KASUS KEENAM: Substansi Realitas Sosial.

CUPLIKAN DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’ (6-habis)


Serangan keras lainnya terhadap agama oleh tokoh-tokoh atheis adalah tentang fakta sosial. Hal ini dikemukakan oleh Christopher Hitchens. Jurnalis yang mengaku telah meliput berbagai peristiwa di berbagai negara konflik itu mengemukakan kesimpulannya dalam buku best seller-nya: ‘god is not Great’.

Menurutnya Tuhan  tidak Maha Besar, bahkan tidak perlu ada, karena terbukti membiarkan saja segala keburukan dalam realitas sosial. Banyaknya ketimpangan dan penderitaan yang dialami manusia menunjukkan bahwa Tuhan memang tidak ada.

Apalagi, menurutnya, ternyata negara-negara yang menganut agama secara taat ternyata banyak dilanda oleh peperangan, kriminalitas, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai orang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Sepintas saja, kita sudah bisa mengerti kenapa Hitchens mengambil kesimpulan yang ‘serampangan’ seperti itu. Yang pertama, ia rupanya merasa sakit hati dengan agama atau dengan Tuhan. Inilah yang dalam terminologi pembahasan atheis disebut sebagai angry disbeliever - orang yang menjadi atheis karena kecewa. Mereka, pada dasarnya, tidak benar-benar meyakini tentang tidak adanya Tuhan, melainkan dengan sengaja meniadakan keberadaan Tuhan dalam hidupnya karena kecewa dan marah.

Dan yang kedua, Hitchens lantas membuat kesimpulan yang distortif dengan menyamaratakan antara ajaran agama dengan pemeluknya. Inilah yang saya sebut sebagai kesimpulan yang serampangan itu. Bahwa, jika penganutnya jahat, maka berarti ajarannya juga jahat.

Hanya ada dua kemungkinan untuk orang yang bersikap demikian dalam pengambilan kesimpulan. Yang pertama dia tidak tahu bagaimana cara berpikir ilmiah. Dan yang kedua, dia sengaja melakukan hal itu karena kecewa.

Tentu saja, tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Apa pun agamanya. Sehingga, kalau ada seorang penganut agama melakukan pencurian, tidak bisa lantas disimpulkan agamanya yang mengajari mencuri. Atau, kalau mereka melakukan pembunuhan, berarti agamanya juga yang mengajari membunuh, mengajari korupsi, mengajari miskin, dan seterusnya. Tentu, kita tidak terlalu sulit untuk menolak kesimpulan yang semacam itu.

Termasuk, ketika Hitchens membuat kesimpulan bahwa agama adalah racun bagi segala sesuatu termasuk peradaban manusia. Sebagaimana dia tulis dalam sub judul bukunya: ‘God is not Great, How Religion Poisons Everything’.

Maka, adalah tidak berlebihan jika kita menyebut Hitchens sebagai angry disbeliever. Bahwa kesimpulan dia tentang tidak adanya Tuhan bukan sebuah kesimpulan ilmiah melainkan sekedar luapan kemarahan dan sakit hati belaka. Karena itu, rasanya kita tidak perlu membuat ulasan lebih mendalam tentang pemikiran Hitchens di buku ini. Apalagi, secara lebih detil saya sudah membahasnya dalam buku DTM-20: ‘Beragama dengan Akal Sehat’.

Yang perlu kita tegaskan adalah, bahwa Islam merupakan agama fitrah yang bersifat universal. Ajaran-ajarannya sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan. Sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, kasih sayang, dan berbagai akhlak mulia dalam menata umat manusia. Yang kemudian secara utuh digambarkan oleh Al Qur’an sebagai misi ‘rahmatan lil alamin’. Yakni, menebar rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam.

Kalaupun masih banyak orang Islam yang miskin, ada yang berbuat kriminal, ada yang suka membuat kerusuhan, merugikan orang lain, dan sebagainya, maka itu menjadi tugas kita bersama untuk membimbing mereka mengikuti jalan Tuhan. Karena agama ini memang diturunkan untuk membimbing umat manusia agar selalu di jalan kebaikan dan meninggalkan segala kejahatan.

QS. Fushshilat (41): 33-35
Siapakah yang lebih baik tutur katanya dibandingkan dengan orang yang mengajak ke jalan Allah, (sambil) mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (hanya kepada-Nya)?"

Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang-orang yang bermusuhan itu (seakan-akan) menjadi teman setia.

Sifat-sifat yang baik tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang sabar. Dan tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

~ Wallahu a’lam bishshawab ~
 Agus Mustofa

0 komentar:

Posting Komentar