’Kebetulan’ hari ini saya membaca tulisan opini di koran Jawa Pos, yang
membahas tentang ’penting mana dunia dan akhirat’. Tulisan berjudul ’Amal Dunia
dan Amal Ukhrawi’ itu ditulis oleh Salahudin Wahid, salah seorang pemikir Islam
yang kebetulan adik Gus Dur. Ia mencoba mengritisi tulisan sebelumnya di koran
yang sama, yang diwacanakan oleh budayawan nasional yang sekaligus pemikir
Islam lainya, Gus Mus.
Beberapa hari yang lalu, Gus Mus menulis wacana, yang intinya kurang lebih
mengatakan adanya penyimpangan mindset dalam diri bangsa ini. Kenapa
korupsi merajalela dimana-mana, kenapa perselingkuhan menjadi hal yang biasa,
kenapa rebutan kekuasaan menjadi berita sehari-hari, dan kenapa berbagai tindak
kejahatan semakin hari semakin lazim terjadi? Gus Mus berpendapat: karena
sebagian besar kita salah menata mindset alias cara berpikir. Kita tidak
lagi memandang akhirat sebagai tujuan hidup utama, melainkan terjebak dengan
mematok ’kesenangan’ dunia belaka.
Lantas, Salahudin Wahid memberikan tanggapan dengan cara yang berbeda.
Meskipun, menurut saya tidak frontal berseberangan. Bahwa, semua kejahatan itu
terjadi, karena kebanyakan kita terjebak pada godaan 3 Ta ~ harTa, tahTa dan
waniTa. Sehingga muncul berbagai kejahatan yang merusak. Karena itu, negara dan
bangsa ini harus memiliki sistem manajemen kemasyarakatan yang kuat untuk
mengendalikan euforia keduniawiaan. Diantaranya, penegakan hukum yang bersih
dan berwibawa. Tapi sayangnya, katanya, para penegak hukum sendiri pun ternyata
terjebak pada 3 Ta, sehingga karut marutlah yang terjadi di sekitar kita... :(
Saya tidak ingin membahas lebih lanjut wacana kedua tokoh pemikir Islam itu
disini. Saya cuma ingin menunjukkan adanya ’kebetulan’, bahwa ternyata ada
kesamaan ’keprihatinan’ yang muncul dalam benak kita. Sebuah keprihatinan yang
juga disuarakan oleh al Qur’an. Bahwa, kebanyakan manusia terjebak ke dalam
euforia kesenangan dunia, ketika mindset tidak ditata secara benar dalam
menyikapinya.
QS. Al An’aam (6): 70
... mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Ingatkanlah
(mereka) dengan Al Qur'an agar masing-masing diri tidak terjerumus
ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri...
Kalau Anda membaca al Qur’an lebih jauh, Anda akan mendapati begitu
banyaknya ayat-ayat yang menyuarakan keprihatinan seperti ini, dan kemudian
mengingatkan kita. Sebuah ’kekhawatiran’ yang sebenarnya tidak
berlebih-lebihan, karena sudah demikian banyak bukti yang terjadi. Lupa
akhirat, karena disibukkan oleh urusan dunia. Dan akhirnya lupa diri, tiba-tiba
kematian sudah di depan mata.
QS. At Takatsur (102): 1-2
Bermegah-megahan (dengan dunia) telah melalaikan kamu, sampai
kamu (menjelang) masuk kubur...
Kalau kita mau jernih memandang persoalan ini, sebenarnya apa yang
diajarkan oleh al Qur’an sangatlah logis dan rasional. Allah sama sekali tidak
menyuruh kita mengejar akhirat dengan cara meninggalkan dunia. Oh, bukan begitu
kan ajarannya? Yang diajarkan Allah kepada kita cuma: ’’carilah
kebahagiaan AKHIRAT, dan jangan LUPAKAN dunia..!’’
QS. Al Qashash (28): 77
Dan carilah pada segala anugerah yang telah diberikan
Allah kepadamu (orientasi) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan duniamu
dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...
Inilah visi menejemen kehidupan yang sempurna..! Menempatkan akhirat secara
proporsional sebagai tujuan, dan menjadikan dunia secara proporsional sebagai
’jalan’. Dari segi urutan waktu, akhirat memang berada setelah dunia. Karena
itu, ia layak dijadikan TUJUAN. Sedangkan dunia hanyalah sebuah jalan untuk
mencapai tujuan. Karena itu, jangan sampai terjebak di jalanan, bisa-bisa tidak
sampai ke tujuan. Lha wong, dari Surabaya mau ke Jakarta, kok leyeh-leyeh
di Semarang terlalu lama. Tentu saja, sampai waktunya habis, ia tidak akan
sampai di Jakarta... :(
Sebagian kawan begitu khawatirnya kehilangan dunia. Sehingga ketika
ditanya: penting mana dunia dan akhirat? Ragu-ragu untuk menjawab: Akhirat.
Sebagian lagi, juga ragu-ragu, karena khawatir kalau menjawab ’akhirat’,
jangan-jangan akan membuatnya ’lupa dunia’. Padahal itu tidak mungkin.
Kita tidak akan kehilangan dunia, gara-gara menjadikan akhirat
sebagai tujuan hidup. Lha wong untuk memeroleh kebahagiaan
akhirat itu kita harus memeroleh dunia dulu. Dunia adalah modal untuk menggapai
akhirat. Tapi tidak selalu bersifat material. Karena itu perhatikanlah ayat di
atas, bahwa untuk mencari kebahagiaan akhirat kita justru harus memanfaatkan segala
anugerah Allah di dunia ini: ’’Dan carilah pada segala anugerah
yang telah diberikan Allah kepadamu (orientasi) negeri akhirat...’’
Kita dianugerahi rezeki, maka dengan rezeki itulah kita mencari kebahagiaan
akhirat, banyak-banyak beramal jariyah. Kita dianugerahi ilmu, maka dengan ilmu
itulah kita mencari orientasi akhirat dengan menebarkan manfaat. Kita
dianugerahi kekuasaan, maka dengan kekuasaan itu pula kita mencari nilai-nilai
yang mengantarkan hidup kita jadi berkualitas akhirat. Segala anugerah itu
memang terkait dengan kerja keras kita, tetapi jangan sampai terjebak pada
orientasi dunia yang bersifat jangka pendek belaka.
Orang-orang yang bekerja keras sambil mengorientasikan hidupnya untuk
negeri Akhirat, akan dimuliakan Allah di dunia dengan banyak anugerah. Dia
banyak menolong orang lain dengan rezekinya, maka Allah akan menambahkan
barokah pada rezekinya. Dia banyak memintarkan orang lain dengan ilmunya, maka
Allah akan menambahkan limpahan ilmu kepadanya. Dia banyak memberikan
kemaslahatan dengan kekuasaannya, maka Allah akan menjadikan ’kerajaan’ yang
besar dan mulia kepadanya di dunia dan di akhirat..!
Sebaliknya, kalau mindset kita sudah mengatakan ’penting dunia’,
maka segala kerja keras kita akan menghabiskan energi hanya untuk mencari
kesenangan dunia sebanyak-banyaknya. Sampai tiba-tiba kita menjadi lupa
orientasi akhirat. Contohnya sudah bejibun banyaknya. Bahkan dalam skala
tertentu, juga sudah terjadi pada diri kita..!
Cobalah bertanya kepada diri sendiri: berapa banyak energi yang Anda keluarkan
setiap hari untuk berusaha menggapai akhirat? Sebutlah jumlah waktu saja.
Misalnya, dalam 24 jam sehari semalam, berapa jamkah Anda mengalokasikan waktu
Anda untuk akhirat?
Tidur yang sekitar 8 jam itu, apakah sudah berorientasi akhirat? Bekerja mencari
rezeki, yang minimal sekitar 8 jam itu, apakah juga sudah berorientasi akhirat?
Makan, yang kadang-kadang juga berjam-jam sambil wisata kuliner itu, apakah
sudah berorientasi akhirat? Berumah tangga, bermasyarakat, berpolitik, belajar
dan mengajar, dan apa saja yang kita lakukan, apakah sudah berorientasi
akhirat?
Jangan-jangan 24 jam waktu kita, tenyata baru berorientasi dunia. Lupa
akhirat. Tidurnya, ingin bernikmat-nikmat sampai lupa segala. Bekerjanya karena
ingin menumpuk harta benda, seakan-akan itu akan memberikan kebahagiaan yang
tiada batasnya. Berumah tangganya, hanya karena orientasi fisikal belaka,
belajar mengajarnya hanya untuk berbangga-bangga, dan semua aktifitasnya
berorientasi jangka pendek semua. Oh, betapa sayangnya..!
Padahal dengan aktifitas yang sama, kita bisa memeroleh nilai akhirat tanpa
harus kehilangan nikmatnya dunia. Tidur, kita niatkan sebagai ibadah agar badan
kita istirahat secukupnya, sehingga setelahnya bisa beraktifitas kembali untuk
memberikan manfaat. Makan, kita niatkan ibadah agar tubuh memperoleh gizi
secukupnya dan kuat bekerja, bukan untuk hura-hura sampai lupa segala. Bekerja,
kita niatkan ibadah untuk memperoleh rezeki bagi keluarga dan siapa saja yang
menjadi tanggungan kita. Bertemu sahabat kita niatkan ibadah, berdiskusi,
belajar dan mengajar, berpolitik, berbudaya, dan apa saja aktifitas kita dalam
hidup ini kita niatkan sebagai ibadah untuk mencari jalan mendekatkan diri
kepada-Nya. Yang ada dalam benak kita bukanlah dunia, melainkan AKHIRAT, akhirat,
dan akhirat..!
Jika tidak, maka kata Allah, jangan menyesal kalau tiba-tiba usia kita
sudah habis. Dan tidak menemukan apa-apa di dunia ini meskipun sudah behasil
mengumpulkan segala fasilitasnya. Celakanya, kita lantas masuk liang kubur
meninggalkan semuanya. Dan di fase kehidupan berikutnya, kita tidak memiliki
’tabungan akhirat’, yang layak kita jadikan bekal dalam kehidupan yang
sepenuhnya masih belum kita mengerti.
Persis penyesalan orang yang diceritakan oleh ayat berikut ini. Yakni,
ketika dia meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia, setelah dia berada
di alam barzakh..! Sebuah penyesalan yang terlambat datang, karena ia tidak
mungkin hidup kembali untuk memperbaiki kesalahannya.
QS. Mukminuun (23): 99-100
(Demikianlah keadaannya), hingga apabila datang kematian kepada
seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku
(ke dunia), agar aku beramal kebajikan terhadap yang telah aku
tinggalkan. Sekali-kali tidak (bisa). Sesungguhnya itu adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka
dibangkitkan.
Dan lebih celaka lagi, ketika kelak datang hari pengadilan. Allah
’melupakan’ mereka, dikarenakan dia juga melupakan Allah selama aktifitasnya di
dunia. Hidupnya bukan diorientasikan kepada kehidupan akhirat, melainkan
terjebak pada euforia dunia yang semu dan menipu. Bukan karena Allah tidak
sayang kepada kita, tetapi justru kitalah yang tidak sayang kepada diri
sendiri..!
QS. Al A’raaf (7): 51
... kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari
(kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan
mereka dengan hari ini, dan (karena) mereka tidak mengikuti (petunjuk)
ayat-ayat Kami...
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar