Sebagai pakar neuroscience yang atheis, Sam Harris
membangun kesimpulan yang senada dengan kawan-kawannya. Bahwa Tuhan itu tidak
ada. Karena secara neuro-science tidak bisa dibuktikan.
Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi dari ‘keharusan
kognitif’ untuk mencari kejelasan dari sesuatu yang tidak diketahui. Dan kemudian manusia mencoba
menghubung-hubungkan dengan asal-usulnya, asal-usul kehidupan, serta kemana
perginya kelak sesudah kematian.
Semua itu, menurutnya, adalah sesuatu yang tidak
jelas dan tidak pasti. Tapi karena kita butuh jawaban, maka dibuatlah jawaban
yang bersifat transcendental (jauh dr empiric) atau supranatural. Menurutnya semua itu hanya ilusi
belaka. Atau, delusi seperti disimpulkan oleh Dawkins.
Ia meyakini, di masa depan Agama akan kehilangan
posisi seiring dengan semakin menguatnya argumentasi sains. Manusia akan lebih meyakini bukti-bukti
yang empiris daripada yang transendental. Karena itu keyakinan terhadap Tuhan
dan agama sudah selayaknya diakhiri, sebagaimana judul bukunya: The End of
Faith.
Sebenarnya, kalau
kita mau menengok sistem kerja otak manusia dalam memahami realitas ini kita
akan berpikir ulang untuk membuat kesimpulan semacam itu. Sebuah kesimpulan
yang menurut saya tergesa-gesa, untuk mengatakan Tuhan adalah sekedar kebutuhan
kognitif belaka. Bahkan, sekedar delusi (khayalan).
Otak kita adalah mesin canggih yang menjadi
interface alias media penghubung antara ‘dunia luar’ yang kita sebut sebagai
realitas, dengan ‘dunia dalam’ yang kita sebut sebagai kognisi atau kesadaran. Pada orang-orang atheis, mereka
menyebut kesadaran itu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari otak. Atau,
bahkan otak itu sendirilah yang disebut sebagai ‘kesadaran’, atau
setidak-tidaknya sebagai ‘sumber kesadaran’.
Sedangkan orang beragama, menyebut otak hanya
sebagai media atau pintu gerbang saja untuk memasuki alam kesadaran. Karena, kesadaran itu bersumber pada
sesuatu yang lebih dalam, yakni ruh. Kesadaran yang identik dengan otak adalah
kesadaran rendah yang disebut sebagai jiwa. Sedangkan kesadaran yang
lebih tinggi disebut sebagai kesadaran ruh yang bersumber pada Kesadaran
Semesta, atau kesadaran Ilahiah yang terkait dengan keberadaan Tuhan yang
transendental.
Orang-orang atheis membuat kesimpulan bahwa ‘kesadaran identik dengan otak’
berdasar pada bukti empiris, dimana seseorang yang otaknya mengalami kerusakan, akan mengalami gangguan
kesadaran. Alias gangguan jiwa. Dan sebaliknya, orang yang mengalami gangguan
jiwa juga mengalami kerusakan pada struktur otaknya. Sehingga, mereka menyimpulkan otak = jiwa, dan jiwa = otak.
Tidak ada istilah ruh dalam kamus mereka. Karena, kehidupan bukan disebabkan oleh
adanya ruh, melainkan muncul sebagai konsekuensi dari sistem alamiah yang ada
di dalam tubuh makhluk hidup. Dengan demikian, kematian dianggap sebagai
terminal terakhir dari perjalanan makhluk hidup. Tidak ada yang namanya
kehidupan sesudah mati. Atau alam berdimensi lebih tinggi sebagai
kelanjutan kehidupan dunia. Semua itu menjadi satu paket dari ketidak percayaan
mereka terhadap Tuhan.
Tetapi, kalau
mereka mau membuka sedikit saja jendela pemikirannya, mereka akan bisa
merasakan adanya sesuatu di balik otak. Bahkan di balik susunan saraf-saraf
otak. Atau, lebih kecil lagi di dalam sel-sel
saraf itu, yang kemudian akan memasuki wilayah genetika sebagai
pengendali mekanisme kerja saraf otak manusia.
Pertanyaannya,
sebenarnya ‘kesadaran’ itu berada hanya di wilayah otak sebagai organ, ataukah
sudah ada di tingkat sel, ataukah malah sudah ada di tingkat inti sel dan
genetikanya? Bahkan, lebih jauh kita masih bisa menelisik lebih ke dalam lagi.
Memang di dalam tubuh manusia, kesadaran
kemanusiaan kita berada di wilayah otak. Sehingga, seakan-akan kesadaran identik dengan
otak. Tetapi, kalau kita mau mencermati lebih jauh, fungsi otak sebagai
pusat kesadaran itu hanya berhenti pada skala organik.
Otak
mengendalikan berbagai aktivitas tubuh dalam skala organik, seperti
mengendalikan jantung, paru-paru, ginjal, organ pencernaan, dan berbagai kelenjar dalam sistem
endokrinologi. Namun, dia tidak mengendalikan aktivitas di tingkat seluler.
Karena, di wilayah ini yang menjadi ‘otaknya’ bukan lagi otak yang berada di
dalam tempurung kepala itu, melainkan sistem kecerdasan di dalam inti sel dalam
bentuk mekanisme genetika itu.
Termasuk di dalam
‘otak kepala’ sendiri. Para ahli neuroscience masih perlu meneliti lebih
mendalam, apakah kesadaran itu berada di tingkat organik ataukah di tingkat
seluler, ataukah lebih mendalam ada di tingkat genetika, ataukah malah
bersumber dari balik semua yang materialistik itu?
Karena,
sebagaimana kita ketahui, jika sosok materi ‘dihaluskan’ kuantitasnya sampai
menjadi kualitas, ia akan berubah menjadi energi, mengikuti rumus Einstein,
E=mc2. Pemusnahan materi akan menghasilkan energi. Sebaliknya, ‘pengkristalan’
energi akan menghasilkan materi.
Artinya, ada
realitas kontinum yang bisa mewujudkan materi sebagai kuantitas, menjadi energi
sebagai kualitas. Ibarat deret angka yang memanjang dari sisi positif di
sebelah kanan, dan negatif di sebelah kiri, perubahan keduanya akan melewati
angka nol alias ketiadaan. Atau pemusnahan.
Sehingga
perubahan dari suatu keadaan ‘positif’ berupa materi menjadi suatu keadaan
‘negatif’ berupa energi harus ‘melangkahi’ pemusnahan terlebih dahulu. Itulah
yang terjadi pada proses annihilasi materi menjadi energi.
Maka, kalau kita kaitkan realitas itu dengan organ
otak dan fungsi kesadaran, kita bisa melihat korelasinya dengan jelas. Bahwa
otak adalah materi, sedangkan fungsi kesadaran adalah kualitas atau energi.
Perubahan dari ‘otak materi’ menjadi ‘otak energi’ itu menjadi penjelas
terjadinya kesadaran di dalam otak kita.
Bahwa, kesadaran manusia bukan hanya disebabkan oleh sistem sarafi dalam skala
organ belaka, melainkan lebih mendalam dari itu, terhubung dengan proses
annihilasi materi menjadi energi kesadaran. Sehingga, sebenarnya, kesadaran itu sudah ada di
level yang lebih halus dibandingkan otak sebagai organ. Dan itulah yang kita
lihat dalam skala seluler maupun biomolekuler di sistem informasi genetika.
‘Kesadaran’ sudah
muncul di level yang lebih kecil dari otak. Sehingga kesadaran otak hanyalah
‘akumulasi kesadaran’ di tingkat yang lebih halus saja. Bagaimana mungkin sel
bisa hidup, jika sel-sel itu tidak memiliki ‘kesadaran’ untuk mempertahankan
kehidupannya?
Bagaimana mungkin
juga, sistem genetika itu bisa memberikan perintah-perintah terstruktur, kalau
mereka tidak memiliki kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu, yakni membentuk
sel, mempertahankannya, dan bahkan mengembangkan untuk bisa menjadi lebih
banyak lagi. Semua itu dikontrol oleh sebuah ‘kesadaran’.
Adalah sebuah
ketergesa-gesaan jika menyimpulkan kesadaran identik dengan otak belaka. Dan
tidak ada sumber kesadaran yang lebih dalam di balik itu. Karena sesungguhnya, setiap benda dalam skala wujud materialistiknya memiliki
kesadaran sesuai dengan levelnya. Di level organisme, manusia memiliki kesadaran kemanusiaannya. Di level
organ tubuh, setiap organ kita juga memiliki level kesadaran organiknya. Di
level jaringan sel, juga demikian. Di level seluler, di level genetika, di
level molekuler, atomik, partikel-partikel subatomik, sampai pada quark dan
energi, semuanya memiliki kesadaran dalam level yang sesuai tingkatannya.
Itulah sebabnya, meskipun kesadaran kemanusiaan kita ‘tidak menyadari’ fungsi jantung, sang
jantung tetap saja bekerja untuk menghidupi tubuh. Demikian juga, berbagai organ seperti ginjal,
liver, paru, dan berbagai organ vital, semuanya bekerja atas dasar kesadarannya
sendiri.
Bahkan juga di
level jaringan sel. Mereka, juga tanpa harus diperintah oleh kesadaran
kemanusiaan kita, tetap saja bekerja menjaga koordinasi jaringan sel. Kalau
sampai sel-sel itu tidak bekerja membentuk jaringan yang sesuai, tubuh manusia
ini sudah amburadul sejak awal kejadiannya.
Bukan otak yang memerintah sel-sel untuk membentuk
jaringan sel kulit, jaringan sel tulang, jaringan sel rambut, sel mata, sel
darah, dan sekitar 200 jenis sel yang berbeda, melainkan karena adanya
kesadaran di tingkat seluler itu sendiri.
Dan
seterusnya, semakin ‘halus’ kita masih selalu menemui tingkat-tingkat kesadaran
itu. Bahkan sampai di level perubahan antara materi dan energi, atau lebih
halus lagi antara ‘ada’ dan ‘tiada’, antara yang wujud dan tak berwujud, selalu ada ‘kesadaran’ yang
mengendalikan proses untuk mencapai tujuan tertentu.
Para ilmuwan
atheis membantah adanya ‘tujuan’ dalam setiap proses alamiah. Tetapi, faktanya
setiap level proses dalam realitas ini memiliki tujuan. Masa, sistem genetika
yang jelas-jelas bertujuan untuk mempertahankan eksistensi sel agar tetap hidup
dan bahkan berkembang biak itu dianggap sebagai tanpa tujuan, dan berproses
secara acak?
Masa, jaringan
sel yang jelas-jelas bisa berkelompok sehingga mereka tidak keliru membentuk
jenis sel itu yang dibutuhkan itu disebut berjalan secara acak? Kenapa sel
tulang tidak keliru menjadi sel darah, tidak keliru menjadi sel rambut, tidak
keliru menjadi sel mata dan sebagainya?
Padahal tulang
bersebelahan dengan darah, bersebelahan dengan sel rambut, bersebelahan dengan
sel mata, dan seterusnya. Sudah sangat jelas, mereka mempunyai tujuan. Apa
tujuannya? Ya, tentu saja untuk membentuk jaringan-jaringan
sel yang sesuai. Serta menahan diri untuk tidak keliru. Dan bertahan hidup
dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, membiakkan diri dalam skala yang terkontrol sesuai ‘pesanan’ dari
sistem informasi yang ada di dalam genetikanya.
Dan untuk itu,
dibutuhkan ‘kesadaran’. Bukan kesadaran yang dikendalikan otak, karena
kesadaran otak itu sendiri dibentuk dari kesadaran-kesadaran yang lebih halus
di tingkat seluler, di tingkat nukleus dan genetika, di tingkat molekuler, di
tingkat atomik, di tingkat partikel quark dan kuantum, di tingkat energial,
serta di tingkat yang lebih halus dari itu semua. Sebuah ‘Kesadaran Universal’
yang telah meliputi segala eksistensi di alam semesta..!
Begitulah fakta
yang kita amati dari sekitar kita. Sehingga, sekali lagi, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa dan ‘gegabah’ jika keberadaan Tuhan
hanya dikaitkan dengan kebutuhan kognisi manusia di level otak. Yang jika
kognisi kita tidak mampu menjangkaunya, maka kita anggap Tuhan hanya sebagai
ilusi belaka.
Kata Al Qur’an,
hanya ada dua kemungkinan bagi orang yang demikian. Yang pertama, ilmu mereka
memang belum sampai. Atau, yang kedua, mereka sengaja menyembunyikan fakta
dengan meletakkan asumsi yang ‘bersifat pesanan’, agar mereka tidak perlu
mengakui adanya Tuhan, Sang Pencipta yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana...
QS. An Naml (27): 65-66
Katakanlah:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib,
kecuali Allah”, dan (temasuk) mereka tidak mengetahui kapan mereka akan
dibangkitkan.
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (dan
hal-hal yang gaib) tidak sampai, bahkan
mereka ragu-ragu tentang akhirat (dan yang gaib) itu, lebih-lebih lagi
mereka buta daripadanya.
QS. Al Ankabuut (29): 44
Allah
menciptakan langit dan bumi dengan benar. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda keberadaan Allah bagi orang-orang yang beriman.
~ wallahu a'lam
bishshawab ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar