Barangkali tulisan ini akan menjadi penutup serial note tentang ’Hati
dan Diri’ manusia yang telah kita bahas berhari-hari. Saya yakin, masih sangat
banyak pertanyaan yang bergelayutan di benak Anda, tentang eksistensi manusia
terkait perjalanan spiritualnya. Tetapi, rupanya kita harus membatasi
pembahasan karena beberapa alasan. Diantaranya agar tidak membosankan. Selain
itu, saya memang mau izin untuk beberapa hari ke depan tidak aktif dalam forum
diskusi ini, karena ada agenda lain yang harus saya selesaikan.
Dalam kesempatan ini saya ingin merangkum pembahasan yang sudah kita
lakukan, sambil memberikan point pentingnya dalam perjalanan spiritual
seorang muslim.
1. Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa, sehingga
disebut sebagai ciptaan terbaik alias ahsanu taqwim. Selain itu,
dalam berbagai ayat Qur’an kita juga bisa menemui firman-firman Allah yang
mengangkat manusia dalam derajat sedemikian tingginya. Sehingga, malaikat dan
iblis pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Meskipun, kemudian Iblis
menolak, dan hanya malaikat yang bersujud.
2. Manusia diciptakan mengikuti fitrah Allah, QS. 30: 30, dibentuk
dengan badan & jiwa yang ditiupi ruh ilahiah, sehingga menjadi hidup. Badan
manusia adalah ’benda mati’ yang tersusun dari zat-zat biokimiawi, dengan
struktur dan desain luar biasa canggih. Yang, sampai sekarang masih menyisakan
misteri dahsyat bagi ilmu pengetahuan modern. Bahkan, saya yakin, sampai
berakhirnya dunia sekalipun.
Jiwa manusia adalah badan halus yang berada di balik badan fisik. Ia tersusun dari energi,
yang dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai bioplasma. Badan
energi kita itu memiliki bentuk seperti badan materi yang meliputinya. Ia punya
tangan energial, punya kaki energial, punya kepala energial, otak energial,
mata, telinga, hidung, dan seluruh organ energial. Karena itu, jika organ
materialnya mengalami kerusakan, jiwanya juga akan mengalami gangguan energial.
Terutama, adalah jika otak materialnya mengalami kerusakan, maka otak
energialnya pun terganggu. Dalam ilmu kedokteran disebut sebagai mengalami
penyakit jiwa.
Selain badan dan jiwa, manusia memiliki ruh. Yakni, ’daya hidup’ yang
berasal dari Sang Pencipta. Inilah sifat-sifat Tuhan yang diresonansikan kepada
badan dan jiwa saat penciptaan di dalam rahim seorang ibu. Karena ditiupi
sebagian ruh Allah, maka badan dan jiwa yang tadinya mati menjadi hidup. Teresonansi
oleh Sifat Maha Hidup Allah. Selain itu, badan dan jiwa itu menjadi memiliki
kehendak, karena teresonansi oleh sifat Allah yang Maha Berkehendak. Juga
menjadi terimbas sifat-sifat lainnya seperti mendengar, melihat, berkata-kata,
berkreasi, berbuat, dan lain sebagainya, yang merupakan sifat-sifat Allah.
3.Jiwa menempati posisi sentral dalam kehidupan seorang manusia. Dialah
yang bertanggungjawab atas segala perbuatan manusia. Dia juga yang bisa
merasakan suka, duka, sedih, bahagia, marah, kecewa, dendam, benci, cinta,
ikhlas, sabar, ingkar dan berserah diri. Bukan badan, dan bukan ruh. Sebab,
badan hanya ’alat’ saja bagi jiwa. Sedangkan ruh hanya ’daya hidup’ yang
ditularkan Allah kepada manusia.
Maka, berpuluh ayat di dalam al Qur’an menganjurkan kita untuk meningkatkan
kualitas jiwa. Kutubnya ada dua, yaitu badan dan ruh. Jiwa bakal menuju
kualitas terendahnya ketika terseret kepada hal-hal yang bersifat materialistik
’badaniyah’ semata, sehingga lupa kepada nilai-nilai ketuhanan yang ada di
dalam ruhnya. Kehidupannya hanya mengurusi kebutuhan dan kesenangan badaniyah
belaka. Tiap hari yang dipikirkan cuma makan, minum, pakaian, harta
benda, jabatan, seksualitas, popularitas, dan sebagainya yang bertumpu
pada kepentingan ego semata. Orang yang demikian bakal terjebak pada
keserakahan yang melalaikannya terhadap tujuan dan misi hidup yang lebih
penting sebagai makhluk mulia.
Sebaliknya, ia akan mencapai derajat tertinggi jika memanfaatkan seluruh
potensinya untuk melakukan hal-hal yang menuju nilai-nilai ruhiyah.
Nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan oleh agama. Yakni, yang terangkum dalam
mekanisme hablum minallah dan hablum minannas untuk menuju visi
tatanan hidup yang rahmatan lil alamin, bermanfaat buat seluruh makhluk
Allah.
4. Di dalam al Qur’an, manusia diajari untuk meningkatkan kualitas
jiwanya seiring dengan akal kecerdasan. Dimana ini sangat terkait dengan fungsi
otak manusia beserta segala mekanismenya. Meningkatkan kemampuan otak, sama
saja dengan meningkatkan kualitas jiwa. Karena itu, umat Islam harus melatih
fungsi otaknya untuk mencapai jiwa berkualitas tinggi.
Mekanisme otak itu melibatkan dua fungsi dasar yang membentuk akal, yakni kecerdasan
intelektual yang bekerja secara ilmiah lewat rasio, logika dan analisa, serta
kecerdasan emosional yang bekerja pada sistem limbik dengan memanfaatkan
Hipocampus sebagai memori rasional dan Amygdala sebagai memori emosional. Seorang
manusia harus melatih diri agar fungsi Hipocampus dan Amygdalanya bekerja
secara seimbang, sehingga menghasilkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang
emosional’. Sebab, di sistem limbik inilah terjadinya pertarungan antara
kecerdasan rasional dan emosional. Dan seringkali rasionalitas kalah oleh
emosi yang cenderung tanpa perhitungan.
5. Mekanisme sistem limbik tecermin pada getaran jantung. Jika
sistem limbik sedang dalam kondisi ’emosi yang tidak rasional’, maka jantung
akan bergetar tidak stabil, sehingga mengalami disharmoni dengan
frekuensi otak. Ini menyebabkan ketidakseimbangan di seluruh tubuh. Baik
yang bekerja secara sarafi maupun hormonal. Sebaliknya, jika sistem limbik
sedang dalam keadaan ’emosi yang rasional’, maka jantung akan bergetar lembut
dan menghasilkan frekuensi yang sinkron dengan otak. Saat itu, seluruh tubuh
akan ikut harmonis.
Maka, ’kelembutan’ getaran jantung bisa dijadikan tolok ukur bagi optimal
tidaknya kerja sistem limbik di dalam otak. Sekaligus, menunjukkan keseimbangan
kondisi kejiwaan seseorang. Disinilah terjadi sinkronisasi antara fungsi
badan dan fungsi jiwa. Badannya sehat, jiwanya tenteram. Sebaliknya,
jika tidak sinkron, akan memunculkan penyakit yang dalam istilah kedokteran
disebut sebagai psychosomatis. Yaitu, penyakit tubuh yang disebabkan oleh jiwa
yang sakit.
Selain itu, kini juga berkembang ilmu yang disebut Psycho-neuro-imunology.
Yaitu, ilmu yang menjelaskan eratnya hubungan antara fungsi jiwa, fungsi
sarafi, dan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ternyata orang-orang yang
menata hidupnya secara religius menuju kepada nilai-nilai spiritual memiliki
daya tahan tubuh yang lebih baik dan hidup lebih sehat sampai ajal datang
menjemputnya.
6. Dalam ranah spiritual, jiwa digambarkan memiliki ’arsy atau
tingkatan energi yang semakin halus untuk mencapai kualitas tertingginya.
Dimulai dari ’arsy material berupa pengalaman fisikal sehari-hari, dilanjutkan
ke ’arsy energial yang memunculkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang khas,
sampai ’arsy ruhiyah yang memunculkan pengalaman spiritual tertinggi dalam
hubungannya dengan Allah.
Pencapaian ’arsy yang lebih tinggi itu terjadi seiring dengan penghalusan
sifat alias akhlaknya. Semakin tinggi akhlaknya, semaki tinggi pula perjalanan spiritualnya.
Kenapa bisa demikan? Karena, sesungguhnya perjalanan spiritual adalah sebuah
perjalanan menuju Sifat-Sifat Allah, yang telah diimbaskan dalam bentuk ruh ke
dalam diri manusia.
Maka, semakin tinggi tingkat spiritual seorang hamba, akan terlihat dari
semakin tingginya akhlak yang dijalaninya. Akhlak adalah
’emosi rasional’ yang sudah tertanam sebagai sifat
dan kebiasaan. Itu pula yang ditunjukkan oleh para Nabi.
Semakin tinggi akhlaknya, semakin tinggi tingkat spiritualnya, dan semakin
dekat ia dengan Sang Maha Penyantun, Allah Azza wajalla...
Akhlak mulia adalah sifat-sifat ilahiah yang merembes ke dalam jiwa seorang
manusia bersumber dari sifat-sifat Allah di dalam ruhnya. Resonansi itu terjadi disebabkan
adanya sinkronisasi getaran antara badan, jiwa dan ruh. Semakin sinkron semakin
harmonilah frekuensinya, dan secara energial tergambar di poros jantung-otak
yang semakin lembut.
7. Maka, secara sederhana, proses pencapaian tingkat spiritual yang
tinggi bisa dilakukan dengan cara menata akhlak. Melatih kejujuran,
melatih kesabaran, melatih keikhlasan, melatih ketaatan, melatih sifat
pengorbanan, dan melatih sifat berserah diri hanya kepada Allah. Jika ini
sukses, maka dengan sendirinya, Arsy jiwa kita akan naik tingkat mendekati
sifat-sifat ilahiah yang ada di dalam ruh kita sendiri.Apa yang kita lakukan
sehari-hari adalah cerminan dari sifat-sifat ilahiah tersebut...!
Bagaimana prakteknya? Cobalah mulai melakukan dengan melatih kejujuran.
Inilah ’akhlak dasar’ yang dipersyaratkan oleh Rasulullah kepada seseorang yang
ingin menjalankan agama Islam secara substansial. Cobalah menjadi orang dengan
kepribadian ’terbuka’. Baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan
terhadap Allah. Cobalah berkata tanpa kepura-puraan.
Apa yang ada di mulut, sinkronkan dengan yang ada di hati (pikiran dan
perasaan), sinkron dengan perbuatan sehari-hari. Jangan mengatakan sesuatu yang
tidak sama dengan yang ada di hati. Lebih-lebih, jangan berbuat sesuatu yang
berbeda dengan bisikan hati. Jika Anda bisa melakukan ini selama setahun saja,
insya Allah Anda sudah akan ’naik kelas’ ke tingkat yang lebih tinggi.
Setelah itu, cobalah untuk mengendalikan amarah. Menjadi orang yang
’sulit marah’, tapi gampang memaafkan. Karena, ini menjadi tanda-tanda orang
yang bertakwa, QS. 3: 133-135. Bukan ’menahan’ amarah, melainkan
’mengendalikan’ amarah. Seseorang bisa mengendalikan amarah, hanya jika ia
mampu menata sistem limbiknya menjadi bersifat ’emosi yang rasional’. Jika
tidak, maka yang ada hanyalah ’menahan’ amarah, sehingga bakal meledak di waktu
yang lain saja.
Jika Anda mampu menajalaninya setahun saja, maka Anda bisa melanjutkan
dengan melatih sifat ikhlas. Yaitu, berkorban sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan orang lain. Merendahkan ego, meninggikan kemaslahatan bersama.
Berikutnya, jika sudah semakin ikhlas, Anda bisa melatih sifat sabar.
Yakni, tidak ’tergesa-gesa’ dalam mencapai suatu tujuan, serta ’tahan’
menghadapi ujian. Yang ini, juga cukup setahun saja secara terus menerus alias istiqomah.
Dan setelah itu yang terakhir adalah latihan untuk taat kepada Allah.
Bukan ketaatan yang ditaat-taatkan, melainkan ketaatan yang penuh ‘kejujuran’,
‘keikhlasan’ dalam pengorbanan, dan ‘kesabaran’ dalam menjalankan segala
perintah Allah. Jika Anda bisa melakukan ini ‘sinkron’ antara bisikan ruh,
jiwa, dan perbuatan , maka insya Allah, Anda sudah berada di level tertinggi di
dalam Islam, yaitu: berserah diri hanya kepada Allah semata. Anda telah
menjadi muslim yang paripurna. Dan bakal menjadi kesayangan Allah, sebagaimana
Nabi ibrahim sang khalilullah..!
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah orang yang paling baik agamanya daripada orang yang
ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar