Banyak
diantara kita yang membayangkan alam akhirat itu nun jauh disana – beyond the
universe. Padahal puluhan ayat Al Qur’an dengan sangat gamblang menceritakan
bahwa alam akhirat itu terjadi di Bumi ini pula. Alam dunia terjadi di Bumi,
alam akhirat pun terjadi di Bumi. Karena panggung drama kehidupan manusia ini
memang ya planet Bumi ini..!
Boleh
saja orang berangan-angan akan bisa hidup di planet-planet lain, dengan
membentuk koloni-koloni seperti digambarkan oleh film sience-fiction. Tetapi
kenyataannya, sampai sekarang manusia tak mampu melakukannya. Jangankan hidup
dan membangun koloni di planet di luar tata surya kita, lha wong membangun
koloni di satelit Bumi yang bernama Bulan saja tidak mampu.
Boleh
saja jika ada yang membantah: ‘’yaah, itu kan karena di Bulan tidak ada
atmosfernya’’. Justru karena itulah, sampai sekarang peradaban manusia belum
menemukan planet yang sehebat dan seideal Bumi dalam mendukung terjadinya
kehidupan secara sustainable. Planet Mars yang dulu diduga bisa menjadi tempat pengganti
Bumi, sudah terbukti tidak bisa dihuni. Salah satunya, dikarenakan atmosfernya
sangat beracun untuk kehidupan manusia. Juga tidak tersedia air dalam jumlah
yang cukup dengan mekanisme sirkulasi yang mendukung berlangsungnya kehidupan.
Planet
lainnya dalam tatasurya, apalagi. Merkurius, Venus, Jupiter, Saturnus, Uranus
dan Neptunus pun sudah disimpulkan oleh para ahli Astrobiologi, tidak mungkin
bisa dijadikan sebagai tempat kehidupan. Jangankan untuk tempat hidup, lha wong
planet-planet itu diantaranya tidak punya daratan, karena ‘bodinya’ cuma berupa
gumpalan gas. Bagaimana bisa berpijak?
Selain
itu, terbukti bahwa tubuh manusia ini sangat ringkih. Tidak ada ilmuwan yang
berani mengirimkan manusia untuk melakukan penjelajahan ruang angkasa, karena
risikonya sangat besar. Paling jauh yang dilakukan oleh manusia ya baru ke
Bulan. Jaraknya cuma sekitar 380.000 km dari Bumi. Sedangkan ke Mars yang
merupakan planet terdekat dengan Bumi pun, belum ada ekspedisi pesawat berawak
yang dikirim kesana.
Tanggal
6 Agustus 2012, Amerika Serikat untuk kesekian kalinya, baru berhasil
mendaratkan pesawat tanpa awak Curiousity di Mars setelah menempuh jarak
sekitar 367.000.000 km. Apalagi ke planet-planet yang lebih jauh. Apalagi
keluar tatasurya yang berjarak triliunan kilometer dari Bumi. Manusia hanya
bisa mengandalkan ‘mata raksasa’ berupa teleskop untuk menonton benda-benda
langit itu dari jarak jauh tanpa bisa mendatanginya.
Ringkas
kata, panggung kehidupan manusia ternyata ya planet Bumi ini. Disinilah kita
diciptakan, disini pula kita bakal dimatikan, dan dari perut bumi ini pula kita
bakal dibangkitkan. Persis seperti cerita ayat berikut ini.
QS. Al A’raaf (7): 25
Allah berfirman: "Di bumi
itu kalian hidup dan di bumi itu kalian mati, dan dari bumi itu (pula) kalian
akan dibangkitkan.
Karena
itulah Allah menginformasikan, bahwa manusia ini badannya terbuat dari saripati
tanah Bumi. Bukan tanah Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus atau Neptunus. Sejak
awal, manusia sudah dihidupkan di Bumi. Dan kelak akan mati di Bumi. Dan, ini
yang lebih menarik, kita bakal dibangkitkan dari Bumi ini juga. Dari
kuburan-kuburan yang berisi jasad kita semuanya.
Cobalah
cermati: ketika manusia dibangkitkan dari dalam kuburnya kelak, saat itu kita
berada di FASE DUNIA ataukah FASE AKHIRAT? Tolong jawab pertanyaan ini. Jawaban
Anda, insya Allah sama dengan saya, yakni: berada di fase Akhirat. Karena,
‘hari berbangkit’ itu adalah fase dimana Bumi sudah mengalami kiamat terlebih
dahulu, barulah manusia dibangkitkan untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya. Karena itu, proses kebangkitan niscaya berada di fase akhirat.
Lantas,
dimanakah kita, saat fase akhirat itu datang? Berada di planet-planet lainkah,
ataukah di angkasa luar sana, ataukah di alam ghaib di balik alam semesta? Kalau
Anda mengacu ke QS. 7: 25, Insya Allah, jawaban Anda juga akan sama dengan
saya, bahwa proses kebangkitan alias fase akhirat itu terjadi saat kita berada
di Bumi. Bumi yang mana? Tentu saja yang kita tempati ini, dimana jasad kita
dikuburkan, dan kemudian dibangkitkan hidup kembali untuk melanjutkan drama
kehidupan.
Jadi
kesimpulannya, fase AKHIRAT itu ternyata kita alami di PLANET BUMI..!
Puluhan
ayat Qur’an bercerita tentang proses kebangkitan manusia dari dalam kuburnya
itu. Dan semuanya terjadi di planet Bumi. Bukan di angkasa luar, atau apalagi
di balik alam semesta yang tak tergambarkan. Allah menggambarkan proses
kebangkitan itu dengan sangat ‘membumi’. Bahwa tulang-belulang kita yang sudah
hancur di dalam tanah Bumi itu bakal diutuhkan kembali, sampai ke
jari-jemarinya dengan sempurna.
QS. Al Mukminuun (23): 82-85
Mereka berkata:
"Benarkah, apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang,
sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan? Sesungguhnya kami dan
bapak-bapak kami telah diberi ancaman (seperti) ini dahulu kala, ini tidak lain
hanya dongengan orang-orang kuno!" Katakanlah: "Kepunyaan siapakah
bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan
menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak
ingat (sadar)?"
QS. Al Qiyaamah (75): 3
Apakah manusia mengira, bahwa
Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya
Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.
QS. Al Zalzalah (99): 6
Pada hari itu manusia ke luar
dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka
(balasan) pekerjaan mereka.
Dimanakah
semua itu terjadi? Jawabnya sekali lagi: di PLANET BUMI. Kapan terjadinya?
Tentu saja setelah kiamat Bumi: di FASE AKHIRAT.
Begitulah
kalau kita merujuk kepada informasi Al Qur’an. Tetapi jika tidak merujuk
kepadanya, tentu saja kita bisa berimajinasi seluas-luasnya, bahwa hari
berbangkit itu terjadi di negeri antah berantah, entah dimana. Waktunya bisa
kapan saja. Dan kemudian kita tak memperoleh kesimpulan apa pun selain
mengatakan: ‘’kalau Allah menghendaki, semua bisa saja terjadi’’. Padahal,
sebenarnya Allah sudah menjelaskan dengan bahasa yang sangat gamblang di
puluhan firman-firman-Nya. Cuma kita saja yang masih keukeuh dengan pendapat
kita yang tidak jelas dasarnya.
Kemudian
ada pula yang bertanya begini: ‘’Tapi, bukankah Bumi yang ada di alam akhirat
itu adalah Bumi yang lain? Ada lho dasar ayatnya, berikut ini’’:
QS. Ibrahim (14): 48
(Yaitu) pada hari (ketika)
bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka
semuanya berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Ayat
di atas kalau kita cermati, bercerita tentang kondisi setelah terjadinya kiamat
tapi sebelum hari pengadilan. Sehingga disana diceritakan orang-orang yang baru
dibangkitkan dari dalam kubur itu berkumpul menghadap Tuhannya untuk menerima
keputusan. Pemahamannya menjadi lebih jelas kalau kita kaitkan dengan ayat-ayat
selanjutnya, sampai di ayat ke-51 berikut ini.
QS. Ibrahim (14): 51
Agar Allah memberikan balasan
kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang telah ia usahakan. Sesungguhnya Allah
Maha cepat hisab-Nya.
Maka,
penggantian Bumi dengan ‘Bumi yang lain’ itu harus dipahami dalam konteks.
Tidak boleh ditafsiri secara terpisah dari 'proses kebangkitan dari dalam
kubur'. Kalau ayat tersebut dipahami secara bebas sebagai 'Bumi lama yang
diganti dengan Bumi baru 100%', maka konsekuensinya kuburan kita tidak terdapat
di Bumi yang baru itu. Sehingga puluhan ayat yang bercerita tentang kebangkitan
manusia dari kuburnya tidak relevan lagi.
Dan
mestinya, redaksi Al Qur’an tentang kehidupan manusia di fase ini diganti
menjadi: ‘Allah MENCIPTAKAN KEMBALI manusia di fase akhirat’. Bukan
‘MEMBANGKITKAN dari dalam kuburnya’. Tidak demikian, bukan? Allah dengan tegas
menjelaskan bahwa fase kebangkitan itu bukan menciptakan manusia baru,
melainkan sekedar menghidupkan kembali jasad-jasad yang sudah hancur dimakan
tanah itu.
Kata
‘membangkitkan dari dalam kubur’ menunjukkan bahwa Bumi di fase akhirat itu
sebenarnya adalah planet Bumi yang sekarang kita tempati ini juga. Cuma,
kondisinya sudah sangat berbeda, sehingga disebut sebagai ghairal ardhi ~ Bumi
yang berbeda. Dikarenakan sudah mengalami kiamat yang sangat dahsyat dan
bertambah dengan material dari benda-benda luar angkasa yang membombardirnya.
Maka,
tak ada alasan untuk mengatakan bahwa alam akhirat tidak terjadi di planet
Bumi. Alam berdimensi tinggi itu ternyata bisa diobservasi dari planet Bumi.
Karena, alam yang berdimensi sepuluh itu memang sudah meliputi seluruh alam
semesta yang dimensi langitnya lebih rendah. Termasuk alam dunia dimana planet
Bumi berada.
Saya
sering menyederhanakan penjelasan teori dimensi ini dengan mengumpamakan bola
kecil di dalam bola yang lebih besar, di dalam bola yang lebih besar lagi, di
dalam bola yang lebih besar lagi, sampai tujuh lapis. Bola yang paling kecil
adalah alam dunia. Sedangkan bola yang paling besar adalah alam akhirat.
Ketujuh bola yang berlapis-lapis itu diciptakan secara bersamaan. Planet Bumi
berada di ruang bola yang paling kecil. Tetapi, karena bola yang paling kecil
itu berada di dalam bola yang paling besar, dengan sendirinya planet Bumi itu
sudah berada di dalam bola paling besar.
Dengan
kata lain, planet Bumi dimana kita berada ini sebenarnya sudah berada di dalam
Akhirat. Namun, karena ada batas dimensi di antara lapisan-lapisan langit itu,
kita tidak merasa bahwa kita sedang berada di alam akhirat. Ya, ternyata alam
dunia ini adalah ‘bagian kecil’ dari alam akhirat yang sudah meliputinya.
Besarnya alam akhirat itu tak berhingga kali dibandingkan dunia, dalam
pengertian fisikal maupun kualitasnya. Maka, pantas saja, Allah menyebut
kehidupan dunia ini hanyalah seperti sebuah permainan dan senda gurau belaka,
karena kehidupan yang sesungguhnya itu adalah ketika kita bisa merasakan alam
berdimensi tinggi secara menyeluruh: saat batas dimensi antar langit dibukakan,
di fase akhirat kelak...
QS. Al Ankabuut (29): 64
Dan tiadalah kehidupan dunia
ini melainkan senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah
kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.
Wallahu
a’lam bishshawab.
~
salam ~
Agus
Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar