BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepemimpinan dan organisasi merupakan
dua konsep yang tidak bisa dipisahkan antara atu dengan yang lainnya. Istilah
kepemimpinan sesungguhnya telah lama menjadi bahan perbincangan oleh banyak
orang ilmuam dan praktisi. Kepemimpinan acapkali diasosiasikan dengan
orang-orang yang dinamis dan kuat yang memimpin bala tentara, mrngendalikan perusahaan
besar, atau menentukan arah suatu bangsa dan masyarakat.
Untuk menunjukan berapa pentingnya
kepemimpinan dan betapa manusia membutuhkannya, sampai ada pendapat yang keras
mengatakan bahwa dunia atau umat ymanusia di dunia ini pada hakekatnya hanya ditentukan
oleh beberapa orang saja, yakni berstatus sebagai pemimpin. Dalam organisasi
kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk memeberikan pengarahan terhadap
usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Tanpa
Pemimpin atau bimbingan, hubungan antara tujuan perserangan atau tujuan
organisasi mungkin menjadi renggang.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian kepemimpinan?
2.
Bagaimana tipe-tipe kepemimpinan?
3.
Bagaimana gaya-gaya kepemimpinan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan
adalah terjemahan dari kata “Leadership” yang berasal dari kata “Leader”.
Pemimpin adalah orang yang memimpin, sedangkan peimpinan merupakan jabatanya.
Dalam pengertian lain, secara etimologi istilah kepemimpinan berasal dari kata
dasar “pimpin” yang artinya membimbing dan menuntun (Pramuji, 1995:5).[1]
Kepemimpinan
menurut surat keputusan Badan Adminintrasi Kepegawaian Negara No. 27/KEP/1972
ialah kegiatan untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dibawa turut serta
dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut Terry dan Rue (1985) menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seorang pemimpin, memengaruhi
orang lain untuk bekerja sama secara sadar dalam hubungan tugas yang
diinginkan.[2]
Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk menggerakan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak,
mengarahkan, menasehati, membina, membimbing melatih, menyuruh, memerintah,
melarang, dan bahkan menghukum seluruh sumberdaya organisasi untuk mencapai
tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka pengertian kepemimpinan adalah kemampuan untuk
menggerakan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, memasehati,
membina, membimbing dan bahkan menghukum (kalau perlu) dengan maksud agar
manusia sebagai bagian dari organisasai mau bekerja dalam rangka mencapai
tujuan dirinya sendiri maupun organiasasi secara efektif dan efisien.
Pengertian ini menunjukan bahwa dalam kepemimpinan terdapat tiga unsur yaitu
pemimpin, anggota, dan situasi.[3]
B.
Tipe-tipe Kepemimpinan
Tipe atau gaya
kepemimpinan adalah pola menyuruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang
tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahanya. Terdapat beberapa tipe
kepemimpinan yaitu:
1.
Tipe Kepemimpinan Karismatik
Dalam kepemimpian karismatik
memiliki energi, daya tarik dan pembawa yang luar biasa untuk mempengaruhi
orang, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlah-jumlahnya dan
pengawal-pengawalnya yang bisa diercaya.
2.
Tipe Militeristis
Tipe ini bersifat kemiliteran,
namun hanya gaya luaran saja yang mencontoh militer. Tetapi jika dilihat lebih
seksama, tipe ini mirip sekali dengan tipe kepemimpina otoriter. Tipe
kepemimpinan ini berbeda sekali dengan kepemimpinan organisasi militer.
Sifat-sifat pemimpin yang militeristis antara lain ialah:
a.
Lebih banyak menggunakan sistem perintah
terhadap bawahanya keras, sangat, otoriter, kaku, dan seringkali kurang
bijaksana.
b.
Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan
c.
Sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara
ritual dan tanda-tanda kebesaran berlebihan.
d.
Menuntut adanya disiplin keras dan kaku dari
bawahnya.
e.
Tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan
dari bawahanya.
f.
Komumikasi hanya berlangsung searah saja.
3.
Tipe otokratis
Kepemimpinan ini
mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak dan harus dipenuhi.
Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal. Pada a one-man-show.
Dia berambisi sekali untuk merajai situasi setiap perintah dan kebijakan
ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahnya. Anak buah tidak pernah diberi
informasi mendetail mengenai rencana dan tindakan yang harus dilakukan. Semua
pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan
pribadi pemimpin sendiri.
4.
Tipe Laissez Faire
Pada
kepemimpinan laissez faire ini sang pemimpin praktis tidak memimpin dan
membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semua sendiri. Pemimpin tidak
berpartisipasi sedikitpun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan
tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Dia merupakan pemimpin
simbol dan biasanya tidak mempunyai ketrampilan teknis, sebab duduknya sebagai
direktur atau pemimpin, ketua dewan, komandan, atau kepala.
5.
Tipe Populistis
Profesor peter
worsley dalam bukunya the third world mendifinisikan kepemimpinan popularistis
sebagai kepemimpinan yang dapat membangunkan solidaritas rakyat misalnya
soekarno dengan ideologi marhaenismenya, yang menekankan masalah kesatuan
nasional, nasionalisme, dan sikap yang berhati-hati terhadap kolonialisme dan
penindasan, penghisapan serta penguasaan oleh kekuatan-kekuatan asing (luar
negri).
Kepemimpinan
popularistis ini berpegang teguh kepada nilai-nilai masyarakat yang
tradisional. Juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan
hutang-hutang luar negri. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan
kembali nasionalisme. Dan oleh profesor S.N Einsentadt dikaitkan dengan
modernitas tradisional.
6.
Tipe Administrasi atau Eksekutif
Kepemimpian tipe administrasi
ialah kepemimpinan yang mampu menyelanggarakan tugas-tugas administrasi secara
efektif. Sedang para pemimpinanya terdiri dari teknokrat dan administratur yang
mampu menggerakan dinamika modernisasi dan pembangunan. Dengan demikian dapat
di bangun sistem administrasi dan birokrasi yang efisien untuk memerintah yaitu
untuk memantapkan integritas bangsa pada khususnya, dan usaha pembangunan pada
umumnya. Dengan demikian administrasi ini diharapkan adanya perkembangan taknis
yaitu teknologi, industri, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah
masyarakat.
7.
Tipe Paternalistis
Tipe ini yaitu
kepemimpinan kebapakan, dengan sifat-sifat antara lain sebagai berikut:
a.
Dia menganggap bawahanya sebagai manusia yang
belaum dewasa, atau anak-anak sendiri yang perlu dikembangkan.
b.
Dia bersikap terlalu melindungi
c.
jarang memberikan kesempatan kepada bawahan
untuk mengambil keputusan sendiri.
d.
Kepemimpinan ini hampir-hampir tidak pernah
memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif.
e.
Dia tidak memberikan atau hampir-hampir tidak
pernah memberikan kesepatan pada pengikut dan bawahan untuk mengembangkan
imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri.
f.
Selalu bersikap paling benatr
8.
Tipe Demokrasi
Kepemimpian demokrasi
berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada
pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan
pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerja sama yang baik.
Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada person atau individu
pemimpin, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari
setiap kelompok.[4]
Selanjutnya
menurut Kurt Lewin, sebagaimana yang dikutip oleh Maman Ukas, tipe-tipe kepemimpinan
dibagi menjadi tiga bagian.
1. Otokratis: pemimpin tipe ini
bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti, dan tertib. Ia bekerja menurut
peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.[5]
Namun, kepemimpinan otokratis ini mengesampingkan partisipasi dan daya kreatif
para anggotanya. Pemimpin pendidikan menganggap guru, siswa dan staf
administrasi mempunyai kinerja yang rendah dan lebih cenderung statis.[6]
2. Demokratis: pemimpin yang
demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama
dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya.
Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan, perencanaan,
penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi
yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.
3.
Lessezfaire (masa bodoh):
pemimpin yang bertipe ini, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya,
menyerahkan sepenuhnya pada para bawahanya untuk menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima
laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak
terlalu mau ambil inisiatif. Semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan
prakarsa dari para bawahannya sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat
memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.
Berdasarkan
pendapat di atas, pada kenyataannya tipe kepemimpinan yang otokratis,
demokratis, dan lassezfaire banyak ditetapkan di dalam berbagai macam
organisasi, salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Kepemimpinan
dikatakan berjalan dengan baik apabila secara fungsional pemimpin tersebut
mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Dengan
melihat hal tersebut, pemimpin di bidang pendidikan diharapkan memiliki tipe
kepemimpinan yang sesuai dengan harapan atau tujuan, baik itu harapan dari
bawahan atau dari atasan yang lebih tinggi posisinya. Dengan demikian, pada
akhirnya gaya atau tipe kepemimpinan yang dipakai oleh para pemimpin, terutama
dalam bidang pendidikan, benar-benar mencerminkan sebagai seorang pemimpin yang
profesional.[7]
C. Gaya-Gaya
Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan pada dasarnya
mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang
pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin yang dapat memengaruhi
bawahannya. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu.
Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang
disampaikan oleh E. Mulyasa. E. Mulyasa menyatakan bahwa cara yang dipergunakan
pemimpin dalam memengaruhi para pengikutnya tersebut dikenal sebagai gaya
kepemimpinan. Dalam konteks pendidikan, seperti yang dikatakan Edward Sallis,
bahwa gaya kepemimpinan tertentu dapat mengantarkan instusi pada revolusi mutu.[8]
Adapula tiga kategori gaya
kepemimpinan seperti yang dikembangkan oleh Lewin, Lippit, dan White, yaitu
otokratik, demokratik, dan laisser-feire (Salusu, 1996) kemudian
dilengkapi menjadi empat oleh Gatto (1992) yaitu gaya direktif, gaya
konsultatif, gaya partisipatif, dan gaya delegasi.
Karakter dari setiap gaya tersebut dapat diuraikan secara
singkat sebagai berikut :
1. Gaya
direktif. Pemimpin yang direktif pada
umumnya membuat keputusan-keputusan penting dan banyak terlibat dalam
pelaksanaannya. Semua kegiatan terpusat pada pemimpin, dan sedikit saja
kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak yang diizinkan. Pada
dasarnya gaya ini adalah gaya otoriter.
2. Gaya
konsultatif. Gaya ini dibangun di atas gaya direktif, kurang otoriter dan lebih
banyak melakukan interaksi dengan para staf dan anggota organisasi. Fungsi
pemimpin lebih banyak berkonsultasi, memberikan bimbingan, motivasi, memberi
nasihat dalam rangka mencapai tujuan.
3. Gaya
partisipatif. Gaya partisipasi bertolak pada gaya konsultatif yang bisa
berkembang searah saling percaya antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin
cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan staf untuk menyelesaikan pekerjaan
sebagai tanggung jawab mereka. Sementara itu, kontak konsultatif terus
berjalan.
4. Gaya
free-rein atau gaya delegasi, yaitu gaya yang mendorong kemampuan untuk
mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang dilakukan oleh
pemimpinsehingga gaya ini hanya bisa berjalan apabila staf memperlihatkan
tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran organisasi.[9]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari beberapa
pengertian kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan untuk menggerakan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan,
menasehati, membina, membimbing dan bahkan menghukum (kalau perlu) dengan
maksud agar manusia sebagai bagian dari organisasai mau bekerja dalam rangka
mencapai tujuan dirinya sendiri maupun organiasasi secara efektif dan efisien.
Pengertian ini menunjukan bahwa dalam kepemimpinan terdapat tiga unsur yaitu
pemimpin, anggota, dan situasi.
Tipe atau gaya
kepemimpinan adalah pola menyuruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang
tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahanya. Ada 7 tipe kepemimpinan yaitu
karismatik, paternalistic, militeristis, otokratis, laissez faire, populistis,
administrative atau eksekutif, dam demokratis. Adapun menurut Kurt
Lewin, sebagaimana yang dikutip oleh Maman Ukas, tipe-tipe kepemimpinan dibagi
menjadi tiga yaitu otokratik,
demokratis, dan Laisse Faire.
Gaya
kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan
tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin
yang dapat memengaruhi bawahannya. Gaya kepemimpinan oleh Gatto
dibagi menjadi empat yaitu gaya direktif, gaya konsultatif, gaya partisipatif,
dan gaya delegasi..
DAFTAR PUSTAKA
Wahab,
Abd. dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual.
Yogyakarta: Ar- Ruzz Media. 2011
Ara Hidayat, Imam Machali. Pengelolaan Pendidikan Konsep,
Prinsip dan Aplikasi Dalam Pengelolaan Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Kaukaba.
2012
Husaini Usman. Manajemen Teori Praktik dan Riset
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Rohmat. Kepemimpinan Pendidikan. Yogyakarta:
Cahaya Ilmu, 2010
Imam
Moedjiono, Kepemimpinan dan Keorganisasian, Yogyakarta: UII Press, 2002
[1]
Ara Hidayat, Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip dan Aplikasi
Dalam Pengelolaan Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm.
75
[2]
Husaini Usman, Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), hlm. 274
[3]
Ara Hidayat, Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep…hlm.76
[4] Ibid, hlm 84-86
[5]Ibid,...,
hlm. 94-95
[6]Rohmat, Kepemimpinan
Pendidikan,(Yogyakarta: Cahaya Ilmu, 2010), hlm. 67
[7]
Abd.
Wahab dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual,...,
hlm. 96
[8]Ibid,...,
hlm. 92
[9]Imam
Moedjiono, Kepemimpinan dan Keorganisasian, (Yogyakarta: UII Press,
2002), hlm. 45-46
0 komentar:
Posting Komentar