Hari Raya Haji adalah
perayaan akhir tahun. Karena itu, puncaknya ditempatkan di bulan ke-12 dalam
penanggalan Hijriyah: Dzulhijjah. Namun karena bersifat sangat kolosal
dari berbagai penjuru dunia, Al Qur’an memberikan keleluasaan untuk
menyelenggarakan even ini selama 3 bulan. Yakni sejak seusai Ramadan: mulai
dari Syawal, Dzulqaidah sampai Dzulhijjah.
Berbeda dengan
perayaan budaya yang hanya bersifat hura-hura, ritual Haji menyajikan prosesi
yang penuh makna. Bukan bertabur tawa, melainkan penuh dengan linangan air mata.
Haru biru antara kesedihan dan kebahagiaan, antara kegelisahan dan keyakinan,
antara rasa berdosa, pertaubatan, dan syukur tiada terkira.
Inilah hari raya
yang sebenarnya lebih besar dari Idul Fitri. Meskipun, di Indonesia justru hari
raya Idul Fitri-lah yang lebih besar dibandingkan dengan Idul Adha.
Sampai-sampai pemerintah merasa perlu untuk membuat libur bersama selama
berhari-hari. Tak jarang, sejumlah kantor dan perusahaan masih menambahkan cuti
bersama, beberapa hari lagi. Di Mesir
libur Idul Fitri hanya satu hari.
Islam mengajarkan
Idul Fitri itu sebagai Idul Shaghir alias ‘hari raya kecil’. Demikianlah yang
dipraktekkan di Arab Saudi, Mesir, atau negara-negara Islam lainnya.
Mereka lebih membesarkan Idul Adha sebagai Hari Raya Besar. Yang di Jawa pun disebut sebagai Riyoyo
Besar. Namun entahlah, bagaimana awalnya, Idul Fitri di Indonesia lantas
bergeser atau setidak-tidaknya berkembang menjadi peristiwa budaya, yang lebih
menonjolkan kehebohan fisikal.
Kebesaran Idul
Adha dibandingkan dengan Idul Fitri, salah satunya, tampak dari lamanya
takbiran, mengumandangkan puja-puji untuk Tuhan Semesta Alam. Pada saat Idul
Fitri, takbiran diselenggarakan hanya semalam saja. Yakni, seusai Ramadan
sampai keesokan harinya menjelang shalat Id. Sedangkan Idul Adha menggelar
takbiran selama empat hari empat malam penuh. Yakni, tanggal 10, 11, 12, 13
Dzulhijjah.
Selain itu, Idul Fitri adalah perayaan yang bersifat lokal
bersama handai tolan dan keluarga dimana kita berada, dan karenanya
hisab-rukyatnya dilakukan di tempat masing-masing. Sementara, Idul Adha adalah perayaan internasional
yang dihadiri oleh saudara seiman dari segala bangsa, dengan beragam budaya dan
bahasa. Inilah ritual ibadah yang tidak mempermasalahkan mazhab ataupun
aliran agama. Pokoknya, selama hanya bertuhan kepada Allah dan berteladan
kepada Rasulullah Muhammad SAW, mereka berhak untuk memperoleh ‘undangan’
datang ke tanah suci mengikuti acara tahunan ini.
Untuk apa? Apakah untuk berhura-hura dan bersuka ria? Bukan.
Mereka diundang untuk hadir dan merasakan berbagai ritual haji yang dicontohkan
oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sebuah ritual untuk meneguhkan keyakinan
bertuhan hanya kepada Allah, Sang Penguasa Jagat Semesta. Sang Pencipta
kehidupan yang memegang kendali tertinggi atas segala peristiwa yang kita
lakoni.
Selama beberapa hari di tanah suci itulah jamaah haji
dilarutkan ke dalam miniatur kehidupan manusia secara universal. Menerapkan
hablum minallah – interaksi dengan Allah – sekaligus hablum minannas –
interaksi dengan manusia dalam realitas sehari-hari. Hanya orang-orang yang
sudah menyelami makna ajaran islam dengan baik sajalah yang bisa memadukan dan
meleburkan interaksi ilahiah - insaniah itu secara simultan. Sungguh, di dalam
peleburan kedua macam interaksi itulah terkandung pelajaran Haji yang sangat
kompleks dan mendalam.
Bahwa, umat Islam
mesti bisa bersifat hasanah kepada sesama makhluk-Nya, sebagai landasan
sekaligus puncak penghambaan kita kepada Allah, Sang Pencipta segala.
Karena, sesungguhnya Allah tidak butuh ibadah-ibadah kita secara individual.
Tanpa kita menyembah-Nya sebagai Tuhan pun, Allah tetap saja menjadi Tuhan atas
segala ciptaan-Nya. Yang Allah
‘inginkan’ adalah agar kita meniru Dia, yang senantiasa berbuat kebaikan kepada
makhluk-Nya tanpa meminta balas jasa. Semata-mata karena sifat Rahman dan
Rahim-Nya belaka.
QS. Al Qashash (28):
77
وَٱبۡتَغِ
فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ
وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
‘’... dan berbuat baiklah (kepada siapa saja) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’’
Itulah sebabnya, selama berada di tanah suci, jamaah haji
dilarang untuk berkata-kata tidak baik, apalagi berbuat kejahatan. Membunuh
binatang dan merusak tumbuhan pun diharamkan. Sebaliknya, justru diperintahkan
untuk berbuat kebaikan sambil terus melantunkan dzikir kepada Allah
sebanyak-banyaknya.
QS. Al Baqarah (2):
197-198
ٱلۡحَجُّ
أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ
وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ
فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٧ لَيۡسَ
عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ
عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا
هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ ١٩٨
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats (berkata-kata buruk), berbuat fasik (jahat) dan bertengkar
selama mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebajikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Tidaklah berdosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah (sebanyak-banyaknya)
kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (kepada) Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya sebelum itu kamu termasuk
orang-orang yang tersesat.
Penghayatan ritual haji dengan sepenuh-penuhnya akan
mengantarkan seorang muslim menjadi lebih utuh dalam menjalankan
spiritualitasnya untuk ‘berserah diri’ hanya kepada Allah, Tuhan yang selalu
mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semesta alam..! Wallahu a’lam
bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar