Sebagaimana saya sampaikan di note sebelumnya, bahwa secara garis
besar kita bisa membagi diri manusia ke dalam tiga kelompok, yakni: badan, jiwa
dan ruh. Badan mewakili materi, jiwa mewakili energi, dan ruh mewakili
sifat-sifat Allah yang tidak bisa dijelaskan substansinya. Ketiga
entitas itu tidak bisa dipisahkan, karena bersifat kontinum di dalam diri
manusia. Kecuali, telah mati.
Di dalam al Qur’an memang tidak ada ayat yang menyebutkan secara eksplisit
tentang pembagian itu, apalagi dengan menyebutkan angka pengelompokannya, 3
atau 7. Yang ada ialah penyebutan secara terpisah-pisah, bahwa manusia memiliki
badan yang terbuat dari saripati tanah, sehingga bisa dikategorikan sebagai
materi.
Di ayat lain lagi, Allah menyebut ‘jiwa’ dengan istilah yang beragam.
Satu ketika disebut Nafs, yang diterjemahkan sebagai 'diri', atau kadang
'nafsu'. Di kali lain disebut dengan istilah Hati – Qalb maupun Fuad. Di
kali lain lagi disebut dengan istilah ‘Aql dan Lubb. Maka, di kalangan para
pelaku spiritual lantas muncul pemetaan terhadap istilah-istilah itu, yang
dipersepsi sebagai tingkatan kualitas jiwa.
Tujuannnya adalah sebagai ‘panduan’ atau ‘jalan’ (Thoriqoh) atau ‘metode’ bagi upaya melatih
tingkat kehalusan jiwa. Dimulai dari yang bersifat materialistik menuju ke nilai-nilai ruhiyah
di tingkatan tertinggi yang sulit digambarkan lagi. Berdasar
pemeringkatan kualitas jiwa itulah para pelaku spiritual menyusun metode-metode
pencapaian, yang kemudian dikenal sebagai Thoriqoh, yang dalam bahasa
Arab bermakna ‘jalan’ alias ‘cara’. Setiap penganut tarekat bisa memiliki
metode yang berlain-lainan dalam upaya meningkatkan kualitas jiwanya,
bergantung kepada mursyid alias pembimbingnya.
Yang demikian ini, dikarenakan di dalam al Qur’an tidak ada penjelasan
eksplisitnya. Sehingga, metode itu lantas menjadi sangat beragam bergantung
kepada background masing-masing mursyid tarekat. Dan ini bukan
hanya terjadi pada pelaku spiritual Islam, melainkan juga pada para spiritualis
non muslim. Termasuk para pelaku meditasi. Dan menariknya, mereka mengarah
kepada pemeringkatan 7 kualitas perjalanan jiwa secara universal.
Oleh sebab itu, saya menyebut dalam note sebelumnya: ‘entah ini
kebetulan atau tidak’, karena memang demikianlah pada tataran prakteknya.
Namun, saya termasuk yang yakin bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di alam
semesta ini. Permasalahannya, hanya pada detil-detil penjelasan yang belum
terungkap saja.
Saya mencoba menghubungkan perjalanan kualitas jiwa ini dengan dimensi
langit, yang di dalam al Qur’an ‘kebetulan’ disebut ada tujuh. Dalam perjalanan Isra’ Mi’raj,
Rasulullah pun digambarkan ‘naik’ sampai ke langit ke tujuh untuk memperoleh
suasana kebatinan yang membuat ‘penglihatan spiritualnya’ terbuka luas. Sampai-sampai
beliau digambarkan 'terpesona' di puncak dimensi alam semesta yang bernama
Sidratul Muntaha itu, QS. An Najm: 14-18.
Dimanakah puncak langit yang bernama Sidratul Muntaha itu? Saya meyakininya tidak jauh dari
kita. Yakni, sudah meliputi kita semua. Tetapi, berada di dimensi yang berbeda.
Setiap kita, sebenarnya sudah diliputi oleh Sidratul Muntaha itu. Karena, ia
berada di langit ke tujuh yang luasnya mencakup langit-langit di bawahnya.
Saya sering mengumpamakan dengan cara penyederhanaan, bahwa susunan
langit itu seperti sebuah bola di dalam bola, di dalam bola, di dalam bola
sampai tujuh lapis. Artinya, langit pertama dimana kita berada ini,
sebenarnya ‘terendam’ di dalam bola yang lebih besar bernama langit kedua.
Sedangkan ‘bola’ langit kedua juga ’terendam’ di dalam bola langit ketiga yang
lebih besar. Langit ketiga di dalam langit keempat, di dalam langit kelima,
keenam, sampai ke tujuh. Dan yang ketujuh, terendam di dalam Dzat Allah yang
tidak terikat dimensi.
Sehingga, ketika Rasulullah sampai di langit ketujuh, sebenarnya beliau
tidak beranjak kemana-mana. Yaitu, masih di sekitar Palestina saja – setelah
melakukan Israa’. Sebab, meskipun posisi keberadaannya di langit ke satu, sebenarnya beliau
secara bersamaan sedang 'terendam' di dalam langit kedua, sekaligus terendam di
langit ketiga, keempat sampai ke tujuh.
Dan itu, bukan hanya berlaku bagi Rasulullah, melainkan kita semua. Bahkan
seluruh makhluk yang berada di alam semesta ini, sedang 'terendam' di dalam
lapisan-lapisan langit seperti itu. Lantas apa yang membedakannya? Kenapa
Rasulullah sampai di puncak langit, sedangkan kita tidak? Itu terkait
dengan kualitas jiwa. Apakah jiwa kita sedang terikat di langit pertama, ataukan
sudah sinkron dengan langit kedua, atau harmoni dengan langit ketiga, dan
seterusnya sampai langit ketujuh. Itulah yang saya sebuat sebagai ’arsy
jiwa. Alias tingkat kualitas jiwa.
Jika ’kualitas jiwa’ kita masih berada di alam materi, maka kita hanya akan
berkutat di langit pertama saja. Tetapi jika kualitas jiwa kita ’naik’ ke frekuensi energi yang lebih
tinggi, maka jiwa kita akan berada di ’arsy yang lebih tinggi pula, yakni di
tataran kualitas ’energi gerak’ – mekanik.
Frekuensi jiwa yang lebih tinggi adalah ketika meningkat ke ’arsy gelombang
elektromagnetik di getaran kulit atom, lantas menuju ke getaran inti atom yang
lebih ke dalam, kemudian lebih halus lagi ke partikel-partikel kuantum, lebih
lanjut ke getaran ’partikel dasar’ penyusun alam semesta, dan akhirnya berada
pada tataran 'arsy tertinggi setiap manusia yakni: ruh kita sendiri. Di tingkat ini, jiwa seorang
manusia sudah sedemikian ’dekat’ dengan ’Arsy Allah, karena Ruh adalah
sifat-sifat Allah itu sendiri, yang ditularkan kepada manusia.
Tentang partikel dasar penyusun alam semesta, saya memang berharap banyak
agar bisa terungkap lebih gamblang. Saya sependapat dengan apa yang
dikemukakan oleh Prof Abdussalam yang memprediksi alam semesta ini sebenarnya
tersusun dari ’sesuatu’ yang tunggal saja. Untuk itu, dia memperoleh
penghargaan Nobel di bidang Fisika Teori.
Pada dasarnya, dia mengajukan teori bahwa seluruh gaya-gaya yang
menyusun alam semesta ini hanya satu saja. Yang kadang tampak sebagai gaya
listrik dan gaya magnet, gaya nuklir lemah dan kuat, serta gaya gravitasi. Dia
meramalkan seluruh gaya itu kelak akan terbukti sebagai satu kesatuan tunggal
belaka. Dan sebagiannya sudah terbukti, yakni gaya listrik dan gaya magnet
yang dulu dianggap terpisah, ternyata bisa disatukan menjadi gaya
elektromagnetik.
Demikian pula di tingkat kuantum, dengan gaya nuklir kuat dan lemah, serta
gaya gravitasi, kelak diprediksi akan menyatu dalam sebuah formula universal. Di
tingkat inti atom, ’gaya nuklir kuat’ menghasilkan gaya penyatuan proton,
neutron, dan partikel lainnya untuk membentuk inti. Sedangkan ’gaya nuklir
lemah’ lebih berperan pada tingkat partikel yang lebih halus. Gaya gravitasi
berperan pada ’gaya ikat’ antar benda raksasa pengisi alam semesta.
Saya berharap, penelitian god-particle yang dilakukan di CERN itu
akan mengantarkan para ilmuwan kepada apa yang diprediksikan oleh Prof
Abdussalam, yakni munculnya suatu ’partikel dasar’ yang mewakili ’ketauhidan’
alam semesta. Ini akan menjadi bukti, bahwa partikel-partikel kuantum itu
ternyata masih ’tersusun dari’ sesuatu yang lebih substansial di ’arsy
paling halus eksistensi alam semesta. Dimana, ini akan menjadi tataran
frekuensi tertinggi sebelum menyentuh alam ruh, yang sudah sulit untuk
dijelaskan lagi.
Jadi bagaimanakah kesimpulannya, tentang lapisan badan yang tujuh
di dalam diri manusia? Pada intinya, manusia tersusun dari bahan dasar
yang kontinum mulai dari ’arsy yang paling kasar berupa materi, menuju ’arsy
yang lebih halus berupa energi, dan lebih halus lagi berupa ruh.
Peningkatan kualitas jiwa itu mirip dengan meningkatnya ’arsy energi di
dalam eksistensi alam semesta, yakni mulai dari materi yang ’berubah
eksistensinya’ menjadi energi gerak, kemudian masuk ke kedalaman atom menjadi
energi elektromagnetik, menukik masuk lagi ke inti atom menjadi energi nuklir
kuat, merambah ke partikel-partikel kuantum, dan membuncah di sosok partikel
dasar penyusun alam semesta.
Disinilah kontinum ’arsy materi-energi itu berinteraksi dengan sifat-sifat
ketuhanan berupa ruh ilahiah. Arsy kemanusiaan bergetaran di sekitar Arsy
Allah. Dan, semua itu terjadi di dalam diri kita sendiri. Di kedalaman susunan triliunan
sel-sel yang dikoordinasikan oleh otak sebagai organ komando aktifitas
kehidupan kita. Itulah saat-saat 'badan energial' kita 'melebur' di dalam ruh
kita sendiri..! Bersambung ... :)
QS. Al Insyiqaaq (84): 19-20
Sesungguhnya kamu melalui (kualitas) tingkat demi tingkat. Mengapa mereka
tidak beriman (yakin)?
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar