Agar tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah
yang bermanfaat untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat
kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa, penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan
‘awal puasa’ Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?
Sesungguhnyalah yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini
adalah rancunya antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’. Awal bulan adalah permulaan ‘bulan baru’ yang
ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini
sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah
pihak yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama
pintarnya.
Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari
Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.
Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau
apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati
permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan ini memang dibuat
berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong?
Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya Sains,
dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa pun
hasilnya kurang lebih sama. Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang
non muslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik
disebabkan oleh metode penghitungan saja.
Perbedaan baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at
(20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah
Fikih. Wilayah
Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur sesuai
kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta
Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan. Karena,
hasilnya akan sangat membingungkan.
Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. ‘’Semua lembaga yang berkompeten
SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib.
Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1
Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012.’’
Secara fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan.
Karena, Syakban adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan
adalah bulan ke-9. Mestinya, tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan.
Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal
Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya: ‘’lho
terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah Ramadan, ataukah tidak punya
Bulan, mas?’’
Logikanya memang menjadi ‘jumping’. Sangat sulit mencernanya.
Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa.
Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian
sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis sore
itu sebenarnya adalah ‘hilal Ramadan’. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka
hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang
demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur
6 jam tidak mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat.
Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan ‘awal puasa’. Ini sebenarnya sudah bukan
wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan
kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita
bisa memahami, ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan
lainnya di hari Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal,
memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul
hilal, memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan
Fikihnya sama-sama sahih.
Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi
dan Fikih yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika
diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini:
‘’Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang
berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25
wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena
ketinggian hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya.
Oleh sebab itu, berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan
puasa Ramadan dimulai SABTU, 21 Juli 2012...’’
Clear. Secara
Astronomi valid, dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang
berbeda pendapat dengan pemerintah, dan memulai puasanya di hari Jum’at
misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami, karena rujukan fikihnya juga
jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia
berpuasa QS. 2: 185. Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1
Ramadan 1433 H.
Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang
kusutnya sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi
jika urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan
fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal
membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan
kita sudah bisa memperoleh solusi lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat
merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa
bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a'lam
bishshawab.
Agus Mustofa
* Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan
koran anak-anak perusahaannya.
0 komentar:
Posting Komentar