Selain tidak bisa dikejar, kebahagiaan juga tidak bisa diukur. Bagaimana mungkin kita bisa
mengukur sesuatu yang bersifat subyektif ? Yang selalu berbeda pada setiap
orang. Sehingga, tidak mungkin dibanding-bandingkan, kualitas maupun
kuantitasnya.
Namun demikian, pada orang yang sama, sebenarnya kita bisa merasakan adanya
’perbedaan kualitas’ antara sebuah kebahagiaan dengan kebahagiaan yang lain.
Bahwa kebahagiaan ternyata bisa meningkat seiring dengan dimana kita
menerapkan akhlak mulia yang menjadi syaratnya.
Saya menyebut ada tiga tingkatan kualitas kebahagiaan. Yang
pertama adalah kebahagiaan egoistik. Yakni, kebahagiaan yang
bersifat pribadi untuk diri sendiri. Misalnya, ketika kita
berlaku sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah kita sendiri maka kita bakal
memperoleh ’rasa bahagia’ selama proses maupun hasil akhirnya.
Orang yang sabar dan ikhlas dalam bekerja mencari rezeki misalnya, dia akan
memperoleh kebahagiaan terkait dengan proses yang sedang berlangsung. Dia
mencintai pekerjaannya. Dia bangga dengan apa yang dilakukannya. Dia menikmati
hasil yang diperolehnya dengan penuh perjuangan, seberapa pun besarnya.
Jika bertemu kesulitan dia bersabar dalam menyelesaikannya. Dan jika pun
tak terpenuhi target yang diharapkan ia ikhlas menerimanya. Dia tak pernah menyesali
keadaan. Sebaliknya, selalu mensyukuri setiap peristiwa yang terjadi padanya.
Orang yang bisa berbuat demikian akan menjadi ’orang ajaib’. Gagal ataupun
sukses tak pernah menjadi masalah besar buatnya. Karena kesabaran dan
keikhlasannya sudah berurat berakar dalam dirinya. Dia telah berhasil berdamai
dengan segala yang ada di sekitarnya, dan menjadi berbahagia karenanya.
Contoh diatas bisa dikembangkan ke banyak hal. Mulai dari tidur, makan,
bekerja, belajar, beribadah, berdiskusi, bersahabat, berumah tangga, dan
seterusnya, dan sebagainya. Dia merasa senang dengan apa yang dilakukannya. Dia
enjoy dengan proses-proses yang menyertainya. Dia pun nikmat dengan hasil apa
pun yang diperolehnya. Dia menjadi pribadi yang berbahagia.
Tetapi, sebenarnya kebahagiaan semacam ini adalah kebahagiaan yang
tingkatnya paling rendah. Yakni, yang saya sebut sebagai ’kebahagiaan
egoistik’. Seluruh
aktifitas yang dilakukan dengan sabar dan ikhlas itu, hanya seluas kepentingan
dirinya. Bisakah ia bahagia? Jawabnya: bisa. Tetapi, sempit dan terbatas.
Ada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dan lebih
luas daripada itu: kebahagiaan sosialistik. Yaitu, kebahagiaan yang diperoleh karena ia
menerapkan kesabaran dan keikhlasan dalam wilayah sosial. Oh, yang ini jauh
lebih membahagiakan dan bersifat ’lebih abadi’.
Cobalah bandingkan, menurut Anda lebih bahagia manakah dua orang berikut
ini. Yang satu: bersusah payah mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri. Ia sabar dan ikhlas dalam proses itu. Dan kemudian ia merasa
bahagia karenanya. Sedangkan orang kedua, selain untuk dirinya, ia juga
mencarikan rezeki untuk keluarganya, untuk saudara-saudaranya, dan untuk orang
tuanya. Ia ikhlas dan sabar melakukannya. Dan kemudian bahagia karenanya.
Keduanya sama-sama bahagia. Tetapi samakah kualitas kebahagiaannya? Tentu
saja berbeda. Orang yang pertama mengalami kebahagiaan egoistik, sedangkan
yang kedua mengalami kebahagiaan sosialistik. Kalau, Anda jernih melihat
kedua peristiwa itu, niscaya Anda akan melihat, bahwa orang kedualah yang
mengalami kebahagiaan lebih tinggi dan lebih luas.
Bukan hanya merasa bahagia karena kebutuhan dirinya terpenuhi, melainkan ia
juga merasa bahagia karena keluarganya tercukupi. Ia juga bahagia karena bisa membantu saudaranya yang
kekurangan. Juga bahagia karena bisa membahagiakan orang tuanya. Kebahagiaannya
berlipat-lipat kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang pertama.
Bukan hanya kepada orang-orang dekat. Semakin luas ia menerapkan keikhlasan
dan kesabaran sosial, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan yang
diperolehnya. Lebih bahagia manakah: orang yang bisa memberi makan dirinya
sendiri, ataukah orang yang bisa memberi makan orang lain? Lebih bahagia
manakah orang yang memperoleh ilmu untuk dirinya sendiri ataukah yang juga
menularkan untuk orang lain? Lebih bahagia manakah orang yang bisa menyehatkan
diri sendiri ataukah yang juga menyehatkan orang lain? Lebih bahagia manakah,
orang yang bahagia sendirian ataukah yang membahagiakan orang lain?
Niscaya Anda akan memperoleh jawaban yang kedua. Bahwa bisa membahagiakan orang lain adalah jauh lebih
berharga dan berbahagia dibandingkan hanya membahagiakan diri sendiri. Semakin
banyak yang Anda bahagiakan, semakin besar pula kebahagiaan yang Anda terima.
Dan semakin banyak pula sumber kebahagiaan berdatangan kepada Anda.
Contoh sederhananya, soal makan. Jika Anda merasa bahagia karena bisa
makan, maka sumber kebahagiaan Anda paling-paling hanya 1-2 piring saja.
Setelah itu ’tidak kuat’ makan lagi, atau bosan. Tetapi, jika Anda
memberi makan orang lain, maka semakin banyak ’piring-piring’ yang diberikan
kepada orang yang membutuhkan, semakin bahagialah Anda.
Artinya, kebahagiaan sosial memiliki batas yang sangat luas bergantung
seberapa besar dan seberapa banyak kebajikan sosial yang kita lakukan. Tidak hanya yang bersifat
materi, melainkan juga yang bersifat keilmuan ataupun bantuan psikologis.
Misalnya ramah kepada siapa saja. Selalu menyambut orang lain dengan
senyuman dan salam. Atau memberikan nasehat dan meringankan beban pikiran
sahabat. Atau, sekecil apa pun bantuan yang kita berikan kepada orang lain.
Itulah sebabnya, kenapa Allah mengajari kita untuk berbuat kebajikan kepada
siapa saja. Karena Allah sedang ingin menunjukkan kepada kita sumber-sumber
kebahagiaan yang batasnya adalah kita sendiri yang menentukan. Tentu bukan
kebajikan yang pura-pura dan penuh pamrih, melainkan kebajikan yang dilandasi
keikhlasan dan kesabaran. Semakin tinggi jiwa sosial seseorang, semakin besar
kebahagiaan yang bakal dia terima..!
Dan tingkatan kebahagiaan yang tertinggi adalah yang
saya sebut sebagai kebahagiaan spiritualistik. Inilah tingkatan kebahagiaan yang tidak ada
batasnya. Mencakup kebahagiaan egoistik dan sosialistik sekaligus.
Intinya, setiap kebahagiaan yang lebih tinggi pasti mencakup kebahagiaan yang
lebih rendah. Sekaligus, memberikan sumber-sumber kebahagiaan yang semakin luas
dan tak terbatas.
Itulah yang disebut al Qur’an sebagai hablum minannas dan hablum
minallah. Yakni, hubungan kemanusiaan dan hubungan keilahian. Kalau ada
orang mengaku hubungannya dengan Tuhan baik, tetapi secara sosial jelek, pasti
ada yang nggak beres dengannya. Tidak mungkin demikian. Karena ini
adalah hubungan yang berjenjang.
Hanya orang yang bahagia secara pribadilah yang bisa memberikan kebahagiaan
secara sosial. Mana mungkin dia bisa membahagiakan orang lain, kalau untuk dirinya saja
tidak bisa. Mana mungkin pula dia bisa bahagia secara spiritual, kalau secara sosial
pun amburadul.
Maka, begitulah tingkatannya. Bahagiakan diri sendiri terlebih dahulu
dengan menerapkan akhlak mulia secara benar. Lantas, luaskanlah kebahagiaan yang bersifat pribadi
itu untuk orang-orang di sekitar Anda. Dan kemudian, abdikanlah seluruh
kebahagiaan yang pribadi maupun sosial itu untuk kehidupan, hanya karena Allah
semata. Hasilnya,
Anda akan memperoleh kebahagiaan yang tiada terkira. Yang oleh Rasulullah
disebut sebagai surga dunia. Dan kemudian berlanjut ke surga akhirat..!
Pertanyaannya, apa yang harus diabdikan untuk Allah? Bukankah Allah tidak
membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya? Rezeki, ilmu, kesehatan, kekuasaan, ketentraman, dan
segala kebahagiaan, semata-mata berasal dari-Nya. Kitalah yang justru
membutuhkan Dia. Bukan sebaliknya.
QS. Faathir (35): 15
Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah; sedangkan Allah Dia
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
QS. Al Ankabuut (29): 6
Dan barangsiapa berjuang, maka sesungguhnya perjuangannya itu adalah untuk
dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.
Pengabdian kepada Allah itu bukan dalam bentuk ’memberi’ kepada-Nya. Karena
Dia tak butuh apa pun dari kita. Melainkan, justru ’menerima’ dan kemudian
'menyalurkannnya' kepada orang lain. Kita menempatkan diri sebagai ’kepanjangan’ tangan
Allah dalam menyalurkan segala kenikmatan yang telah kita peroleh dari-Nya.
Allah memberi kita rezeki, maka kita menyalurkan kenikmatan rezeki itu
kepada orang yang membutuhkan. Allah memberi kita ilmu yang bermanfaat maka kita membantu memintarkan
orang lain dengan ilmu itu. Allah memberi kita kekuasaan, maka kita membantu
menyejahterakan orang lain dengan kekuasaan itu.
Apa pun kebahagiaan yang Allah berikan kepada kita, maka kita
menyalurkannya kepada orang lain dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Jika hal
itu terus menerus terjadi, tiba-tiba kita telah menjadi ’karyawan’ Allah dalam
menganugerahkan kebahagiaan kepada segenap manusia. Bahkan, kepada seluruh
makhluk-Nya.
Jika semua itu Anda lakukan semata-mata karena Allah, maka itulah saatnya
Anda mencapai kebahagiaan spiritual. Hidup Anda tidak lagi egoistik dan sosialistik. Melainkan sudah
spiritualistik, menjadi wakil Allah di muka bumi. Persis seperti fitrah
Anda saat diciptakan-Nya: sebagai khalifatu fil ardhi ~ ’wakil Allah
di muka bumi’. Dengan misi utama, membawa tatanan kehidupan yang rahmatan
lil alamin.
Apakah balasan terbaik untuk orang yang berbuat demikian? Tidak ada lain,
ialah kebahagiaan yang tiada putus-putusnya. Di dunia maupun di akhirat. Allah selalu mendampingi dan
menolongnya di setiap langkah kehidupannya. Telah dia abdikan dirinya kepada
Allah, maka tidak perlu diragukan lagi Allah akan menyiapkan segala kebaikan
dan kebahagiaan untuknya..!
QS. Muhammad (47): 7
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (dimana pun kamu berada).
QS. Fush shilat (41): 8
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan banyak mengerjakan amal
kebajikan mereka akan mendapatkan pahala (kebahagiaan) yang tiada
putus-putusnya" (di dunia maupun di akhirat).
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar