KASUS KEDUA: Substansi Energi.


Tak jauh beda dengan kasus pertama, pemahaman manusia terhadap energi mengalami perkembangan menuju substansi yang penuh misteri.

Awalnya, manusia hanya merasakan keberadaan ‘kekuatan’ yang berada di balik setiap benda dan peristiwa. Bahwa benda-benda itu bisa bergerak dan berdinamika karena adanya dorongan kekuatan pada benda itu. Maka, para peneliti pun mengeksplorasi sumber-sumber energi.

Mulai dari yang paling sederhana, seperti energi yang terjadi pada benda yang sedang bergerak. Bahwa setiap yang bergerak ternyata menghasilkan tenaga, meskipun ia juga membutuhkan tenaga. Misalnya, kuda yang berlari akan menghasilkan tenaga, tapi ia juga mesti diberi sumber tenaga berupa makanan. Kalau tidak diberi makanan, maka kuda itu pun tidak akan mempunyai tenaga gerak.

Dari tenaga yang diberi nama energi mekanik ini kemudian merambah ke segala jenis gerakan benda di sekitar kita, di alam semesta. Manusia mempelajari berbagai gerakan benda-benda langit di alam makro, dan kemudian juga mengamati gerakan-gerakan partikel di alam mikro, yang lantas memunculkan teori-teori energi yang semakin kompleks. Seperti energi kimiawi, energi listrik, energi magnetik, energi nuklir, dan energi gravitasi.

Secara umum, energi-energi itu lantas dikelompokkan menjadi empat energi dasar alam semesta yang kita kenal sebagai energi elektromagnetik, energi gravitasi, energi nuklir kuat, dan energi nuklir lemah. Energi-energi itu lantas menghasilkan gaya-gaya yang sesuai dengan energi penggeraknya, yakni gaya elektromagnetik, gaya gavitasi, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah.

Dari manakah semua gaya itu bermunculan? Kenapa kok bisa ada energi yang menghasilkan gaya yang menggerakkan dinamika alam semesta? Sebab, tanpa adanya gaya-gaya itu, alam semesta ini sudah runtuh, tak sempat terbentuk.

Tidak akan ada kuda yang berlarian. Tidak ada gajah, macan, kijang, dan binatang-binatang yang berkejaran. Tidak ada burung-burung yang berkicau. Tidak ada suara angin, ombak, dan hujan. Tidak ada kehidupan. Tidak ada gerakan. Tidak ada dinamika.

Bahkan tidak ada benda, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada apa-apa. Karena, semua itu terbentuk oleh dinamika materi yang digerakkan oleh energi. Jadi energi adalah daya gerak yang membuat alam semesta dengan segala peristiwanya ini terbentuk. Tanpa adanya energi itu nothing would exist.

Jangankan di skala makrokosmos, di skala mikro pun tidak akan ada partikel yang terbentuk. Padahal kalau tidak ada partikel, berarti tidak ada atom, tidak ada molekul, dan tidak ada benda apa pun. Sehingga planet-planet, matahari, galaksi, dan benda-benda langit tidak akan pernah ada.

Dari manakah energi itu bersumber, dan faktor apa yang menyebabkannya menyumber atau bergerak? Karena tanpa ada inisiatif awal, energi benda akan tetap tersimpan sebagai energi potensial yang tak menghasilkan gerakan. Memang, setiap kali ada materi, di dalamnya tersimpan energi. Tapi, sekali lagi, ia hanya akan tersimpan sebagai potensi. Dan baru akan berdinamika ketika ada yang memunculkan ketidakseimbangan awal.

Boleh saja Stephen Hawking mengasumsikan seluruh dinamika alam semesta itu disebabkan oleh adanya ‘fluktuasi kuantum’, yang secara acak lantas menggerakkan dinamika alam. Tetapi asumsi itu secara ilmiah cacat, karena hanya bersifat ‘pesanan’ agar hasilnya tidak memunculkan ‘faktor Tuhan’. Atau, setidak-tidaknya ‘kurang ilmiah’, karena sudah berbekal ‘keimanan’ dan ‘harapan’ dalam menentukan asumsi. Menolak eksistensi Tuhan yang dianggap ‘tidak ilmiah’, dengan asumsi yang tidak ilmiah.

Lha wong ketika ditanya, dari mana atau apa yang menyebabkan terjadinya ‘fluktuasi kuantum’ itu, dia tidak bisa menjawab secara lugas, kecuali hanya mengatakan itu sebagai efek keseimbangan hukum gravitasi yang sudah menjadi sifat alam semesta. Lagi-lagi dia mengandalkan ‘keimanan’.

Padahal kita tahu, gravitasi baru akan ada jika ada materi yang bermassa. Dan materi itu tidak bisa muncul dengan sendirinya kalau tidak ada inisiatif awal yang memunculkannya. Hawking, menghindari pertanyaan sulit ini dan tidak mau masuk ke dalamnya. Lantas, mendefinisikan alam semesta sebagai sekedar ruang dan waktu tanpa mengutak-atik variabel materi dan energi. Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak..!

Begitulah proses yang terjadi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sebenarnya ‘cacat bawaan’. Jika dikejar terus, para atheis akan menjadi reaktif dan kemudian mengatakan kepada orang-orang beragama sebagai memaksa mereka untuk mengakui keberadaan Tuhan. “Setiap tidak bisa menjawab fenomena alam, orang beragama selalu menyodorkan peran Tuhan. Dan selesai. Itulah yang menyebabkan umat beragama menjadi bodoh. Yang semestinya dilakukan adalah ini: lets do better science - mari belajar sains lebih baik, agar menemukan jawabannya”.

Ungkapan di atas adalah alasan klise untuk menghindari faktor Tuhan. Padahal jawaban semacam itu sudah diulang-ulang sejak dulu, tanpa menemukan ujung pangkalnya. Dan sains memang tidak pernah menemukan jawaban tuntas atas misteri di balik realitas alam semesta. Apalagi, jika jawaban itu dikombinasikan dengan skeptisisme yang ada pada kalangan atheis. Hasilnya sudah bisa ditebak, mereka tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena mereka memang ‘tidak ingin’ bertemu Tuhan.

Sampai di sini sebenarnya sudah jelas persoalannya bahwa menjadi atheis atau theis itu sebenarnya adalah sebuah pilihan, tanpa harus menjadikan alasan ilmiah sebagai senjata pembenar. Orang-orang yang skeptis menjadi penganut ateisme bukan karena mereka memperoleh kesimpulan valid atas tidak adanya Tuhan, melainkan karena mereka telah memilih untuk menjadi atheis. Sama saja bagi mereka, ada bukti atau tidak, mereka tetap saja tidak bertuhan.

QS. Al Baqarah (2): 6

Sesungguhnya orang-orang yang ingkar, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.


 ~ wallahu a'lam bishshawab ~
Agus Mustofa

0 komentar:

Posting Komentar