Menjelang
berangkat ke tanah suci, sebaiknya kita bertanya kepada diri sendiri: niat
apakah yang melandasi kepergian kita berhaji? Realitasnya, ternyata
sangat beragam. Mulai dari yang berhaji karena ‘tidak sengaja’ diajak saudara
atau penugasan kerja, ingin dapat predikat dan penghargaan masyarakat, sampai
kepada yang memang ingin beribadah menyempurnakan kualitas jiwanya disana.
Apakah tidak boleh kita memiliki background niat yang
bermacam-macam seperti itu? Ooh, boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang.
Tetapi, ternyata Allah mengajarkan di
dalam Al Qur’an agar kita meluruskan niat dalam menjalani ibadah ini. Justru,
dikarenakan beragamnya niatan orang-orang yang datang dari segala penjuru Bumi
itu.
QS. Al Baqarah (2):
196
Wa atimmul hajja
wal ‘umrota lillaah...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh(mu) karena Allah
semata...
Kata
‘menyempurnakan’ dalam ayat itu mengindikasikan adanya berbagai macam niat
dalam beribadah haji. Termasuk niat untuk sambil berdagang atau bekerja
yang memang diperbolehkan oleh Allah, sebagaimana diinformasikan dalam
ayat-ayat sesudahnya. Tetapi, ketika ritual haji sudah dimulai, semuanya harus
meluruskan niat untuk hanya beribadah kepada Allah semata. Banyak-banyak
berdzikir mengingat Allah.
QS. Al Baqarah (2):
198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu
(berniaga di musim haji). Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah,
berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam (sebanyak-banyaknya). Dan
berdzikirlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu. Dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang tersesat.
Bahkan anjuran untuk menyempurnakan niat itu berlaku juga
bagi mereka yang meniatkan ibadah, tetapi belum sempurna ‘karena Allah’. Banyak
peribadatan sepanjang haji itu yang bisa menjebak kita untuk ‘tidak karena
Allah’. Sehingga membuat ibadah kita kurang sempurna.
Seorang kawan
ketika ditanya tentang niatnya beribadah haji menjawab begini: ‘’Saya ingin
berdoa di tanah suci agar masalah yang menghimpit hidup saya cepat teratasi.’’
Sebuah niat ibadah yang cukup baik, tetapi bisa menurunkan kesempurnaan haji
jika ‘meleset’ dalam persepsi. Mirip
dengan seseorang yang menjalankan shalat Dhuha karena ingin dapat rezeki, atau
melakukan puasa karena ingin lulus ujian.
Yang begini ini,
jika tidak kita sadari, bisa menjebak kita ke dalam praktek ibadah yang bukan
karena Allah semata. Tetapi, dikarenakan rezeki dan lulus ujian. Jangan.
Ibadah mesti ‘lillaahi ta’ala’ – hanya karena Allah semata. Bahwa, setelah itu
kita menjadi dekat dengan Allah, dan segala macam masalah hidup teratasi dengan
baik, itu adalah ‘bonus’ dari
perilaku yang benar di jalan Allah.
Niatan dan
persepsi yang salah dalam berdoa di tanah suci itulah yang lantas melahirkan
berbagai praktek yang keliru pula. Sehingga banyak orang yang ‘titip doa’ kepada saudara atau sahabatnya
yang sedang menunaikan ibadah haji, agar dibacakan di depan Kakbah. Mereka
beranggapan doa yang dibacakan di tempat mustajab itu pasti terkabul,
tidak sebagaimana kalau mereka panjatkan di tanah air. Apalagi ada yang
menambahkan dengan kalimat begini: ‘’Ya Allah, kami sudah bertahun-tahun berdoa
di tanah air belum juga Engkau kabulkan, kini kami datang ke rumah-Mu untuk
berdoa agar Engkau penuhi...’’
Rupanya si jamaah
haji atau orang yang titip doa itu mengira Allah berada di dalam Kakbah.
Mungkin karena tempat suci itu disebut sebagai Baitullah alias ‘Rumah Allah’.
Sedangkan di tanah air ia merasa jauh dari Allah, sehingga doanya tidak
mustajab. Tentu saja yang begini ini berselisihan dengani ajaran Al Qur’an yang
mengatakan bahwa Allah itu sudah sangat dekat – lebih dekat dari urat leher
kita sendiri – dan Dia akan mengabulkan doa orang-orang yang memang bermohon
kepada-Nya dimana pun ia berada, selama ia melakukannya dengan benar.
QS. Al Baqarah (2):
186
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ
فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ ١٨٦
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (katakanlah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
jika ia (memang) bermohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman (hanya) kepada-Ku, agar mereka berada
di dalam kebenaran.
Berhaji harus meluruskan niat karena Allah semata. Di tanah suci itulah kita sedang ‘bertamu’
kepada-Nya untuk berburu hikmah dalam menyempurnakan kualitas jiwa.
Meningkatkan spiritualitas menuju kesempurnaan seorang hamba di hadapan
Tuhannya. Meniru keikhlasan keluarga
Nabi Ibrahim yang hanif (lurus) dalam bertauhid hanya kepada-Nya...
QS. An Nahl (16):
120-122
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (ia pandai) mensyukuri
nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang
lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di
akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
Walahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar