Bulan penuh rahmat telah datang! Rahmat itu, utamanya, diberikan kepada
orang-orang yang menjalani puasa Ramadan dengan penuh hikmah. Karena itu, bulan
Ramadan identik dengan bulan ‘berburu hikmah’. Berpuasa bukan hanya menahan
lapar dan dahaga. Atau, apalagi sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Puasa
Ramadan harus mampu mengubah kualitas diri menjadi lebih baik. Lahir dan batin.
Untuk memperoleh hikmah sebanyak-banyaknya itulah, selama Ramadan kali ini
Jawa Pos dan Kaltim Pos menurunkan kolom TAFAKUR yang akan diisi oleh Agus
Mustofa, mantan wartawan Jawa Pos yang kini telah beralih profesi menjadi
penulis buku. Karyanya yang sudah lebih dari 40 judul buku itu dikenal sebagai
serial Diskusi Tasawuf Modern yang laris manis. Anda akan diajaknya berburu hikmah
dengan caranya yang khas, yakni memadukan pemahaman spiritualitas yang mendalam
dengan sudut pandang ilmu pengetahuan modern.
Selamat berpuasa Ramadan. Selamat bertafakur. Semoga Allah mengaruniakan
barokah dan hikmah sebanyak-banyaknya kepada kita semua...
* * *
Dalam sebuah forum kajian, seorang jamaah bertanya kepada saya. ‘’Apakah
Pak Agus memilh satu golongan dan meninggalkan yang lain, terkait dengan
perbedaan penetapan awal puasa ini?’’ Rupanya, ia mengira saya berpikir
sempit mengarah ke golongan tertentu. Sehingga dikhawatirkan akan memunculkan
friksi yang semakin meluas.
Saya katakan: ’’Tidak. Saya justru ingin menyelesaikan masalah abadi, yang hampir
setiap tahun muncul ini.’’ Kadang berbeda di awal Ramadan, kadang pula
di akhir Ramadan. Dan bahkan sudah merembet ke penetapan Hari Raya Haji
yang semakin tidak jelas jluntrungan-nya. Untuk menyelesaikan
‘ketidak-jelasan’ itulah saya harus bisa menjelaskan secara teknis terlebih
dahulu duduk persoalannya.
Bahwa perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan,
melainkan penetapan ‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah sangat jelas. Bahwa
ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk bulan Ramadan.
Dalam penanggalan Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8, sedangkan Ramadan
adalah bulan ke-9.
Secara Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa langsung dicek di
angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di sebelah kanan matahari.
Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah berada di kiri matahari.
Itu artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.
Sehingga menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa
Sya’ban sudah berakhir di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan
jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya
yang bertanya: ‘’Kalau begitu hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam
bulan Sya’ban ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Penetapan seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya
dibedakan antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai
bulan, sudah pasti telah masuk SESAAT setelah ijtima’ - posisi segaris antara
Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa langsung diamati di angkasa dengan menggunakan
peralatan astronomi, maupun simulasi metode hisab. Karena tidak mungkin ada
‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan. Pilihannya hanya dua: masuk
Sya’ban atau Ramadan.
Nah, ketika sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang
itu pula hilal sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal
Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang,
saking tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.
Tinggal masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah bukan wilayah Astronomi
lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa. Disinilah sebenarnya
perbedaan itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits: jika
hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah. Sehingga, karenanya ada yang berpuasa
Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan sudah masuk,
maka wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear.
Silakan Anda memilih sesuai keyakinan Anda sendiri-sendiri.
Seandainya, perbedaan itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira
masyarakat luas akan bisa memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya,
yang terjadi sangat rancu: campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’.
Dan persoalannya menjadi merembet kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena
informasinya seperti ditutupi, ada yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak
bisa menghitung, padahal dia merasa sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula
yang tak tahu harus melakukan apa, karena serba bingung.
Jika, kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan
benar-benar membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham duduk
persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu, dengan
dalilnya sendiri-sendiri. Pertanggungjawabannya langsung kepada ilahi rabbi.
Tetapi, kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan,
itu pertanggung-jawabannya adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh penduduk Bumi, bukan
hanya bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa ditutup-tutupi dengan cara
apa pun. Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong. Meskipun, sayangnya, Bulan
tidak bisa ngomong. Wallahu a'lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar