Masjidil Haram adalah tempat yang sangat mustajab untuk
berdoa. Sudah sangat banyak contoh kasusnya, terutama yang dialami oleh mereka
yang pergi ke tanah suci. Tetapi, tentu saja doa yang terkabul itu adalah doa
yang disampaikan dengan benar. Jika tidak, maka ibarat kita sedang berbicara
melalui handphone kepada seseorang tapi lupa memencet nomer telepon lawan
bicara. Tidak berjawab, karena tidak nyambung..!
Ritual haji adalah ibadah yang bertabur dzikir dan doa.
Meskipun, basisnya adalah ibadah fisik sejak wuquf di Arafah, lempar jumrah di
Mina, sampai tawaf dan sa’i di Mekah. Dzikir dan doa adalah dua aktivitas
ibadah yang berkesinambungan. Doa akan menjadi mustajab jika didahului oleh
dzikir yang mantap. Dan sebaliknya menjadi tidak mustajab, ketika dzikirnya
tidak bermakna. Kenapa bisa demikian?
Ya, dzikir adalah upaya untuk menyambungkan hati dengan
Allah. Apapun bacaannya. Dzikrullah bermakna ‘mengingat’ Allah. Hatinya
berinteraksi dengan Dzat Penguasa Jagat Raya, yang telah memproklamirkan
diri-Nya sebegitu dekat dengan makhluk-Nya. Yang ‘jaraknya’ sudah lebih dekat
daripada urat leher kita sendiri – yang kita tahu sudah tak berjarak itu.
Karena urat leher memang sudah berada di dalam diri kita sendiri.
Meskipun sudah sedemikian dekatnya kita dengan Allah, tak
jarang kita tidak merasakan kedekatan itu. Kenapa? Karena kita tidak
mengingat-Nya. Tidak berdzikir kepada-Nya. Perhatian kita terdominasi oleh
hal-hal yang bersifat semu dan inderawi. Al Qur’an menyebut kondisi itu sebagai
‘lalai’, tidak fokus, dan ‘kemana-mana’. Dzikir yang baik adalah yang bisa
menyatukan keberagaman realitas di sekitar kita menjadi ‘kesadaran tunggal’
melebur ke dalam kesadaran terhadap Allah. Bukan cuma menyadari ‘bersama’
Allah. Melainkan berada di dalam-Nya. Yang oleh Al Qur’an dijelaskan sebagai:
Allah telah meliputi segala sesuatu – benda maupun peristiwa, termasuk kita –
wakanallahu bikulli syai’in mukhiitha.
Maka, doa orang-orang yang sedang melakukan ibadah haji
menjadi sangat mustajab, dikarenakan hati yang selalu nyambung kepada-Nya itu.
Namun toh demikian, banyak jamaah haji yang tak bisa mencapai kondisi tersebut.
Banyak orang berdoa di tanah suci tanpa menyambungkan hati kepada-Nya. Kecuali
sekedar memenuhi syariatnya saja. Inilah yang oleh Allah disebut sebagai doa
yang lalai itu.
QS. Al Ahqaf (46): 5
Dan siapakah yang
lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan selain Allah yang tiada
dapat memperkenankan (doa)-nya sampai hari kiamat, dan orang-orang yang LALAI
terhadap doanya?
Orang yang lalai terhadap doanya itu ditempatkan dalam satu
kalimat dengan orang-orang yang menyembah selain Allah. Artinya, jiwanya
sama-sama tidak fokus kepada Allah yang mestinya menjadi satu-satunya Tuhan
yang hadir di dalam kesadarannya dalam berdoa. Lantas, apakah yang bisa
melalaikan kita dalam berdoa kepada Allah itu?
Dalam beribadah haji atau umrah, saya melihat diantaranya
karena ketidakpahaman jamaah terhadap apa yang dilakukannya. Yang lebih
dipentingkan adalah tatacara atau syariat belaka. Mereka kurang memahami substansi
atau hakekat dari ritual yang sedang dijalani. Salah satu sebabnya, karena
bimbingan haji sejak di tanah air memang kurang menyentuh masalah ini. Yang
menjadi perhatian seringkali adalah tatacara yang bersifat fisikal. Seperti
bagaimana cara mengenakan pakaian ihram, cara bertawaf, cara berwukuf, cara
bersa’i, bertahalul, cara lempar jumrah, dan sebagainya.
Jarang sekali bimbingan haji yang memberikan sentuhan
spiritual yang penuh makna dalam melakukan ritual-ritual itu. Bahwa, berbagai
macam ritual itu sebenarnya adalah simbol-simbol belaka, yang harus dibarengi
dengan pemaknaan yang mendalam secara spiritual. Karena jika tidak, jamaah haji
akan terjebak kepada kedangkalan makna terhadap situs-situs yang kini semakin
kehilangan atmosfer kesejarahannya.
Wuquf, tak lebih hanya akan menjadi kegiatan camping
setengah hari, dimana jamaah tak memperoleh makna apa-apa di Padang Arafah yang
sangat bersejarah. Lempar jumrah, tak lebih hanya akan menjadi kegiatan outbond
massal yang tak jarang malah memupuk sifat-sifat setaniah. Demikian pula Tawaf
dan Sa’i, hanya akan menjadi kegiatan longmarch yang tak membekaskan getaran
jiwa dalam interaksi intens dengan-Nya. Kecuali, kita memahami maknanya. Dan
mengisikan hakekat makna itu ke dalam seluruh ritual haji yang sedang kita
jalani.
Maka tidak heran, banyak jamaah haji yang masih disibukkan
dan dibingungkan oleh tatacara ritual daripada menyelami getaran spiritualitas
yang berada di dalam jiwanya sendiri. Dalam hal berdoa, saya masih sangat
banyak melihat orang-orang yang lebih disibukkan oleh buku doa yang dikalungkan
di dadanya dibandingkan menikmati dan merasakan isi doanya.
Setiap mau melakukan ritual haji, entah wuquf, lempar
jumrah, tawaf maupun sa’i dia sibuk membuka-buka bukunya untuk mencari doa yang
sesuai. Dan ketika sudah ketemu doa yang dicarinya, tak jarang ia hanya membaca
tanpa ada getaran jiwanya. Sekedar memenuhi syarat dan rukunnya. Sekedar
memenuhi syariatnya.
Maka, tak jarang saya melihat orang-orang yang sedang berdoa
itu lebih ingat buku panduannya daripada ingat Tuhannya. Atau lebih
memperhatikan suara muthawif yang memandu doanya, ketimbang merasakan isinya.
Ekspresi mereka datar, tanpa ada haru biru yang terpancar dari wajah dan
pandangan matanya. Karena boleh jadi, benaknya hanya terisi oleh target-target
untuk menyelesaikan ritual secara syariat. Ingat bacaan doanya, tetapi lupa
kepada Tuhannya.
Sementara, di sisi yang lain saya melihat sejumlah jamaah
berdoa sambil berurai air mata. Tenggelam dalam dzikir-dzikir yang panjang.
Berbisik-bisik dengan Allah, Dzat yang sudah mendominasi seluruh kesadarannya.
Dan kemudian mereka tersungkur dalam nikmatnya sujud yang panjang, sampai
terguncang-guncang punggungnya oleh isak tangis yang membuncah dalam rasa
syukur dan pertaubatannya yang dalam...
QS. Al Israa’ (17): 109-110
Dan mereka tersungkur
bersujud sambil menangis, dan mereka bertambah khusyu' (dalam ibadahnya).
Katakanlah (kepadanya): "Bisikkanlah (nama) Allah atau Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu sebut, Dia mempunyai Asmaaul Husna. Dan janganlah kamu
keraskan suaramu dalam sembahyangmu dan janganlah pula merendahkannya. Dan
lakukanlah pertengahan di antara keduanya (dengan berbisik-bisik sepenuh
jiwa)."
Wallahu a’lam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar