Kaya Tetapi Papa


Ahmad Syafi'i Ma'arif 
ROL, Selasa, 02 Juli 2013

Tujuannya bukan untuk meratapi keadaan yang pilu dan tragis yang menimpa dunia Islam dalam kurun yang panjang. Bukan pula untuk memperpanjang pesimisme, karena sejarah belum juga berpihak kepada umat yang papa ini, padahal doa untuk perbaikan telah disampaikan kepada Allah siang dan malam, hampir tanpa jeda. Apakah Allah masih "marah" kepada umat yang belum juga sadar akan tugas sejarahnya ini, sehingga doa masih menggantung tinggi di alam gaib? Tak seorang pun yang dapat memberi jawaban pasti terhadap pertanyaan ini, apalagi penulis "Resonansi" ini.

Tujuan artikel ini adalah untuk membangun kesadaran, membangkitkan optimisme, di tengah-tengah dunia Islam yang masih galau dan tak percaya diri, terutama di kalangan penguasanya. Para penguasa ini lebih memilih hidup mewah di atas penderitaan rakyatnya yang menjerit kelaparan dan terkapar di kamp-kamp pengungsian bersama bayi-bayi dan anak- anak yang sama sekali belum paham mengapa harus menanggung nasib malang yang ditimpakan atas diri mereka.

Anak-anak Palestina, misalnya, harus dilatih untuk berperang dan memainkan senjata, karena itulah tuntutan nasib keras yang harus mereka jalani di bawah penindasan Zionisme yang selalu didukung Amerika. Keadaan muslim Rohingya di Myanmar yang diperlakukan tidak sebagai manusia oleh mayoritas penduduk adalah drama lain yang belum juga usai. Sebagian mereka terapung-apung di tengah laut, demi melangsungkan hidup. Dunia Islam yang rapuh hanyalah bisa menonton semua tragedi maut ini.

Dari berbagai sumber internet, tuan dan puan akan disegarkan lagi oleh angka-angka tentang bumi muslim yang kaya. Dengan jumlah sekitar seperlima umat manusia sejagat, dunia Islam yang terdiri hampir 60 negara menguasai 70 persen sumber-sumber energi, 50 persen sumber-sumber kekayaan alam, semestinya punya peran sentral dalam menentukan arah politik global. Tetapi, semuanya tidak terjadi, karena kualitas umat ini secara keseluruhan masih di bawah standar, apapun ukuran yang digunakan untuk itu. Sebagian mereka menempuh jalan kekerasan yang tidak layak dan tidak beradab.

Kemudian hampir seluruh penguasa di dunia Islam pasti tunduk kepada titah Amerika Serikat, sesuatu yang sangat menyakitkan. Kita telah menjadi "manusia budak," padahal Alquran memberi atribut sebagai umat terbaik dan sebagai wasit peradaban global, jika syarat-syaratnya dipenuhi. Syarat-syarat itu berupa kemampuan berbuat yang makruf (segala kebajikan yang diperintahkan agama dan dibenarkan oleh akal sehat) dan kemampuan mencegah yang mungkar (semua yang dilarang agama dan dinilai keji oleh akal sehat), dilandasi oleh iman dengan kualitas tinggi.

Sebagai manusia dengan mentalitas "budak", semua syarat itu masih sangat jauh dari realitas kita sekarang, kecuali terdengar dalam khotbah-khotbah, ceramah-ceramah agama di layar kaca dengan segala leluconnya yang meninabobokkan atau yang mendorong orang berurai air mata. Umat menjadi siuman sesaat. Padahal, realitas pahit ini tidak akan berubah dengan tumpahan air mata, betapa pun banyaknya yang tertumpah.

Kata Iqbal, "Janganlah tiru nyanyian ombak yang berdebur bila menghempas ke pantai; tetapi jadilah air bah yang mengubah dunia dengan amalmu." Tentu idealisme Iqbal ini terlalu berat untuk dilakukan dalam kondisi umat tertatih sekarang, tetapi dengan tancapan kesadaran penuh, gerak sejarah harus digiring ke arah tujuan besar itu.

Umat yang sadar akan kekayaan energi dan kekayaan alam yang dianugerahkan Allah kepada bumi Islam semestinya mampu dan mau mengucapkan "sayonara" (selamat tinggal) kepada segala bentuk mentalitas budak, perpecahan, dan hobi meratap yang tak kunjung usai. Hanya dengan perubahan sikap yang mendasar dan radikal ini saja, kepapaan umat akan dapat diatasi dan diubah.

Tuhan baru akan melakukan intervensi, jika intervensi itu diundang melalui kesadaran tinggi dan dengan kerja keras yang dilandasi iman yang tulus dan autentik. Konsep amal saleh dalam perspektif ini adalah membangun peradaban yang adil, asri, damai, dan untuk semua umat manusia.

0 komentar:

Posting Komentar