Keimanan yang diperoleh dengan mudah, akan runtuh
dengan mudah. Sebaliknya, keimanan yang diperoleh dengan perjuangan dan proses
yang panjang, akan berakar kokoh di dalam sanubari. Tak mudah tergoyahkan, tak mudah dibeli, atau apa
lagi diruntuhkan. Ia seperti pohon yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah,
dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Begitulah Al Qur’an memberikan
perumpamaan.
‘’Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan
seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat.’’ [QS. Ibrahim: 24]
Apakah keimanan itu? Seorang kawan saya
menyebutnya sebagai ‘rasa percaya’. Tetapi saya lebih suka menyebut sebagai
‘rasa yakin’. Sebab,
‘yakin’ memiliki bobot lebih besar dibandingkan dengan ‘percaya’. Dan
karenanya, ‘yakin’ memiliki kualitas bertingkat-tingkat seiring dengan proses
keimanan yang terjadi. Di dalam Islam dikenal istilah ‘ilmul yaqin, ‘ainul
yaqin, dan haqqul yaqin.
Level paling bawah dari sebuah keimanan atau
keyakinan adalah ‘ilmul yaqin. Yakni, keyakinan yang diperoleh lewat
proses pembelajaran dari orang lain, bisa guru, orang tua, ataupun teman. Kepahaman yang baik terhadap suatu
persoalan bakal memunculkan keyakinan, meskipun ia belum mengalami sendiri. Misal,
ketika kita bertanya kepada seseorang: ‘’apakah Anda yakin Allah itu ada?’’.
Bagi seseorang yang sudah belajar tentang eksistensi Sang Pencipta alam
semesta, boleh jadi dia akan mengatakan: ‘’ya saya yakin Allah itu ada!”
Tetapi, ketika kita tanyakan lagi: ‘’Apakah Anda sudah bertemu dengan
Allah, sehingga merasa yakin akan keberadaan-Nya?’’, dia menjawabnya: ‘‘belum’’.
Lantas, kenapa kok yakin? Dia pun mengatakan, semua itu diperolehnya lewat
proses belajar. ‘’Begitulah kata guru saya. Saya memahaminya dan meyakininya,’’
tuturnya. Keyakinan yang demikian itu baru berada pada tataran ‘ilmul yaqin:
yakin karena kata orang.
Keyakinan semacam ini, di dalam Islam belum
dianggap cukup. Harus meningkat menjadi sebuah pengalaman yang bersifat
personal: ‘ainul yaqin –
‘melihat’ sendiri atau merasakan sendiri. Pada level ini jika ia ditanya:
Apakah Anda yakin Allah itu ada? Dengan mantap ia akan menjawab: ‘’tentu
saja yakin.’’ Dan ketika ditanya, apakah ia sudah bertemu dengan Allah
sehingga sedemikian yakin, ia pun dengan mantap mengatakan: ‘’sudah’’.
Kapan bertemu dengan-Nya? Boleh jadi dia menjawab: ‘’barusan, saat
shalat dan berdoa. Semua doa dan shalat saya langsung dijawab dan direspon
oleh-Nya!’’
Jika seseorang sudah menjawab seperti itu, Anda akan mulai sulit untuk
menggoyakan imannya. Karena ia telah merasakan bukti-bukti yang dihadapinya
sendiri. Bukan hanya kata orang. Dan
akan semakin kokoh, ketika ia sudah mencapai tingkatan haqqul yaqin.
Yakni, sebuah level keimanan dimana dia telah berulangkali dan terus menerus
memperoleh bukti atas apa yang diimaninya. Selama bertahun-tahun.
Sehingga, ketika ia ditanya: Apakah Anda yakin bahwa Allah itu ada?
Jawabannya tak mengandung keraguan sama sekali: ya jelas ada! Apakah
sudah bertemu dengan Allah? Sambil tersenyum dia mengatakan: sudah, setiap
saat! Shalat bertemu dengan-Nya. Berdoa bertemu dengan-Nya. Berdzikir
bertemu dengan-Nya. Bahkan bekerja, bergaul, berumah tangga, berpesiar, dan
beraktifitas apa saja, bertemu dengan-Nya. ‘’Karena ia sudah bersama dengan
saya dimana pun saya berada. Segala masalah dan anugerah selalu saya
interaksikan dengan Dia, dan selalu dijawab-Nya. Setiap saat, setiap waktu.
Kenapa saya masih tidak yakin bahwa Dia ada?’’
Wah, kalau sudah demikian, Anda tidak akan bisa menggoyahkan keimanannya.
Dia telah haqqul yaqin atas apa yang dijalaninya. Kecuali, Anda bisa
memberikan keyakinan yang lebih dahsyat bahwa semua yang diyakininya itu
hanyalah ilusi. Salah lihat dan salah dengar, atau salah persepsi. Tapi, Anda
akan semakin tidak berkutik, jika ia lantas menampilkan bukti-bukti yang tak
terbantahkan, yang sudah dia dapatkan sepanjang perjalanan spiritualitasnya.
Bisa-bisa Anda sendiri yang bakal ‘runtuh’ menghadapinya.
Demikianlah Al Qur’an mengajari umat Islam dalam
mencapai keimanannya. Tidak boleh ikut-ikutan, tidak boleh asal-asalan, dan
tidak boleh sekedar menyandarkan kepercayaan. Keimanan harus
diperjuangkan. Keimanan mesti diperoleh lewat kepahaman. Keimanan harus
didapatkan lewat diskusi-diskusi yang intens. Dan kemudian dibuktikan dalam
kehidupan nyata. Sehingga, tidak heran orang-orang setingkat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa pun
berusaha membuktikan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa jagat raya
semesta, dimana seluruh makhluk memang hanya bergantung kepada-Nya.
‘’Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada (siapa saja) mereka:
"Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan bulan dan
matahari?" Niscaya mereka akan menjawab: "Allah". Maka kenapakah
mereka (masih bisa) dipalingkan (dari realitas ini).’’ [QS. Al Ankabuut: 61].
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar