Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui proses yang disebut inzal,
yaitu proses perwujudan Al-Qur’an dengan cara: Allah mengajarkan kepada
Malaikat Jibril, kemudian Malaikat Jibril (atas izin Allah) menyampaikan kepada
Nabi Muhammad.
Pembahasan mengenai turunnya Al-Qur’an
diantaranya merujuk pada :
- Qs.
Al-Waqiah, 56 : 80, “Ialah Al-Qur’an yang mulia, di lauh mahfudz’
- Qs.Al-Baqarah,
2 : 185 “Bulan Ramadhan yang di dalamnya Al Qur’an diturunkan”
- Qs.Al-Qadr,
97 : 1, “Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada malam
kemuliaan”.
Terhadap kenyataan berangsurnya Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad yang memakan waktu kurang lebih 23 tahun
digunakan istilah : tanzil, telah memunculkan konsep teks eternal (azali) di
lauh Mahfudz. Al-Qur’an telah dianggap ada secara utuh pada masa azali, yang
kemudian diturunkan secara sekaligus dari lauh mahfudz ke langit dunia pada
malam ketentuan/ lailatul qadar.
Kemudian diturunkan secara bertahap
sebagai respon atas realitas dan faktor penyebab (asbab an-nuzul) yang
dimulai pada satu malam di bulan Ramadhan. Sebagian besar ulama menerangkan
bahwa malam tersebut adalah malam ke 17 di bulan Ramadhan.
Menjelajah belantara hipotesis tentang
konsep teks eternal yang dilakukan para ulama berkisar proses Al-Qur’an
pra duniawi merupakan jelajahan yang rumit. Ruang pertanyaan atas hikmah penurunan
Al-Qur’an sekaligus ke langit dunia dan waktu kejadiannya apakah penurunan itu
sebelum atau sesudah kenabian, berujung pada pada jawaban-jawaban spekulatif.
Hal inilah sangatlah dimaklumi, karena Al-Qur’an tidak menjelaskan kerangkanya.
Al-Qur’an
lebih banyak bertutur tentang kerangka duniawi dari proses penurunannya yang
antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang lafalnya berbahasa Arab sebagai konteks sosiologis
diturunkannya Al-Qur’an (Asy-Syu’ara, 26 : 192-195)
- Jibril
telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah Saw. (Qs.Thaha, 20 : 4)
- Turunnya
Al-Qur’an ke langit dunia (Qs.Al-Qadr, 97 : 1)
- Hikmah
individual (bagi Nabi Muhammad Saw. sebagai penerima wahyu) (Qs.Al-Furqan,
25 : 32)
- Hikmah
pembelajaran bagi kaum Muslim (Qs.Al Isra, 17 : 106)
Fakta empirik berkaitan dengan sejarah
Al-Qur’an menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Hal
ini telah melahirkan penolakan di kalangan kaum musyrik Mekah.
Mereka menginginkan kitab yang ‘matang’. Mereka meminta kepada Nabi Muhammad
untuk menurunkan kitab dari langit, selain mukjizat-mukjizat lainnya.
Pertanyaan atau lebih tepatnya penolakan
ini muncul karena mereka memiliki konsep mengenai kitab-kitab sebelumnya yang
diturunkan kepada para nabi Bani Israel, bahwa kitab tersebut diturunkan secara
lengkap dan terbukukan sebagaimana diturunkannya ‘lauh’ / lempeng ajaran kepada
Nabi Musa as. Sikap mereka menolak model penurunan bertahap tersebut merupakan
gambaran keraguan terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur pada konteks realita kemanusiaan menunjukkan dan menyingkapkan
hubungan dialogis dan dialektis antara teks Al-Qur’an (ayat atau sejumlah ayat)
dengan realitas.
Proses seperti itu juga menunjukkan
bahwa Allah melalui teks Al-Qur’an kerap melakukan respon atas fenomena
manusiawi. Proses ini dapat ditangkap dari adanya peristiwa-peristiwa yang
mendahului teks (asbab an-nuzul) atau pertanyaan-pertanyan yang kemudian
dijawab dengan turunnya ayat.
Disamping itu pengangsuran Al-Qur’an itu
juga menunjukkan “strategi marketing” yang handal untuk digunakan di tengah
masyarakat yang berkarakter lisan sehingga tidak masuk akal apabila kitab yang
sedemikian panjang itu diberikan sekaligus.
Pemantapan
hati yang disinggung dalam surah Al-Furqan, 25 : 32
“Dan
berkatalah orang-orang kafir : “ mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan
kepadanya (muhammad) sekaligus saja?. Demikianlah supaya kami perkuat hatimu
dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”.
Memahami ayat itu lebih dalam,
mengindikasikan bahwa kondisi ‘penerima’ / Nabi Muhammad ikut dipertimbangkan.
Sebab proses komunikasi wahyu amat sulit baginya. Paling tidak pada awal proses
pewahyuan. Dalam persfektif personal Az Zarkasyi menuturkan :
“Oleh karena Nabi Muhammad seorang ummi,
tidak dapat baca tulis, maka wahyu diturunkan secara bertahap agar mudah
baginya untuk menghafal. Ini berbeda dengan nabi-nabi lainnya, sebab mereka
dapat membaca dan menulis, sehingga dimungkinkan bagi mereka untuk menghafal
semuanya meski diturunkan sekaligus”
Manna’ khalil Qattan dalam kitabnya Mabahis
fi ‘Ulumil-Quran telah merangkai hikmah dibalik turunnya Al-Qur’an secara
berangsur diantaranya dengan mengemukakan sebuah ayat yang menegaskan masalah
ini yaitu Qs. Al-Furqan, 25 : 32
Menilik
rangkaian di atas, hikmah diturunkan Al-Qur’an secara bertahap :
- Untuk
menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah Saw.
- Untuk
memberikan jawaban atas tantangan dan membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an.
- Untuk
mempermudah penghafalan dan pemahaman.
- Pentahapan
dalam penerapan hukum
- Sebagai
bukti bahwa Al-Qur’an bersumber dari Allah Swt. Meskipun rangkaian
ayat-ayatnya turun selama kurun 23 tahun, namun kandungannya tetap
konsisten secara keseluruhan.
Dan, kini kita berhadapan dengan
Al-Qur’an yang telah men-jilid. Satu kesatuan utuh yang terpelihara karena
kolaborasi ‘rencana’ Allah Swt. dan upaya umat Islam untuk menjaga satu-satunya
elemen rukun iman yang nampak.
Dari sisi peradaban umat Islam, kita
juga telah menikmati hikmah dari berangsurnya Al-Qur’an diantaranya berupa
konstruksi hukum Islam yang dibangun dengan fondasi pemahaman atas watak
dialogis Al-Qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar