Rupanya hidup bahagia semakin langka. Sehingga tidak sedikit yang bertanya:
bisakah kita mencapai hidup bahagia? Sebuah pertanyaan yang mencerminkan sikap
pesimistik dalam mencapai kebahagiaan hidup. Atau jangan-jangan malah
menggambarkan sikap apatis alias keputusasaan.
Sebagian orang lagi menaruh harapan dengan mengatakan, meskipun tidak bisa
memperoleh kebahagiaan di dunia mereka bakal memeroleh kebahagiaan di akhirat. Yang ini, menggambarkan sikap
orang yang terlalu PeDe, seakan-akan dia sudah pasti akan menjadi penghuni
surga. Jangan-jangan yang terjadi adalah tidak kedua-duanya. Di dunia tidak
bahagia, di akhirat pun tidak masuk surga... :(
Disinilah pentingnya kita memahami ajaran Islam secara utuh, substansial
dan praktis. Bukan hanya teoritis. Karena sesungguhnyalah kebahagiaan itu bisa diperoleh di dunia dan di
akhirat secara simultan. Tentu saja, kita harus membenahi dulu pemahaman
kita tentang makna bahagia. Bahwa bahagia bukanlah terpenuhinya segala
keinginan, karena sudah pasti keinginan kita tidak akan pernah terpenuhi
semuanya.
Kebahagiaan juga bukan hidup ’tenang-tentram’ tanpa masalah, karena
sesungguhnya hidup ini adalah aliran masalah setiap hari. Dan, bahagia pun bukanlah
datangnya cinta dari semua orang, sebab hal itu adalah sesuatu yang tidak
mungkin disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Kebahagiaan
adalah akumulasi kenikmatan dari sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Juga
sejak lahir sampai mati. Bahkan sejak di dunia sampai di akhirat kelak.
Kebahagiaan ’tidak perlu’ dan ’tidak bisa’ dikejar. Apalagi dengan materi. Semakin
dikejar, dia akan semakin menjauh. Kebahagiaan muncul sebagai anugerah bagi
orang-orang yang bersikap baik terhadap kehidupan. Yang bersikap jahat
kepada kehidupan, meskipun serba berkecukupan secara materi, tidak akan pernah
menemukan kebahagiaan. Justru penderitaan.
Adalah salah besar orang-orang yang berpendapat kebahagiaan adalah identik
dengan uang, misalnya. Dia pasti orang yang belum punya uang. Atau
setidak-tidaknya, belum lama punya uang. Atau, terjebak kepada ’kesenangan’
terhadap uang. Dan mengira dengan uang itu ia bisa membeli segala-galanya.
Seperti telah saya sampaikan, kawan saya yang sudah memiliki
’segala-galanya’ pun ternyata hanya menemukan ’kekosongan hidupnya’ justru
setelah sampai di puncak 'kesuksesannya'. Ternyata kebahagiaan bukan terkait
secara langsung dengan kesuksesan meraih hal-hal yang bersifat material.
Sebanyak apa pun uang yang dimiliki seseorang tidak akan bisa ’membeli’
nikmatnya makan, ketika sikap hatinya salah. Juga tidak bisa 'membeli' nikmatnya minum. Atau
pulasnya tidur. Atau, teduhnya kasih sayang. Atau, damainya persahabatan. Atau,
harmonisnya rumah tangga. Dan berbagai sumber-sumber kenikmatan lainnya. Banyak
sekali orang yang tidak merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, ketika punya
banyak uang. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang bahagia justru ketika
dia tidak punya uang, tetapi bisa ’berdamai’ dengan masalahnya.
Ini menjadi bukti keadilan Allah dan ajaran Islam. Bahwa kebahagiaan
ternyata bukan hanya milik orang-orang kaya, para penguasa, tokoh-tokoh
terkemuka, dan sejumlah elit tertentu saja. Banyak orang kaya raya dan 'mapan'
hidupnya, setiap hari pekerjaannya ’memegangi kepala’ karena dipusingkan oleh
berbagai masalah. Sebaliknya, banyak rakyat jelata yang seperti ’tidak punya’
apa-apa setiap hari tergelak dalam tawa bahagia.
Cobalah tengok sejarah, kapankah Rasulullah mengatakan: baiti jannati ~
rumahku adalah surgaku? Apakah saat beliau kaya raya sebagai bangsawan dan hartawan di Mekah, atau
saat beliau menjadi Rasul di Madinah yang rumahnya sangat sederhana? Ternyata,
justru ketika beliau sudah hidup apa adanya secara sederhana. Itu menunjukkan
bahwa surga dunia bukan terletak di harta benda, melainkan di sikap hati yang
berdamai dengan setiap masalah.
Dan, itu sekaligus, membuktikan bahwa ’surga’ kebahagiaan bisa diraih
sejak masih di dunia. Tidak perlu biaya. Hanya dengan mengubah mindset
beserta akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan nyata. Bukan hanya
yang bersifat teoritis, misalnya dengan mengatakan: ’jika Anda dekat dengan
Allah maka segalanya akan beres’. Memang, tetapi harus ada penjabaran praktis,
bagaimanakah yang dimaksud dekat dengan Allah itu. Kita sih sudah yakin
seyakin-yakinnya, jika seseorang telah dekat dengan-Nya, segala persoalan bakal
beres semua. Tetapi, bagaimana caranya? Karena beragama tidak terletak di
tataran teori melainkan pada tataran praktek.
Akhlak Rasulullah dipuji-puji Allah di dalam al Qur’an. Dan akhlak itu pula
yang mengantarkan Rasulullah memperoleh surga: dunia maupun akhirat. Ada
beberapa akhlak mulia yang jika diterapkan bakal mengantarkan setiap manusia
kepada surganya. Dan ini menjadi landasan utama setiap pribadi yang mengaku
dirinya Islam.
Yang pertama adalah sikap sabar. Orang sabar adalah kandidat penerima kebahagiaan.
Menurut al Qur’an, ’sabar’ itu bermakna dua. Yakni: tidak tergesa-gesa
dalam melakukan segala hal dan tahan uji ketika menghadapi masalah. Orang yang seperti ini akan
memeroleh nikmat yang luar biasa, baik dalam prosesnya maupun hasil akhirnya.
Orang yang sabar selalu bersikap tenang dalam menyikapi segala masalah. Bukan ditenang-tenangkan. Bukan pula
disabar-sabarkan. Melainkan paham betul, bahwa orang sabar memang selalu
’didampingi’ Allah dalam mencari solusi. Ia pun telah melihat bukti, bahwa
kesabaran selalu membuat dia bisa mengontrol diri untuk tidak tergesa-gesa
dalam membuat keputusan, dan jernih dalam memandang persoalan. Orang yang
demikian menjadi sangat kuat jiwanya, dan nikmat hidupnya. Tidak ada gelombang
sebesar apa pun yang bisa menggoyahkannya.
QS. Al Baqarah (2): 155
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar,
QS. Al Baqarah (2): 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Yang kedua adalah orang yang ikhlas. Semakin ikhlas seseorang dalam
menjalani kehidupan, semakin nikmatlah hidupnya. Sayang, keikhlasan juga
tidak bisa dipaksakan. Keikhlasan hanya bisa diperoleh dengan kepahaman dan
latihan. Hanya orang-orang yang sudah makan asam garam kehidupan saja
yang bisa menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan. Selebihnya, hanyalah
teori keikhlasan. Atau, kadang-kadang diikhlas-ikhlaskan alias terpaksa ikhlas.
Tapi, keikhlasan itu sebenarnya seperti apa? Seringkali kita tahu jawabnya,
tetapi tidak tahu prakteknya. Secara teoritis kita akan menjawab begini: ikhlas
itu adalah berbuat tanpa pamrih, karena Allah semata. Lillahi taala.
Tetapi, sebenarnya kita juga 'tidak tahu' bagaimana penerapan dari kalimat lillahi
taala itu. Apa cukup dengan mengatakan: ’’semua ini saya lakukan karena
Allah’’...?
Al Qur’an dengan sangat indah menceritakan secara sederhana, bahwa
Ikhlas yang benar-benar lillahi taala itu adalah ketika kita bisa meniru
perbuatan Allah. Berbuat kebajikan kepada orang lain sebagaimana Allah
telah berbuat kebajikan kepada kita. Menolong orang lain sebagaimana Allah
menolong kita. Mencukupi orang lain sebagaimana Allah mencukupi kita.
Membahagiakan orang lain sebagaimana Allah telah membahagiakan kita.
QS. Al Qashash (28): 77
’’... berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu...’’
Konkretnya, ketika seseorang merasa telah diberi rezeki oleh Allah, maka ia
lantas menjadi ingin menolong orang lain dengan rezeki itu. Saat dia merasa
telah diberi kekuasaan oleh Allah maka dia bakal memanfaatkan kekuasaannya
untuk kemaslahatan orang lain. Pada waktu ia merasa telah banyak diberi ilmu
oleh Allah, maka ia memberikan ilmu yang bermanfaat untuk orang lain. Dan
seterusnya.
Setiap saat, yang ada di hatinya adalah rasa ’berkelimpahan’ karena telah
menerima demikian banyak karunia Allah dalam hidupnya. Dan lantas, ia
menularkan perasaan itu kepada orang lain sebagai bentuk rasa syukur,
dengan memberikan apa saja yang telah ia miliki untuk orang yang membutuhkan.
Hidup orang ini sungguh bahagia, karena dia menerima dua sumber kebahagiaan
sekaligus. Yang
pertama, ia menerima kebahagiaan dari perasaan syukurnya. Rasa
keberlimpahannya. Persis seperti firman Allah dalam QS. 14: 7, bahwa
barangsiapa bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat kepadanya. Dan, yang
kedua, dia akan memeroleh kebahagiaan karena bisa menolong orang
lain yang sedang membutuhkan. Praktek akhlak semacam ini akan memberikan
efek yang sangat sangat riil, dan membuat jiwa seseorang menjadi
berbunga-bunga.
Keikhlasan yang seperti ini pula yang bakal melipatgandakan efek kesabaran.
Orang-orang yang bisa menjalankan kesabaran sekaligus ikhlas, nikmatnya luar
biasa. Kesabaran memberikan kekuatan dan kejernihan. Sedangkan
keikhlasan menghasilkan rasa lapang dalam kehidupan. Dua sifat itu adalah
sebagian dari akhlak mulia yang bakal mengantarkan seorang muslim memeroleh
kebahagiaannya..!
Selanjutnya, bagaimanakah langkah-langkah operasionalnya. Bagaimana pula
peran ikhtiar dan takdir dalam meraih kebahagiaan? Mmm.., kayaknya kita bahas
di note berikutnya aja ya...?!
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar