. Itulah yang
diperoleh Nabi Ibrahim saat wuquf di Padang Arafah.
Kemantapan yang dia peroleh itu disebabkan telah terbukanya
hijab antara jiwa yang egoistik dengan ruhnya yang universal. Kekhawatirannya
menjadi sirna seketika. Karena kekhawatiran itu memang bersumber dari jiwa yang
terkungkung oleh ego pribadi. Dengan wuqufnya, Ibrahim bisa memusnahkan kekhawatiran
berganti dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Bahwa, mimpinya itu adalah
wahyu ilahiah untuk menguji keimanan dan kesabarannya. Dan akan menjadi
skenario besar yang diwariskan kepada umat Islam sampai ribuan tahun kemudian.
Tidak mudah untuk mencapai kesadaran spiritual semacam ini.
Dan tidak sembarang orang bisa mencapainya. Tetapi, kita bisa mengusahakannya
sampai tingkat tertentu, supaya hijab antara jiwa dan ruh kita tidak sedemikian
tebalnya sehingga menghalangi informasi-informasi ilahiyah sebagai petunjuk
kehidupan. Sesungguhnya segala macam petunjuk itu memang sudah ada di dalam
diri kita sendiri. Bersumber di dalam ruh. Sedangkan, informasi dari luar diri
– outer cosmos – tak lebih hanya bersifat menstimulasi atau mengaktifkan
sifat-sifat ketuhanan yang sudah inheren itu.
Maka, sebanyak apa pun seseorang melakukan interaksi dengan
dunia luar – termasuk membaca ayat-ayat Qur’an – jika sifat-sifat ketuhanan
yang ada di dalam dirinya tidak terbangkitkan, orang tersebut tidak akan
memperoleh petunjuk. Kita menyebut: hatinya belum terbuka. Tertutup oleh hijab.
Meskipun bacaanya setiap hari adalah Al Qur’an Al Karim..!
Jadi, wuquf yang baik adalah perenungan yang bisa membuka
hijab itu. Perbanyaklah dzikir saat wuquf di Arafah. Maupun saat berpuasa
Arafah di tanah air. Dan dzikir yang paling baik adalah dengan mengerjakan
shalat sebagaimana Allah ajarkan di dalam Al Qur’an. Maka, saat berwuquf, saya
mengisinya dengan shalat dua rakaat berulang-ulang sejak tergelincirnya
matahari di siang hari, sampai tenggelam di senja hari. Mudah-mudahan Allah
berkenan membukakan hijab jiwa kita, dan mengaruniakan hidayah kepada siapa
saja yang mengikhlaskan hidupnya hanya untuk Allah semata..!
QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah
SHALAT untuk BERDZIKIR kepada-Ku.
QS. Az Zumar (39): 11
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam beragama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang
yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada-Nya)."
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar