MODERNISASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


            Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam. Terhitung islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13, Islam berkembang pesat di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan tanah Indonesia yang dahulu bermayoritas beragama Hindu berubah menjadi agama Islam. Islam berkembang sekaligus menyatu dengan kebudayaan pribumi. Sehingga ada sebuah sinkronisasi antara budaya dan agama yang mengakibatkan islam diterima baik di kalangan masyarakat.
            Belanda masuk ke Indonesia tidak hanya menjajah menguasai tanah pertiwi secara materi, namun juga menyebarkan budaya barat untuk dapat diterima di tanah nusantara. Budaya barat yang membawa liberalism tentulah berbenturan dengan islam waktu itu. Sehingga ada upaya keengganan masyarakat untuk menerima budaya barat. Di sisi lain kolonial berasumsi bahwa islam yang ada dalam masyarakat adalah islam yang tradisional dan konservatif. Suatu yang sangat kolot dengan apa yang mereka (masyarakat) pegang, juga pemikiran yang sulit untuk ke arah kemajuan, karena masyarakat hanya selalu menyibukkan diri untuk belajar agama tanpa memikirkan duniawi apalagi untuk memajukan peradaban.
            Hal ini menjadi salah satu sebab orang kolonial belanda tidak mau mengasosiasi pendidikan islam dalam lembaga pendidikannya. Karena pendidikan islam yang diajarkan pada masyarakat tidak dapat memberikan keuntungan untuk belanda. Mereka menganggap bahwa pendidikan yang diberikan seperti mengajarkan mantra kepada anak didiknya. Hal ini terlihat ketika pengajaran yang dilakukan di dalam lembaga pendidikan yang waktu itu masih berupa surau, maunasah, dan masjid memberikan materinya berupa pengajaran bahasa arab tanpa memberikan arti perkata.
            Fenomena yang terjadi adalah masyarakat islam Indonesia dalam baca tulis arab, pertama diajarkan huruf hijaiyah kemudian menulis merangkai kata dalam tulisan arab, dan diajarkan membaca suratan pendek dalam juz ‘amma sampai pada selesai membaca al-Qur’an sebanyak 30 juz yang di akhiri dengan acara khataman sebagai tanda telah selesainya membaca seluruh isi al-Qur’an. namun yang terpenting dalam mempelajari al-Qur’an adalah artinya. Dan arti dalam setiap bacaan dalam al-Qur’an inilah yang dilupakan dalam proses pendidikan islam.
            Itu fenomena yang terjadi dalam pendidikan islam waktu itu bahkan sampai sekarang banyak yang masih menerapkan model pendidikan seperti itu. Seharusnya ada pembaharuan dalam pendidikan islam supaya makna penting dalam al-Qur’an adalah mempelajari isi kandungan al-Qur’an yakni mengetahui arti per-kata dapat tersalurkan. Ini mungkin yang menjadi kebiasaan masyarakat ketika tadarus al-Qur’an setelah tarawih yaitu membaca sebanyak-banyaknya ayat suci al-Qur’an sampai khatam berkali-kali namun mereka tidak mendapat pelajaran apa-apa dari setelah membaca ayat tersebut kecuali mendapat pahala dan mencari ridho Allah. Namun secara pengetahuan dan pendidikan, mereka tidak mendapat apa-apa dari hasil membaca tersebut.
            Dalam upaya pembaharu yang menjadi kebiasaan masyarakat memang ada. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan mengubah suatu kebiasaan ceramah jumat dilakukan dengan menggunakan bahasa arab diganti dengan bahasa sehari-hari tidak terpaku pada bahasa arab. Karena ceramah yang merupakan khutbah pertama adalah isi tausiyah ataupun kerohanian berupa nasehat dan bimbingan kepada jamaah. Sehingga menggunakan bahasa sehari-hari supaya jamaah mengerti apa yang disampaikan. Selain itu juga Ahmad Dahlan melakukan suatu perubahan dimana beliau mengubah tatanan shof sholat di masjid dengan arah barat laut sesuai arah kiblat ka’bah di Makkah.

Pendidikan Islam dan Pendidikan Umum
            Pendidikan menjadi sebuah cita-cita bangsa untuk menjadi pribadi yang tidak hanya cakap mengenai urusan duniawi namun juga taat kepada Sang Pencipta. Dengan ini, seseorang tidak hanya mampu menguasai pendidikan umum saja namun juga mempelajari pendidikan agama untuk bekal kehidupan di dunia dan akhirat.
            Dalam prakteknya pendidikan akhir abad ke 19-an, ada sebuah diskriminasi terhadap pendidikan islam. Pendidikan islam tidak semata-mata diakui oleh pemerintah yang dipegang oleh kolonial Belanda. Belanda cenderung menolak menerima pendidikan islam dalam kurikulumnya bahkan lembaga islam seperti pesantren tidak dinaungi oleh pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah usaha diri dari pesantern tanpa dukungan dari pemerintah. Bahkan pesantern cukup lama bernaung sendiri dengan kurikulum yang diterapkan secara mandiri yang sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh pemerintah dengan sekolah umumnya.
            Pemerintah Belanda dengan bentukan lembaganya seperti HIS, Sekolah Rakyat, dll mengadopsi gaya pembelajaran modern yang mencoba diterapkan di dalam masyarakat Indonesia. Hasilnya HIS merupakan sekolah umum namun dengan peserta didik yang mayoritas adalah anak dari orang terpandang. Sedangkan orang miskin dan pedesaan bisanya berada di sekolah rakyat. Sedangkan pesantren dengan pendidikan secara mandiri dapat berkembang secara baik terlebih ketika penjajah Jepang, banyak donator dan bantuan yang di sumbangkan di dalam pesantren walaupun hal tersebut tidak dibawah lindungan pemerintah.
            HIS memberikan jaminan lulusan peserta didik yaitu dapat meneruskan pendidikan yang lebih tinggi di luar negeri. Hal ini yang menjadikan putra bangsawan tak jauh nasibnya dengan orang tua yaitu tetap melestarikan kebangsawannya. Berbeda dengan sekolah keagamaan yang didirikan seperti pesantren, akan menjadikan generasi seorang ulama. Tanpa ada sertifikat kelulusan yang diterima namun kemampuan agama yang dimiliki dapat dituangkan dalam kehidupan masyarakat menjadi kyai aau pembesar agama.
            Kedua lembaga yang berdiri mencetuskan generasi yang berbeda. Apalagi lembaga pendidikan islam mayoritas adalah kaum marjinal,atau kaum miskin. Terlebih antara kedua lembaga tersebut yaitu umum dan islam tidak bisa berkolaborasi dengan baik. Kedua lembaga tersebut berjalan dengan arah yang berbeda. Dan keduanya memang sulit untuk disatukan. Pendidikan agama tidak mau menerima pendidikan yang dibawakan oleh kolonial dengan mengusung modernisasi dan westernisasi.
            Mungkin ulama mengkhawatirkan adanya kolaborasi islam dengan kolonial malah menjadikan umat islam akan terjerumus dengan budaya barat yang memang pada abad ke-19 an dunia islam sedang mengalami kemerosotan, karena banyak umat islam yang menyibukkan diri dengan kesenangan duniawi seperti yang dilakukan oleh orang barat yang diungkapkan oleh Rasyid Ridha ketika beliau berada di Amerika Serikat. Sedangkan Muhammad Abduh membuat sebuah pembaharuan terhadap lembaga pendidikan islam di Mesir untuk lebih modern yaitu dengan mengadopsi budaya barat. Beliau merujuk pada peristiwa Napoleon yang pergi ke Mesir untuk mengenalkan kepada orang islam bahwa orang Barat membawa peradaban maju dan memamerkan kemajuan yang dimiliki terhadap orang islam. Ada sebuah kekaguman yang dirasakan orang islam sehingga menyadarkan diri orang islam mesir bahwa mereka tertinggal jauh dari orang barat. Melihat hal tersebut membuat adanya sebuah pembaharuan salah satunya adalah pendidikan yang dibawaan oleh Muhammad Abduh. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengirim orang islam untuk belajar di Eropa. Dan upaya untuk memperbaharui sistem pendidikan islam yang ada saat itu. Pendidikan diperbaharui dengan mengadopsi sistem pendidikan yang ada di Barat. Walaupun ada pertentangan terhadap ulama-ulama namun hal itu berjalan dan hasil yang positif untuk kemajuan bangsa islam.
            Upaya pembaharuan pendidikan islam di Indonesia juga dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Beliau bukan lagi memasuki wilayah kaum pedesaan yang memang sudah membudaya dengan islam, namun dengan mendirikan lembaga sekolah umum yang juga mengajarkan pendidikan islam. Pengajaran tidak hanya pendidikan umum saja namun juga ada pengajaran pendidikan islam. Hal ini merupakan suatu pembeda dimana ulama islam mendirikan sekolah umum bukan madrasah maupun pesantren. Sehingga upaya inilah yang mungkin menjadi motivasi sebagai pembaharu pendidikan islam di masa kemerdekaan.
            Sekolah yang dinaungi Ahmad Dahlan adalah sekolah yang berada di perkotaan yang mana mereka dekat dengan kaum bangsawan, dan dekat dengan kolonial. Hal ini menyebabkan lembaga yang dibawakan oleh Ahmad Dahlan di akui oleh pemerintah kolonial.  Apalagi dalam ajaran yang diserukan untuk kembali kepada al-Qur’an dan As-sunnah. Sehingga tidak mudah begitu saja untuk percaya terhadap suatu hal yang mistik. Dan sangat melarang adanya bid’ah yang menjangkit di dalam masyarakat. Ajaran inilah yang menyebabkan orang kota dengan mudah memeluk aqidah yang disampaikan oleh Ahmad Dahlan. Berbeda dengan orang desa yang mereka lebih memilih ajaran dari ormas Nahdhotul ‘Ulama yang dibawakan oleh Hasyim As’ari. Ajaran ini masih mengenal bid’ah hasannah, bahwa tidak semua bid’ah itu buruk dan memperbolehkan menjalankan bid’ah asalkan tidak menyimpang dari ajaran islam. Sehingga islam ini sangat membaur dengan budaya setempat, bahkan budaya hindu yang telah ada dapat berkolaborasi dengan islam, seperti acara 7 hari setelah kematian yang mengadopsi dari budaya hindu, dll.
            Hal inilah yang mungkin mendasari pembentukan madrasah yang tidak hanya mengajarkan pendidikan islam saja namun juga pendidikan umum. Sebenarnya telah terjadi di daerah padang terdapat madrasah yang pertama di bangun sekitar awal abad ke-20 an, namun dengan adanya upaya belanda untuk menguasai lembaga tersebut, maka lembaga pendidikan islam yaitu madrasah tersebut berubah nama menjadi HIS. Kelihatannya sulit untuk mengembangkan lembaga pendidikan islam waktu itu kecuali pesantren yang hanya mengajarkan pendidikan islam dengan menerapkan kurikulum yang mandiri.
            Jika melihat lembaga yang ada di era modern sekarang ini, bahwa pendidikan agama dan pendidikan umum menjadi suatu kolaborasi dalam suatu lembaga baik yang di bawah naungan kemendikbud maupun depag. Karena hal ini sesuai dengan tujuan dari pendidikan yang mulai diserukan pada era orde baru bahwa pendidikan islam menjadi mata pelajaran wajib di setiap lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, danhal ini bertahan sampai sekarang. Sedangkan pendidikan agama yang dinaungi depag seperti madrasah boleh membuka jurusan umum yang menandakan bahwa lembaga pendidikan islam tidak hanya menerapkan pendidikan islam saja namun juga pendidikan umum diterapkan dalam urikulumnya.
            Terlebih ketika ditetapkannya SKB3M di pertengahan orde baru bahwa lembaga pendidikan non-formal yang meliputi pesantren menjadi salah satu naungan depag, yang menguatkan kedudukan lembaga islam dan hal ini juga mulai membuka pendidikan umum dalam pesantren. Sedangkan kedudukan lembaga pendidikan islam mendapat kedudukan yang sejajar dengan pendidikan umum dengan menyesuaikan jenjang pendidikannya. Dan output yang dihasilkan dari lembaga pendidikan islam boleh melanjutkan ke pendidikan umum, begitupun sebaliknya.
           
REVIEW BUKU
Dr. Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Binang, 1984, tebal: xiv + 281 hlm
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasaqh Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986, tebal: xix + 261 hlm

DAFTAR PUSTAKA
Mustafa. (1998). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Zuhairini, dkk (2008). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta; Bumi Aksara

0 komentar:

Posting Komentar