KASUS KELIMA: Substansi Kesadaran.


Sebagai pakar neuroscience yang atheis, Sam Harris membangun kesimpulan yang senada dengan kawan-kawannya. Bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena secara neuro-science tidak bisa dibuktikan.

Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi dari ‘keharusan kognitif’ untuk mencari kejelasan dari sesuatu yang tidak diketahui. Dan kemudian manusia mencoba menghubung-hubungkan dengan asal-usulnya, asal-usul kehidupan, serta kemana perginya kelak sesudah kematian.      

Semua itu, menurutnya, adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak pasti. Tapi karena kita butuh jawaban, maka dibuatlah jawaban yang bersifat transcendental (jauh dr empiric) atau supranatural. Menurutnya semua itu hanya ilusi belaka. Atau, delusi seperti disimpulkan oleh Dawkins.  

Ia meyakini, di masa depan Agama akan kehilangan posisi seiring dengan semakin menguatnya argumentasi sains. Manusia akan lebih meyakini bukti-bukti yang empiris daripada yang transendental. Karena itu keyakinan terhadap Tuhan dan agama sudah selayaknya diakhiri, sebagaimana judul bukunya: The End of Faith.

Sebenarnya, kalau kita mau menengok sistem kerja otak manusia dalam memahami realitas ini kita akan berpikir ulang untuk membuat kesimpulan semacam itu. Sebuah kesimpulan yang menurut saya tergesa-gesa, untuk mengatakan Tuhan adalah sekedar kebutuhan kognitif belaka. Bahkan, sekedar delusi (khayalan).

Otak kita adalah mesin canggih yang menjadi interface alias media penghubung antara ‘dunia luar’ yang kita sebut sebagai realitas, dengan ‘dunia dalam’ yang kita sebut sebagai kognisi atau kesadaran. Pada orang-orang atheis, mereka menyebut kesadaran itu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari otak. Atau, bahkan otak itu sendirilah yang disebut sebagai ‘kesadaran’, atau setidak-tidaknya sebagai ‘sumber kesadaran’.

Sedangkan orang beragama, menyebut otak hanya sebagai media atau pintu gerbang saja untuk memasuki alam kesadaran. Karena, kesadaran itu bersumber pada sesuatu yang lebih dalam, yakni ruh. Kesadaran yang identik dengan otak adalah kesadaran rendah yang disebut sebagai jiwa. Sedangkan kesadaran yang lebih tinggi disebut sebagai kesadaran ruh yang bersumber pada Kesadaran Semesta, atau kesadaran Ilahiah yang terkait dengan keberadaan Tuhan yang transendental.

Orang-orang atheis membuat kesimpulan  bahwa ‘kesadaran identik dengan otak’ berdasar pada bukti empiris, dimana seseorang yang otaknya mengalami kerusakan, akan mengalami gangguan kesadaran. Alias gangguan jiwa. Dan sebaliknya, orang yang mengalami gangguan jiwa juga mengalami kerusakan pada struktur otaknya. Sehingga, mereka menyimpulkan otak = jiwa, dan jiwa = otak.

Tidak ada istilah ruh dalam kamus mereka. Karena, kehidupan bukan disebabkan oleh adanya ruh, melainkan muncul sebagai konsekuensi dari sistem alamiah yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Dengan demikian, kematian dianggap sebagai terminal terakhir dari perjalanan makhluk hidup. Tidak ada yang namanya kehidupan sesudah mati. Atau alam berdimensi lebih tinggi sebagai kelanjutan kehidupan dunia. Semua itu menjadi satu paket dari ketidak percayaan mereka terhadap Tuhan.

Tetapi, kalau mereka mau membuka sedikit saja jendela pemikirannya, mereka akan bisa merasakan adanya sesuatu di balik otak. Bahkan di balik susunan saraf-saraf otak. Atau, lebih kecil lagi di dalam sel-sel  saraf itu, yang kemudian akan memasuki wilayah genetika sebagai pengendali mekanisme kerja saraf otak manusia.

Pertanyaannya, sebenarnya ‘kesadaran’ itu berada hanya di wilayah otak sebagai organ, ataukah sudah ada di tingkat sel, ataukah malah sudah ada di tingkat inti sel dan genetikanya? Bahkan, lebih jauh kita masih bisa menelisik lebih ke dalam lagi.

Memang di dalam tubuh manusia, kesadaran kemanusiaan kita berada di wilayah otak. Sehingga, seakan-akan kesadaran identik dengan otak. Tetapi, kalau kita mau mencermati lebih jauh, fungsi otak sebagai pusat kesadaran itu hanya berhenti pada skala organik.
Otak mengendalikan berbagai aktivitas tubuh dalam skala organik, seperti mengendalikan jantung, paru-paru, ginjal, organ pencernaan, dan berbagai kelenjar dalam sistem endokrinologi. Namun, dia tidak mengendalikan aktivitas di tingkat seluler. Karena, di wilayah ini yang menjadi ‘otaknya’ bukan lagi otak yang berada di dalam tempurung kepala itu, melainkan sistem kecerdasan di dalam inti sel dalam bentuk mekanisme genetika itu.

Termasuk di dalam ‘otak kepala’ sendiri. Para ahli neuroscience masih perlu meneliti lebih mendalam, apakah kesadaran itu berada di tingkat organik ataukah di tingkat seluler, ataukah lebih mendalam ada di tingkat genetika, ataukah malah bersumber dari balik semua yang materialistik itu?

Karena, sebagaimana kita ketahui, jika sosok materi ‘dihaluskan’ kuantitasnya sampai menjadi kualitas, ia akan berubah menjadi energi, mengikuti rumus Einstein, E=mc2. Pemusnahan materi akan menghasilkan energi. Sebaliknya, ‘pengkristalan’ energi akan menghasilkan materi.

Artinya, ada realitas kontinum yang bisa mewujudkan materi sebagai kuantitas, menjadi energi sebagai kualitas. Ibarat deret angka yang memanjang dari sisi positif di sebelah kanan, dan negatif di sebelah kiri, perubahan keduanya akan melewati angka nol alias ketiadaan. Atau pemusnahan.

Sehingga perubahan dari suatu keadaan ‘positif’ berupa materi menjadi suatu keadaan ‘negatif’ berupa energi harus ‘melangkahi’ pemusnahan terlebih dahulu. Itulah yang terjadi pada proses annihilasi materi menjadi energi.

Maka, kalau kita kaitkan realitas itu dengan organ otak dan fungsi kesadaran, kita bisa melihat korelasinya dengan jelas. Bahwa otak adalah materi, sedangkan fungsi kesadaran adalah kualitas atau energi. Perubahan dari ‘otak materi’ menjadi ‘otak energi’ itu menjadi penjelas terjadinya kesadaran di dalam otak kita.

Bahwa, kesadaran manusia bukan hanya disebabkan oleh sistem sarafi dalam skala organ belaka, melainkan lebih mendalam dari itu, terhubung dengan proses annihilasi materi menjadi energi kesadaran. Sehingga, sebenarnya, kesadaran itu sudah ada di level yang lebih halus dibandingkan otak sebagai organ. Dan itulah yang kita lihat dalam skala seluler maupun biomolekuler di sistem informasi genetika.

‘Kesadaran’ sudah muncul di level yang lebih kecil dari otak. Sehingga kesadaran otak hanyalah ‘akumulasi kesadaran’ di tingkat yang lebih halus saja. Bagaimana mungkin sel bisa hidup, jika sel-sel itu tidak memiliki ‘kesadaran’ untuk mempertahankan kehidupannya?

Bagaimana mungkin juga, sistem genetika itu bisa memberikan perintah-perintah terstruktur, kalau mereka tidak memiliki kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu, yakni membentuk sel, mempertahankannya, dan bahkan mengembangkan untuk bisa menjadi lebih banyak lagi. Semua itu dikontrol oleh sebuah ‘kesadaran’.

Adalah sebuah ketergesa-gesaan jika menyimpulkan kesadaran identik dengan otak belaka. Dan tidak ada sumber kesadaran yang lebih dalam di balik itu. Karena sesungguhnya, setiap benda dalam skala wujud materialistiknya memiliki kesadaran sesuai dengan levelnya. Di level organisme, manusia memiliki kesadaran kemanusiaannya. Di level organ tubuh, setiap organ kita juga memiliki level kesadaran organiknya. Di level jaringan sel, juga demikian. Di level seluler, di level genetika, di level molekuler, atomik, partikel-partikel subatomik, sampai pada quark dan energi, semuanya memiliki kesadaran dalam level yang sesuai tingkatannya.

Itulah sebabnya, meskipun kesadaran kemanusiaan kita ‘tidak menyadari’ fungsi jantung, sang jantung tetap saja bekerja untuk menghidupi tubuh. Demikian juga, berbagai organ seperti ginjal, liver, paru, dan berbagai organ vital, semuanya bekerja atas dasar kesadarannya sendiri.

Bahkan juga di level jaringan sel. Mereka, juga tanpa harus diperintah oleh kesadaran kemanusiaan kita, tetap saja bekerja menjaga koordinasi jaringan sel. Kalau sampai sel-sel itu tidak bekerja membentuk jaringan yang sesuai, tubuh manusia ini sudah amburadul sejak awal kejadiannya.

Bukan otak yang memerintah sel-sel untuk membentuk jaringan sel kulit, jaringan sel tulang, jaringan sel rambut, sel mata, sel darah, dan sekitar 200 jenis sel yang berbeda, melainkan karena adanya kesadaran di tingkat seluler itu sendiri.

Dan seterusnya, semakin ‘halus’ kita masih selalu menemui tingkat-tingkat kesadaran itu. Bahkan sampai di level perubahan antara materi dan energi, atau lebih halus lagi antara ‘ada’ dan ‘tiada’, antara yang wujud dan tak berwujud, selalu ada ‘kesadaran’ yang mengendalikan proses untuk mencapai tujuan tertentu.

Para ilmuwan atheis membantah adanya ‘tujuan’ dalam setiap proses alamiah. Tetapi, faktanya setiap level proses dalam realitas ini memiliki tujuan. Masa, sistem genetika yang jelas-jelas bertujuan untuk mempertahankan eksistensi sel agar tetap hidup dan bahkan berkembang biak itu dianggap sebagai tanpa tujuan, dan berproses secara acak?

Masa, jaringan sel yang jelas-jelas bisa berkelompok sehingga mereka tidak keliru membentuk jenis sel itu yang dibutuhkan itu disebut berjalan secara acak? Kenapa sel tulang tidak keliru menjadi sel darah, tidak keliru menjadi sel rambut, tidak keliru menjadi sel mata dan sebagainya?

Padahal tulang bersebelahan dengan darah, bersebelahan dengan sel rambut, bersebelahan dengan sel mata, dan seterusnya. Sudah sangat jelas, mereka mempunyai tujuan. Apa tujuannya? Ya, tentu saja untuk membentuk jaringan-jaringan sel yang sesuai. Serta menahan diri untuk tidak keliru. Dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, membiakkan diri dalam skala yang terkontrol sesuai ‘pesanan’ dari sistem informasi yang ada di dalam genetikanya.

Dan untuk itu, dibutuhkan ‘kesadaran’. Bukan kesadaran yang dikendalikan otak, karena kesadaran otak itu sendiri dibentuk dari kesadaran-kesadaran yang lebih halus di tingkat seluler, di tingkat nukleus dan genetika, di tingkat molekuler, di tingkat atomik, di tingkat partikel quark dan kuantum, di tingkat energial, serta di tingkat yang lebih halus dari itu semua. Sebuah ‘Kesadaran Universal’ yang telah meliputi segala eksistensi di alam semesta..!

Begitulah fakta yang kita amati dari sekitar kita. Sehingga, sekali lagi, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa dan ‘gegabah’ jika keberadaan Tuhan hanya dikaitkan dengan kebutuhan kognisi manusia di level otak. Yang jika kognisi kita tidak mampu menjangkaunya, maka kita anggap Tuhan hanya sebagai ilusi belaka.

Kata Al Qur’an, hanya ada dua kemungkinan bagi orang yang demikian. Yang pertama, ilmu mereka memang belum sampai. Atau, yang kedua, mereka sengaja menyembunyikan fakta dengan meletakkan asumsi yang ‘bersifat pesanan’, agar mereka tidak perlu mengakui adanya Tuhan, Sang Pencipta yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana...

QS. An Naml (27): 65-66
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah”, dan (temasuk) mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.

Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (dan hal-hal yang gaib) tidak sampai, bahkan  mereka ragu-ragu tentang akhirat (dan yang gaib) itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.

QS. Al Ankabuut (29): 44
Allah menciptakan langit dan bumi dengan benar. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda keberadaan Allah bagi orang-orang yang beriman.


~ wallahu a'lam bishshawab ~
Agus Mustofa

0 komentar:

Posting Komentar