Misteri besar lainnya yang menyelimuti kehidupan
manusia adalah tentang munculnya makhluk hidup di planet Bumi. Sebuah drama kolosal yang sangat
menakjubkan, sehingga muncullah berbagai kisah hidup yang mengharu biru jiwa
kita. Termasuk munculnya pro-kontra dalam menyikapi kehidupan itu sendiri.
Orang-orang atheis menyebutnya sebagai peristiwa
yang terjadi dengan sendirinya lewat seleksi alam secara evolutif. Sedangkan
orang-orang beragama menyebutnya sebagai hasil ciptaan Tuhan. Yang satu menyebutnya by natural
selection, yang lain menyebutnya sebagai by design. Pemikiran orang atheis diwakili oleh Richard Dawkins, sedangkan ‘pemikiran’ orang beragama
masih berbeda-beda antara satu agama dengan agama lainnya, yang kemudian
menjadikan perdebatan antara kedua kelompok theis-atheis ini menjadi bias.
Diantaranya,
karena Dawkins tak bisa menghindar dari penyamarataan konsep by design itu,
dengan mengambil mainstream penciptaan ala konsep Kristen, yang tentu saja
berbeda dengan konsep Islam. Meskipun, dia sudah memberikan kata pengantar
bahwa tuhan dalam berbagai agama adalah berbeda-beda. Karena itu, ketika
pemikiran evolusi ala atheis itu disandingkan dengan konsep penciptaan dalam
Islam, kita harus mendefinisikan kembali secara lebih khusus agar tidak memunculkan
bias.
Secara garis besar, Dawkins menggunakan pendapat
umum dalam teori evolusi Darwinian yang telah disesuaikan dengan perkembangan
teori genetika. Bahwa
makhluk hidup di planet Bumi ini terbentuk secara bertahap alias evolutif lewat
mekanisme seleksi alam. Siapa yang bisa bertahan dari kondisi ekstrim, maka
merekalah yang akan bisa tetap eksis di alam, hingga kini.
Tidak ada campur
tangan dari ‘pihak lain’ dalam proses ini, karena campur tangan hanya akan
menjadikan proses evolusi menjadi semakin kompleks, dan sulit dijelaskan secara
ilmiah. Diantaranya ia memberikan argumentasi, jika makhluk hidup diciptakan
oleh Tuhan maka semestinya semua peristiwa berjalan dengan sempurna. Tidak ada
yang terlahir cacat. Jika masih ada yang terlahir cacat, berarti Sang Desainer
tidak Maha Sempurna. Bahkan tidak adil terhadap makhluk-Nya. Pada
kenyataannya, beragam makhluk hidup di muka Bumi memiliki berbagai kondisi yang
tak sempurna. Sehingga lebih cocok, semua realitas ini terbentuk secara
natural lewat seleksi alam saja.
Tuhan tidak perlu
ada dan terlibat di dalamnya. Meskipun, Dawkins tidak berani meniadakan sama
sekali tentang kemungkinan adanya Tuhan. Sehingga di dalam bukunya The God
Delusion, bab 4, ia hanya berani mengatakan ‘Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan’,
sambil menyodorkan konsep munculnya kehidupan itu sebagai akibat dari proses
seleksi alam murni.
Mirip dengan yang
dikemukakan oleh Hawking dalam The Grand Design, Dawkins berusaha ‘menghindari
kesulitan’ dalam menetapkan asumsi awal, agar konsep seleksi alamnya cocok
dengan yang diharapkan. Menurutnya, keterlibatan Tuhan dalam seleksi alam hanya
akan menimbulkan kompleksitas, maka dia pun menetapkan asumsi: sebaiknya tidak
usah ada Tuhan saja dalam proses kemunculan makhluk hidup ini.
Itulah sebabnya,
dia lantas berkesimpulan bahwa teori alam semesta tanpa Tuhan adalah lebih baik
dibandingkan dengan teori penciptaan yang melibatkan Tuhan. Alasannya, manusia
lebih suka yang sederhana daripada yang kompleks. Yang disebutnya sebagai
metode ‘Pisau Cukur Ockham’.
Tentu saja,
alasan semacam ini seharusnya tidak dijadikan dasar atau pijakan membuat
kesimpulan yang pasti dalam menyikapi seleksi alam. Masa, hanya karena kita
lebih suka yang sederhana dan menjauhi yang kompleks, lantas mengorbankan
kebenaran realitas. Atau, setidak-tidaknya menghalangi upaya untuk menemukan
kebenaran lebih tinggi.
Ini sangat berbeda dengan Kazuo Murakami, yang merupakan peneliti andal tanpa
pretensi terselubung. Seorang peneliti sejati tidak akan memiliki mental
seperti itu dalam menyikapi realitas. Kazuo Murakami tidak pernah
menolak kompleksitas realitas yang dihadapinya. Bahkan malah menikmatinya.
Karena dia berhadapan dengan fakta dan realitas yang memang demikian adanya. Dan itulah yang lantas membuatnya merasa
kecil dan minder di hadapan alam semesta yang demikian dahsyat dengan segala
kompleksitasnya.
Bisa kita
bayangkan, jika para peneliti memiliki mental menghindari kompleksitas seperti
yang dikemukakan oleh Dawkins, pemetaan genom di dalam genetika manusia mungkin
tidak akan terjadi. Ada sekitar 3-4 miliar kode-kode genetika
yang ditemukan di dalam inti sel tubuh manusia, yang semuanya membentuk
komposisi sangat rumit dalam mengendalikan kehidupan, dan belum sepenuhnya
dipahami mekanismenya.
Justru, kompleksitas itulah yang membuat jiwa
Murakami bergetar, merasakan hadirnya Dzat yang Maha Agung di balik rumitnya
realitas. Sehingga,
menurutnya, tidak bisa tidak, mesti ada ‘Kecerdasan Super’ melampaui kecerdasan
manusia mana pun, yang mengendalikan dan merancang alam semesta. Khususnya
kode-kode genetika di dalam makhluk hidup, yang menjadi penyebab munculnya
drama kehidupan yang jauh lebih kompleks lagi.
Di dalam buku The Selfish Gene, Dawkins juga
berpendapat bahwa gen adalah kode-kode yang tidak bisa berubah. Yang bisa
berubah itu adalah komposisi pasangannya, sehingga membentuk kromosom yang
berbeda, dan lantas menghasilkan individu yang berbeda-beda pula. Gen bakal ada
selamanya.
Berikut ini
adalah ungkapan Dawkins dalam buku tersebut, yang berasumsi bahwa gen adalah
satuan terkecil kehidupan yang tak bisa berubah:
“Individuals are
not stable things, they are fleeting. Chromosomes too are shuffled to oblivion,
like hands of cards soon after they are dealt. But the cards themselves survive
the shuffling. The cards are the genes. The genes are not destroyed by
crossing-over; they merely change partners and march on. Of course they march
on. That is their business. They are the replicators and we are their survival
machines. When we have served our purpose we are cast aside. But genes are
denizens of geological time: genes are forever.”
“Individu-individu
bukanlah sesuatu yang stabil, mereka terus berubah. Kromosom juga diacak sampai
tak bisa diingat lagi, ibarat sekumpulan kartu yang telah dibagi-bagikan. Namun
kartu-kartu itu sendiri tidak berubah oleh pengacakan. Kartu-kartu tersebut
adalah gen. Gen tidak hancur melalui penyilangan. Gen hanya mengubah
pasangannya dan akan terus ada. Tentu saja gen akan terus ada. Karena, itulah
tugas mereka. Gen adalah replikator dan kita adalah mesin pertahanan hidupnya.
Ketika kita telah menunaikan tugas, kita dikesampingkan. Namun gen merupakan
penghuni waktu geologis: gen akan ada selamanya.”
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan, bahwa
gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai
unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas, sehingga
membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa
memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup
karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul proses-proses
biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil tubuh
manusia itu.
Ibarat sebuah
buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik
yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM. Isinya
ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromoson itu ada ribuan
cerita, yang disebut sebagai GEN.
Di dalam gen ada
paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak
terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata
yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang
disebut BASA.
Nah, huruf-huruf
yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa
Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf
A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi
paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku
cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode
itu tentu akan bermasalah juga. Dan mengganggu proses kehidupan sel.
Akan terjadi
penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan
penyimpangan genetika. Jadi genetika bukanlah unit terkecil
kehidupan. Karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa
melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan genetikanya adalah
sekumpulan ‘benda mati’ belaka, tetapi berisi sistem informasi yang sangat
canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel.
Tentu saja ini
sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak
punya tujuan. Sehingga, proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias
acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih kompleks
‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian
memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku cerita’
yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter fisik
maupun perilakunya.
Disinilah saya memberikan kritik atas kesimpulan
Dawkins bahwa kehidupan bisa muncul dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan
sesuatu di luar sel.
Ada missing link yang tidak bisa dijelaskan, saat peralihan dari
molekul-molekul yang ‘benda mati’ itu menjadi unit terkecil kehidupan yang
disebut sel.
Dawkins tidak
ingin memperoleh kesulitan atau kerumitan di level yang lebih kecil dari
genetika. Sehingga meletakkan asumsinya disini. Bahwa genetika adalah sesuatu
yang abadi, dan tak berubah. Karena yang berubah itu cuma level-level setelah
gen yang disebut sebagai kromosom dan individu-individu.
Dia
mengansumsikan gen sebagai unit terkecil kehidupan yang tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Atau,
digali lagi. Padahal, kalau kita gali lagi, masalahnya akan menjadi rumit dan
kompleks, sebagaimana dihadapi oleh Kazuo Murakami.
Kok bisa-bisanya,
molekul-molekul yang benda mati itu berkehendak dan mengeluarkan perintah yang
sedemikian sistematis dan terstruktur, untuk mempertahankan kehidupan sel. Dia
mesti melakukan proses metabolisme, mesti menyediakan energi kelistrikan agar
proses biokimiawi itu terjadi, mesti menyaring bahan-bahan baku dari luar sel
yang tidak bersifat meracuni sel, dan sebagainya. Dan kemudian, sel-sel itu
bisa mereplikasi dirinya, sehingga berkembang biak bertambah banyak.
Dan bukan main,
jumlah kode-kode genetika di dalam genom kita itu lebih dari 3 miliar, yang
berkolaborasi membentuk sistem informasi yang sangat canggih. Yang menyebabkan
seluruh proses biokimiawi dalam makhluk hidup bisa berjalan secara
berkesinambungan. Sehingga ada dinamika kromosom dan individu-individu yang
terlihat seperti mengalami seleksi alam.
Padahal, kuncinya bukan pada faktor eksternal
makhluk hidup itu, melainkan berada pada sistem genetika, di internal makhluk
hidup itu sendiri.
Sehebat apa pun seleksi alam yang muncul di eksternal, jika sistem genetika di
internalnya tidak memiliki sistem informasi yang cerdas, sel itu tidak akan
bisa bertahan hidup. Ada
sustainable mechanism yang luar biasa canggih di dalamnya.
Dawkins tidak mau
‘ribet’ memasuki area ini, karena dia bakal bertemu ‘Kecerdasan Super’ yang
sangat menakjubkan, tetapi menyulitkannya. Karena ia lantas tidak bisa
berkesimpulan bahwa ‘makhluk hidup muncul dengan sendirinya tanpa ada campur
tangan Tuhan’.
Ya, dia telah
memutuskan untuk berhenti saja pada skala gen yang sudah dianggapnya memiliki
‘kecerdasan bawaan’ dari sono-nya. Sudah given, dan bawaan alam. Oke, boleh
saja. Itu adalah sebuah pilihan, agar kesimpulannya sesuai dengan yang
diprediksikannya.
Tetapi, tentu
saja tidak fair kalau kesimpulan semacam ini lantas digeneralisasikan sebagai
‘kebenaran’ dan ‘fakta ilmiah’ bahwa makhluk hidup memang bisa memunculkan
dirinya sendiri. Dan kemudian menganggap semua yang berbeda dari kesimpulannya
sebagai tidak ilmiah. Karena sesungguhnya dia telah berlaku unfair dengan
meletakkan asumsi yang bersifat ‘pesanan’ itu dalam skala genetika, demi
menghindari ‘Kompleksitas’ yang berada diluar jangkauan kemampuannya. Padahal
di kompleksitas itulah sebenarnya ia berpotensi untuk ‘bertemu’ dengan Allah,
Tuhan Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu..!
QS. Al An'aam (6): 95
Sesungguhnya
Allah-lah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup. (Yang) demikian itu adalah Allah. Maka mengapa kamu masih berpaling (tak
mengakui-Nya)?
~ wallahu a'lam
bishshawab ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar