Seorang kawan saya
pulang haji heboh bercerita pengalamannya di tanah suci. Dia tunjukkanlah
foto-fotonya saat berada disana. Ada yang mejeng di depan hotel berbintang. Ada
yang berjejer dengan artis papan atas. Ada pula yang sedang makan
ramai-ramai di sebuah resto terkenal. Seorang tetangga nyeletuk: ‘’kamu ini
cerita ibadah haji atau darmawisata..?’’
Substansi ibadah haji ke masa depan rupanya terancam oleh
pendangkalan makna yang semakin hari semakin
memprihatinkan. Pendangkalan
itu terjadi hampir di semua lini, sejak di tanah air sampai di tanah suci. Lihatlah bagaimana biro-biro perjalanan
menawarkan paket ibadah hajinya. Ada yang menawarkan kenikmatan hotel bintang
lima sebagai andalannya, plus keberangkatan bersama sejumlah artis papan atas.
Ada juga yang menawarkan nikmatnya menu Indonesia selama
haji, plus dengan tenda-tenda mewah yang diset ala pesta kebun saat wuquf di
Arafah. Dan berbagai fasilitas transportasi, akomodasi, dan konsumsi, beserta
kemudahan dalam menjalankan ibadah haji selama di tanah suci. Yang lebih seru, adalah di paket-paket
ibadah umroh. Dimana pendaftarannya menggunakan promo ala barang-barang
konsumtif: ‘’segera daftarkan diri Anda untuk umrah bulan ini. Daftar bertiga
mendapat bonus HP, berempat memperoleh Galaksi Tab, berlima berhadiah
Laptop..!’’
Saya yang membacanya langsung saja membayangkan promo di
mall-mall yang menjual barang-barang konsumtif. Kok, promo ibadah haji dan umrah seperti itu ya? Kenapa tidak
menawarkan substansi ibadah? Bahwa dengan haji dan umrah itu kita bisa
memperoleh banyak hikmah yang berguna untuk meningkatkan kualitas spiritualitas
jamaah dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Di tanah suci
sendiri, kondisinya agak memiriskan hati. Berbagai situs yang memiliki nilai
sejarah tinggi justru semakin pudar, dan berganti dengan hotel-hotel
berbintang, restoran-restoran cepat saji, dan pusat-pusat perbelanjaan modern.
Sekeliling masjid Al Haram sudah mirip dengan kota-kota metropolitan di Amerika
ataupun Eropa. Bukannya saya anti kemodernan, tetapi semua itu bisa
menghilangkan suasana kesejarahan yang menjadi atmosfer penting bagi jamaah
haji.
Dari Hilton Tower
kita bisa menyaksikan halaman tengah masjid Al Haram, dimana Kakbah berada. Karena
towernya memang jauh lebih tinggi dari bangunan masjid yang terbuka di bagian
tengahnya itu. Demikian pula dari Hotel Grand Zam-Zam, dimana kami beberapa
kali menginap disana. Suara sang imam
shalat terdengar sangat jelas di kamar-kamar, karena memang dihubungkan dengan
sound system yang berkualitas bagus.
Sehingga, tak
jarang ada jamaah Indonesia maupun lainnya yang melakukan shalat bermakmum ke
masjidil Haram sambil tetap berada di dalam kamar atau terasnya. Alasannya, ia
bisa melihat suasana di sekitar Kakbah dan mendengar suara sang Imam.
Toh, banyak jamaah yang hanya bisa bermakmum dengan cara berada di halaman
masjid, atau teras Mall di sekeliling masjid. Padahal, mereka kan tidak bisa
melihat, kecuali hanya mendengar suara imam lewat spiker yang menggema di
seantero masjidil Haram.
Kondisi semacam
ini merembet ke berbagai ritual haji, mulai dari wuquf di Arafah, lempar jumrah
di Mina, sampai Sa’i di Shafa dan Marwa. Saya melihat Arafah semakin hijau dan
nyaman. Seiring dengan penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah Arab Saudi,
kelak padang pasir Arafah itu barangkali akan menjadi taman yang Indah.
Suasananya akan lebih sejuk dengan naungan pepohonan dan air mancur
dimana-mana.
Sekarang, pancaran
air itu memang masih disemprotkan dari tiang-tiang tinggi untuk meningkatkan
kadar kelembabannya, agar tidak terjadi dehidrasi atau heat-shock pada jamaah
haji yang wuquf disana. Kelak, sangat boleh jadi, tiang-tiang penyemprot
kabut air itu diganti dengan air mancur dan kolam-kolam yang indah. Sehingga,
Padang Arafah berangsur-angsur akan menjadi Camping Ground sebagaimana di
tempat-tempat wisata yang menawarkan kenyamanan. Jauh dari suasana dimana Nabi Ibrahim dan keluarganya melakukan
perenungan saat menghadapi ujian kesabaran dari Allah.
Di tempat lempar
jumrah, kondisinya juga semakin nyaman. Dulu banyak korban berjatuhan saat
berebut melempar tugu simbol sifat-sifat setan itu. Saat saya berhaji di tahun
2000, saya menyaksikan jamaah yang kepalanya berdarah-darah terkena lemparan
batu dari arah berseberangan. Sehingga ia pun membalas dengan lemparan batu
pula ke arah seberang. Saya menyaksikan banyak orang kesetanan justru saat
melempar simbol setan. Saya membayangkan, sang Iblis beserta pasukan setan yang
sesungguhnya sedang tertawa-tawa menyaksikan jamaah yang kesetanan itu.
Kini, kondisinya
sudah jauh lebih nyaman. Alur kedatangan dan kepulangan jamaah yang akan
melempar jumrah sudah jauh lebih tertib. Tugu jamarat yang dulu bentuknya
seperti pensil berdiri, sudah diganti dengan dinding lebar. Sehingga, menutup
kemungkinan bagi lolosnya batu dari arah seberang ke kepala jamaah. Juga sudah
dibikin bertingkat tiga. Jamaah bisa memilih tempat yang paling aman dan
nyaman. Bahkan, sudah dilengkapi dengan eskalator pula.
Tentang eskalator
ini, saya khawatir akan ditambah di masa depan. Bukan hanya untuk
menaiki tangga, melainkan juga disediakan eskalator mendatar yang melintasi
tugu-tugu jamarat. Sehingga, boleh
jadi, kelak jamaah haji melempar jumrah sambil naik lantai berjalan tanpa harus
bersusah payah seperti sekarang, yang seringkali menguras tenaga untuk
memasuki medan kerumunan jutaan orang yang sedang menuju ke titik yang sama.
Tetapi, jika itu
benar-benar terjadi kelak, saya membayangkan betapa berbedanya suasana
kebatinan yang terjadi antara kita dengan keluarga Ibrahim. Sebuah ritual napak
tilas perjuangan antara hidup dan mati, yang kelak mungkin akan menjadi sebuah
wisata yang menyenangkan. Meskipun wisata itu dibungkus dengan nama ‘Wisata
Ruhani’.
Yang lebih
memprihatinkan saya adalah tempat Sa’i. Inilah simbol perjuangan Siti Hajar
yang sekarang sudah tak kelihatan lagi bekasnya. Bukit Shafa dan Marwa yang
asli praktis sudah hilang. Diganti dengan gundukan bebatuan yang dibungkus
akrilik. Mirip tebing buatan di rumah-rumah kita dimana kita biasa
membuat kolam ikan. Jarak antara
kedua bukit itu sudah dilapisi dengan lantai marmer yang halus. Di sepanjang
rutenya yang berjarak sekitar 0,5 km dipasangi dengan kipas angin besar-besar.
Bukan hanya satu lantai, melainkan juga tiga lantai. Kalau
kita melihat keluar masjid yang tampak adalah gedung-gedung perhotelan, mall,
dan pusat-pusat perbelanjaan. Disini disediakan kursi-kursi dorong untuk
orang-orang tua yang tidak mampu berjalan menempuh Shafa-Marwa sebanyak tujuh
kali putaran. Dan, yang menarik perhatian saya, pemerintah Arab Saudi ternyata
juga menyediakan banyak kursi dorong elektrik, yang bisa dikendalikan sendiri
oleh penumpangnya. Saya langsung teringat Bom-Bom Car alias mobil-mobilan
listrik, dimana anak-anak suka bermain di mal-mal.
Entahlah apa
jadinya ritual haji ke masa depan, jika pihak-pihak yang punya otoritas tidak
segera menyadari hal ini. Jangan-jangan substansi haji akan terkubur seiring
dengan semakin populernya istilah ‘Wisata Ruhani’. Dan kemabruran haji cukup
diukur dengan kemampuan daya beli jamaah yang bisa berangkat haji ke tanah
suci..?! Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar