Hari-hari Ramadan telah kita lalui dengan berbagai kegiatan dan aktivitas
yang galibnya lain dari hari-hari lain di bulan-bulan lain. Mulai dini hari, kaum muslimin
biasanya bersama-sama keluarga melakukan ‘ritual’ santap sahur; sore
ngabuburit, ‘membunuh waktu’ menunggu saat berbuka; lalu ‘ritual’ santap
buka; kemudian beramai-ramai melaksanakan salat Taraweh dan Tadarusan;
sampai acara-acara seremonial buka bersama, tarling (taraweh keliling),
dan ceramah-ceramah keagamaan.
Kegiatan-kegiatan lain biasanya juga
diupayakan dapat bernuansa ibadah, setidaknya dilabeli dengan label yang
mengesankan keislaman, seperti Roadshow Safari Ramadan; Gelar
Ta’jil; Konser Seni dan Dakwah, Takbir Akbar, dlsb.
Yang
mungkin agak tidak populer adalah kegiatan Ramadan model zaman kanjeng Nabi
Muhammad SAW: i’tikaf. Berdiam diri tafakur di rumah Tuhan. Bahkan agaknya memang ‘berdiam diri’ itu sendiri
sudah merupakan sesuatu yang mewah di zaman gaduh dan sibuk sekarang ini. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin
malah dianggap bukan kegiatan sama sekali.
Padahal
bulan suci Ramadan merupakan satu-satunya saat paling kondusif untuk melakukan
perenungan. Bulan yang citra, gaya, dan
nuansanya sama sekali beda dari sebelas bulan yang lain. Kalau bulan-bulan lain
lebih terasa duniawi, maka bulan yang satu ini terasa benar ‘ukhrawi’nya,
keakhiratannya. Bahkan pengusaha-pengusaha pun dalam mencari keuntungan
duniawi menemukan celah dalam kegiatan peribadatan bulan ini.
Boleh jadi karena minimnya
perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita sering keliru
dalam merasa, salah dalam anggapan, hanya karena kegiatan-kegiatan
rutin yang tidak sempat kita renungkan. Sikap atau kegiatan yang
sudah berlangsung lama, karena tidak pernah sempat kita renungkan, umumnya kita
anggap sudah benar dan karenanya kila langsungkan terus. Padahal bila
kita mau menyempatkan diri merenung, akan terbukti kekeliruannya. Kita ambil
contoh kecil: kegemaran kita bermain pengeras suara di mesjid-mesjid dan
mushalla-mushalla. Tidak hanya adzan yang kita lantunkan; tapi segala macam hal
yang kita anggap syiar dan Islami, kita kumandangakan ke seantero penjuru.
Agaknya kita jarang merenungkan: apakah hal seperti ini wajib, sunnah,
mubah, makruh, atau haram? Karena sudah berlangsung lama dan MUI tidak
pernah berfatwa makruh atau haram, maka kita pun tidak perlu bersusah
payah merenungkannya. Kita merasa sudah benar. Karena sudah berlangsung lama
dan tidak ada yang protes, kita pun tidak merasa perlu merenungkan apakah
suara-suara itu mengganggu orang atau tidak? Apakah mereka yang tidak protes,
meski terganggu itu, karena rela atau takut ?
Himbauan untuk menghormati
Ramadan bahkan sering disertai amar penutupan warung-warung, misalnya lagi,
karena sudah berlangsung setiap Ramadan, maka kita menganggapnya wajar. Padahal
dengan sedikit perenungan, kita akan segera tahu kejanggalannya. Contoh-contoh
lain masih banyak tentang keliru merasa dan salah anggapan akibat tiadanya
perenungan ini.
Salah merasa dan beranggapan ini
bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan
perlunya perenungan. Kita bisa merasa berbuat ibadah, padahal bukan. Kita
merasa beramar-makruf nahi-munkar, padahal sedang berbuat anarki.
Sebaliknya kita bisa menganggap sesuatu perbuatan sebagai amal duniawi
semata, padahal sangat ukhrawi.
Wakil–wakil rakyat yang ngotot
membangun gedung kantornya sedemikian megah dengan biaya dari rakyat sedemikian
besar, pastilah tidak sempat merenung tentang, misalnya, memadaikah
kegunaan gedung dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka serta besarnya
biaya? Apalagi berpikir tentang betapa tersakitinya rakyat yang mereka wakili
yang selama ini belum pernah merasakan nasibnya membaik karena mereka
perjuangkan.
Kelompok
yang dengan angkuh merasa paling benar dan paling mulia sendiri di sisi Allah
hanya karena berpakaian mirip Rasulullah SAW dan imamnya fasih melafalkan
satu-dua ayat, pastilah mereka
tidak sempat sedikit merenung, misalnya
bahwa Rasulullah SAW yang pakaiannya mereka tiru itu wajahnya
senantiasa tersenyum dan sama sekali tidak sangar seperti mereka.
Bahwa pribadi Rasulullah SAW yang agamanya hendak mereka bela , adalah
pribadi agung yang sangat santun; beradab baik di hadapan Allah maupun di
hadapan hamba-hambaNya. Pribadi yang tridak pernah melaknat dan menyakiti
sesama. Bahkan beliau bersabda dalam
hadis shahih: “Al-muslimu man
salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi “. Muslim sejati ialah orang yang selalu
menjaga agar lisan dan tangannya tidak melukai sesamanya.
Nah, apabila i’tikah dan tafakkur
kita kemarin-kemarin terasa kurang, kita masih punya waktu setidaknya untuk
merenungkan Ramadan kita,dan puasa kita bagi kepentingan memulai
kehidupan –terutama kehidupan keberagamaan kita -- yang baru, yang lebih
islami, yang lebih samawi, yang lebih manusiawi, yang lebih beradab.
Akhirnya, saya sampaikan Selamat
Hari Raya Fitri 1431. Kullu ‘aamin wa Antum bikhair. Mohon maaf lahir batin
atas segala kesalahan dan kekhilafan saya.
Mustofa Bisri
0 komentar:
Posting Komentar