Tak jauh beda
dengan kasus pertama, pemahaman manusia terhadap energi mengalami perkembangan
menuju substansi yang penuh misteri.
Awalnya, manusia hanya merasakan keberadaan
‘kekuatan’ yang berada di balik setiap benda dan peristiwa. Bahwa benda-benda itu bisa bergerak
dan berdinamika karena adanya dorongan kekuatan pada benda itu. Maka, para
peneliti pun mengeksplorasi sumber-sumber energi.
Mulai dari yang
paling sederhana, seperti energi yang terjadi pada benda yang sedang bergerak. Bahwa setiap yang bergerak ternyata menghasilkan tenaga, meskipun ia juga
membutuhkan tenaga. Misalnya,
kuda yang berlari akan menghasilkan tenaga, tapi ia juga mesti diberi sumber
tenaga berupa makanan. Kalau tidak diberi makanan, maka kuda itu pun tidak akan
mempunyai tenaga gerak.
Dari tenaga yang
diberi nama energi mekanik ini kemudian merambah ke segala jenis gerakan benda
di sekitar kita, di alam semesta. Manusia mempelajari berbagai gerakan
benda-benda langit di alam makro, dan kemudian juga mengamati gerakan-gerakan partikel
di alam mikro, yang lantas memunculkan teori-teori energi yang semakin kompleks. Seperti energi kimiawi, energi
listrik, energi magnetik, energi nuklir, dan energi gravitasi.
Secara umum, energi-energi itu lantas
dikelompokkan menjadi empat energi dasar alam semesta yang kita kenal sebagai
energi elektromagnetik, energi gravitasi, energi nuklir kuat, dan energi nuklir
lemah. Energi-energi
itu lantas menghasilkan gaya-gaya yang sesuai dengan energi penggeraknya, yakni
gaya elektromagnetik, gaya gavitasi, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah.
Dari manakah semua gaya itu bermunculan? Kenapa kok bisa ada energi yang
menghasilkan gaya yang menggerakkan dinamika alam semesta? Sebab, tanpa adanya
gaya-gaya itu, alam semesta ini sudah runtuh, tak sempat terbentuk.
Tidak akan ada
kuda yang berlarian. Tidak ada gajah, macan, kijang, dan binatang-binatang yang
berkejaran. Tidak ada burung-burung yang berkicau. Tidak ada suara angin, ombak,
dan hujan. Tidak ada kehidupan. Tidak ada gerakan. Tidak ada dinamika.
Bahkan tidak
ada benda, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada apa-apa. Karena, semua
itu terbentuk oleh dinamika materi yang digerakkan oleh energi. Jadi energi adalah daya
gerak yang membuat alam semesta dengan segala peristiwanya ini terbentuk. Tanpa
adanya energi itu nothing would exist.
Jangankan di
skala makrokosmos, di skala mikro pun tidak akan ada partikel yang terbentuk.
Padahal kalau tidak ada partikel, berarti tidak ada atom, tidak ada molekul,
dan tidak ada benda apa pun. Sehingga planet-planet, matahari, galaksi, dan
benda-benda langit tidak akan pernah ada.
Dari manakah energi itu bersumber, dan faktor apa
yang menyebabkannya menyumber atau bergerak? Karena tanpa ada inisiatif awal, energi benda
akan tetap tersimpan sebagai energi potensial yang tak menghasilkan gerakan.
Memang, setiap kali ada materi, di dalamnya tersimpan energi. Tapi, sekali
lagi, ia hanya akan tersimpan sebagai potensi. Dan baru akan berdinamika ketika
ada yang memunculkan ketidakseimbangan awal.
Boleh saja Stephen Hawking mengasumsikan seluruh
dinamika alam semesta itu disebabkan oleh adanya ‘fluktuasi kuantum’, yang
secara acak lantas menggerakkan dinamika alam. Tetapi asumsi itu secara ilmiah
cacat, karena hanya bersifat ‘pesanan’ agar hasilnya tidak memunculkan ‘faktor
Tuhan’. Atau,
setidak-tidaknya ‘kurang ilmiah’, karena sudah berbekal ‘keimanan’ dan
‘harapan’ dalam menentukan asumsi. Menolak eksistensi Tuhan yang dianggap
‘tidak ilmiah’, dengan asumsi yang tidak ilmiah.
Lha wong ketika
ditanya, dari mana atau apa yang menyebabkan terjadinya ‘fluktuasi kuantum’
itu, dia tidak bisa menjawab secara lugas, kecuali hanya mengatakan itu sebagai
efek keseimbangan hukum gravitasi yang sudah menjadi sifat alam semesta.
Lagi-lagi dia mengandalkan ‘keimanan’.
Padahal kita
tahu, gravitasi baru akan ada jika ada materi yang bermassa. Dan materi itu
tidak bisa muncul dengan sendirinya kalau tidak ada inisiatif awal yang
memunculkannya. Hawking, menghindari pertanyaan sulit ini dan tidak mau masuk
ke dalamnya. Lantas, mendefinisikan alam semesta sebagai sekedar ruang dan
waktu tanpa mengutak-atik variabel materi dan energi. Tentu saja hasilnya sudah
bisa ditebak..!
Begitulah proses
yang terjadi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sebenarnya ‘cacat bawaan’. Jika
dikejar terus, para atheis akan menjadi reaktif dan kemudian mengatakan kepada
orang-orang beragama sebagai memaksa mereka untuk mengakui keberadaan Tuhan.
“Setiap tidak bisa menjawab fenomena alam, orang beragama selalu
menyodorkan peran Tuhan. Dan selesai. Itulah yang menyebabkan umat beragama
menjadi bodoh. Yang semestinya dilakukan adalah ini: lets do better science -
mari belajar sains lebih baik, agar menemukan jawabannya”.
Ungkapan di atas
adalah alasan klise untuk menghindari faktor Tuhan. Padahal jawaban semacam itu
sudah diulang-ulang sejak dulu, tanpa menemukan ujung pangkalnya. Dan sains memang tidak pernah menemukan jawaban
tuntas atas misteri di balik realitas alam semesta. Apalagi, jika jawaban itu dikombinasikan dengan
skeptisisme yang ada pada kalangan atheis. Hasilnya sudah bisa ditebak, mereka
tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena mereka memang ‘tidak ingin’ bertemu
Tuhan.
Sampai di sini sebenarnya sudah jelas persoalannya
bahwa menjadi atheis atau theis itu sebenarnya adalah sebuah pilihan, tanpa
harus menjadikan alasan ilmiah sebagai senjata pembenar. Orang-orang yang skeptis menjadi penganut
ateisme bukan karena mereka memperoleh kesimpulan valid atas tidak adanya
Tuhan, melainkan karena mereka telah memilih untuk menjadi atheis. Sama saja
bagi mereka, ada bukti atau tidak, mereka tetap saja tidak bertuhan.
QS. Al Baqarah (2): 6
Sesungguhnya
orang-orang yang ingkar, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak
kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
~ wallahu a'lam bishshawab ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar