KASUS KEEMPAT: Substansi Kehidupan.


Misteri besar lainnya yang menyelimuti kehidupan manusia adalah tentang munculnya makhluk hidup di planet Bumi. Sebuah drama kolosal yang sangat menakjubkan, sehingga muncullah berbagai kisah hidup yang mengharu biru jiwa kita. Termasuk munculnya pro-kontra dalam menyikapi kehidupan itu sendiri.

Orang-orang atheis menyebutnya sebagai peristiwa yang terjadi dengan sendirinya lewat seleksi alam secara evolutif. Sedangkan orang-orang beragama menyebutnya sebagai hasil ciptaan Tuhan. Yang satu menyebutnya by natural selection, yang lain menyebutnya sebagai by design. Pemikiran orang atheis diwakili oleh Richard Dawkins, sedangkan ‘pemikiran’ orang beragama masih berbeda-beda antara satu agama dengan agama lainnya, yang kemudian menjadikan perdebatan antara kedua kelompok theis-atheis ini menjadi bias.
Diantaranya, karena Dawkins tak bisa menghindar dari penyamarataan konsep by design itu, dengan mengambil mainstream penciptaan ala konsep Kristen, yang tentu saja berbeda dengan konsep Islam. Meskipun, dia sudah memberikan kata pengantar bahwa tuhan dalam berbagai agama adalah berbeda-beda. Karena itu, ketika pemikiran evolusi ala atheis itu disandingkan dengan konsep penciptaan dalam Islam, kita harus mendefinisikan kembali secara lebih khusus agar tidak memunculkan bias.

Secara garis besar, Dawkins menggunakan pendapat umum dalam teori evolusi Darwinian yang telah disesuaikan dengan perkembangan teori genetika. Bahwa makhluk hidup di planet Bumi ini terbentuk secara bertahap alias evolutif lewat mekanisme seleksi alam. Siapa yang bisa bertahan dari kondisi ekstrim, maka merekalah yang akan bisa tetap eksis di alam, hingga kini.

Tidak ada campur tangan dari ‘pihak lain’ dalam proses ini, karena campur tangan hanya akan menjadikan proses evolusi menjadi semakin kompleks, dan sulit dijelaskan secara ilmiah. Diantaranya ia memberikan argumentasi, jika makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan maka semestinya semua peristiwa berjalan dengan sempurna. Tidak ada yang terlahir cacat. Jika masih ada yang terlahir cacat, berarti Sang Desainer tidak Maha Sempurna. Bahkan tidak adil terhadap makhluk-Nya. Pada kenyataannya, beragam makhluk hidup di muka Bumi memiliki berbagai kondisi yang tak sempurna. Sehingga lebih cocok, semua realitas ini terbentuk secara natural lewat seleksi alam saja.

Tuhan tidak perlu ada dan terlibat di dalamnya. Meskipun, Dawkins tidak berani meniadakan sama sekali tentang kemungkinan adanya Tuhan. Sehingga di dalam bukunya The God Delusion, bab 4, ia hanya berani mengatakan ‘Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan’, sambil menyodorkan konsep munculnya kehidupan itu sebagai akibat dari proses seleksi alam murni.

Mirip dengan yang dikemukakan oleh Hawking dalam The Grand Design, Dawkins berusaha ‘menghindari kesulitan’ dalam menetapkan asumsi awal, agar konsep seleksi alamnya cocok dengan yang diharapkan. Menurutnya, keterlibatan Tuhan dalam seleksi alam hanya akan menimbulkan kompleksitas, maka dia pun menetapkan asumsi: sebaiknya tidak usah ada Tuhan saja dalam proses kemunculan makhluk hidup ini.

Itulah sebabnya, dia lantas berkesimpulan bahwa teori alam semesta tanpa Tuhan adalah lebih baik dibandingkan dengan teori penciptaan yang melibatkan Tuhan. Alasannya, manusia lebih suka yang sederhana daripada yang kompleks. Yang disebutnya sebagai metode ‘Pisau Cukur Ockham’.

Tentu saja, alasan semacam ini seharusnya tidak dijadikan dasar atau pijakan membuat kesimpulan yang pasti dalam menyikapi seleksi alam. Masa, hanya karena kita lebih suka yang sederhana dan menjauhi yang kompleks, lantas mengorbankan kebenaran realitas. Atau, setidak-tidaknya menghalangi upaya untuk menemukan kebenaran lebih tinggi.

Ini sangat berbeda dengan Kazuo Murakami, yang merupakan peneliti andal tanpa pretensi terselubung. Seorang peneliti sejati tidak akan memiliki mental seperti itu dalam menyikapi realitas. Kazuo Murakami tidak pernah menolak kompleksitas realitas yang dihadapinya. Bahkan malah menikmatinya. Karena dia berhadapan dengan fakta dan realitas yang memang demikian adanya. Dan itulah yang lantas membuatnya merasa kecil dan minder di hadapan alam semesta yang demikian dahsyat dengan segala kompleksitasnya.

Bisa kita bayangkan, jika para peneliti memiliki mental menghindari kompleksitas seperti yang dikemukakan oleh Dawkins, pemetaan genom di dalam genetika manusia mungkin tidak akan terjadi. Ada sekitar 3-4 miliar kode-kode genetika yang ditemukan di dalam inti sel tubuh manusia, yang semuanya membentuk komposisi sangat rumit dalam mengendalikan kehidupan, dan belum sepenuhnya dipahami mekanismenya.

Justru, kompleksitas itulah yang membuat jiwa Murakami bergetar, merasakan hadirnya Dzat yang Maha Agung di balik rumitnya realitas. Sehingga, menurutnya, tidak bisa tidak, mesti ada ‘Kecerdasan Super’ melampaui kecerdasan manusia mana pun, yang mengendalikan dan merancang alam semesta. Khususnya kode-kode genetika di dalam makhluk hidup, yang menjadi penyebab munculnya drama kehidupan yang jauh lebih kompleks lagi.

Di dalam buku The Selfish Gene, Dawkins juga berpendapat bahwa gen adalah kode-kode yang tidak bisa berubah. Yang bisa berubah itu adalah komposisi pasangannya, sehingga membentuk kromosom yang berbeda, dan lantas menghasilkan individu yang berbeda-beda pula. Gen bakal ada selamanya.

Berikut ini adalah ungkapan Dawkins dalam buku tersebut, yang berasumsi bahwa gen adalah satuan terkecil kehidupan yang tak bisa berubah:

“Individuals are not stable things, they are fleeting. Chromosomes too are shuffled to oblivion, like hands of cards soon after they are dealt. But the cards themselves survive the shuffling. The cards are the genes. The genes are not destroyed by crossing-over; they merely change partners and march on. Of course they march on. That is their business. They are the replicators and we are their survival machines. When we have served our purpose we are cast aside. But genes are denizens of geological time: genes are forever.”

“Individu-individu bukanlah sesuatu yang stabil, mereka terus berubah. Kromosom juga diacak sampai tak bisa diingat lagi, ibarat sekumpulan kartu yang telah dibagi-bagikan. Namun kartu-kartu itu sendiri tidak berubah oleh pengacakan. Kartu-kartu tersebut adalah gen. Gen tidak hancur melalui penyilangan. Gen hanya mengubah pasangannya dan akan terus ada. Tentu saja gen akan terus ada. Karena, itulah tugas mereka. Gen adalah replikator dan kita adalah mesin pertahanan hidupnya. Ketika kita telah menunaikan tugas, kita dikesampingkan. Namun gen merupakan penghuni waktu geologis: gen akan ada selamanya.”

Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan, bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas, sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil tubuh manusia itu.

Ibarat sebuah buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM. Isinya ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromoson itu ada ribuan cerita, yang disebut sebagai GEN.

Di dalam gen ada paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang disebut BASA.

Nah, huruf-huruf yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga. Dan mengganggu proses kehidupan sel.

Akan terjadi penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan penyimpangan genetika. Jadi genetika bukanlah unit terkecil kehidupan. Karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka, tetapi berisi sistem informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel.

Tentu saja ini sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak punya tujuan. Sehingga, proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter fisik maupun perilakunya.

Disinilah saya memberikan kritik atas kesimpulan Dawkins bahwa kehidupan bisa muncul dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan sesuatu di luar sel. Ada missing link yang tidak bisa dijelaskan, saat peralihan dari molekul-molekul yang ‘benda mati’ itu menjadi unit terkecil kehidupan yang disebut sel.

Dawkins tidak ingin memperoleh kesulitan atau kerumitan di level yang lebih kecil dari genetika. Sehingga meletakkan asumsinya disini. Bahwa genetika adalah sesuatu yang abadi, dan tak berubah. Karena yang berubah itu cuma level-level setelah gen yang disebut sebagai kromosom dan individu-individu.

Dia mengansumsikan gen sebagai unit terkecil kehidupan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Atau, digali lagi. Padahal, kalau kita gali lagi, masalahnya akan menjadi rumit dan kompleks, sebagaimana dihadapi oleh Kazuo Murakami.

Kok bisa-bisanya, molekul-molekul yang benda mati itu berkehendak dan mengeluarkan perintah yang sedemikian sistematis dan terstruktur, untuk mempertahankan kehidupan sel. Dia mesti melakukan proses metabolisme, mesti menyediakan energi kelistrikan agar proses biokimiawi itu terjadi, mesti menyaring bahan-bahan baku dari luar sel yang tidak bersifat meracuni sel, dan sebagainya. Dan kemudian, sel-sel itu bisa mereplikasi dirinya, sehingga berkembang biak bertambah banyak.

Dan bukan main, jumlah kode-kode genetika di dalam genom kita itu lebih dari 3 miliar, yang berkolaborasi membentuk sistem informasi yang sangat canggih. Yang menyebabkan seluruh proses biokimiawi dalam makhluk hidup bisa berjalan secara berkesinambungan. Sehingga ada dinamika kromosom dan individu-individu yang terlihat seperti mengalami seleksi alam.

Padahal, kuncinya bukan pada faktor eksternal makhluk hidup itu, melainkan berada pada sistem genetika, di internal makhluk hidup itu sendiri. Sehebat apa pun seleksi alam yang muncul di eksternal, jika sistem genetika di internalnya tidak memiliki sistem informasi yang cerdas, sel itu tidak akan bisa bertahan hidup. Ada sustainable mechanism yang luar biasa canggih di dalamnya.

Dawkins tidak mau ‘ribet’ memasuki area ini, karena dia bakal bertemu ‘Kecerdasan Super’ yang sangat menakjubkan, tetapi menyulitkannya. Karena ia lantas tidak bisa berkesimpulan bahwa ‘makhluk hidup muncul dengan sendirinya tanpa ada campur tangan Tuhan’.

Ya, dia telah memutuskan untuk berhenti saja pada skala gen yang sudah dianggapnya memiliki ‘kecerdasan bawaan’ dari sono-nya. Sudah given, dan bawaan alam. Oke, boleh saja. Itu adalah sebuah pilihan, agar kesimpulannya sesuai dengan yang diprediksikannya.

Tetapi, tentu saja tidak fair kalau kesimpulan semacam ini lantas digeneralisasikan sebagai ‘kebenaran’ dan ‘fakta ilmiah’ bahwa makhluk hidup memang bisa memunculkan dirinya sendiri. Dan kemudian menganggap semua yang berbeda dari kesimpulannya sebagai tidak ilmiah. Karena sesungguhnya dia telah berlaku unfair dengan meletakkan asumsi yang bersifat ‘pesanan’ itu dalam skala genetika, demi menghindari ‘Kompleksitas’ yang berada diluar jangkauan kemampuannya. Padahal di kompleksitas itulah sebenarnya ia berpotensi untuk ‘bertemu’ dengan Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu..!

QS. Al An'aam (6): 95
Sesungguhnya Allah-lah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang) demikian itu adalah Allah. Maka mengapa kamu masih berpaling (tak mengakui-Nya)?


~ wallahu a'lam bishshawab ~
Agus Mustofa

0 komentar:

Posting Komentar