Oleh DR.
KH. A. Mustofa Bisri
Pengasuh
Pondok Pesantren Roudlotut Thalibin Rembang
Suatu
ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada shahabat-shahabatnya: “Tahukah kalian siapa itu
yang disebut orang bangkrut?” Mereka pun menjawab, “Kalau di kita, orang bangkrut ialah orang
yang sudah tak lagi punya uang dan barang.”
Ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai
maksud lain. Terbukti beliau berkata: “Sesungguhnya
orang bangkrut di antara umatku ialah yang datang di hari kiamat kelak dengan
membawa pahala-pahala salat, puasa, dan zakat; namun dalam pada itu sebelumnya
pernah mencaci ini, menuduh itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu, dan
memukul ini. Maka dari pahala-pahala kebaikannya, akan diambil dan diberikan
kepada si ini dan si itu, kepada orang-orang yang yang telah ia lalimi. Jika
pahala-pahala kebaikannya habis sebelum semua yang menjadi tanggungannya
terhadap orang-orang dipenuhi, maka akan diambil dari keburukan-keburukan
orang-orang itu dan ditimpakan kepadanya; kemudian dia pun dilemparkan ke
neraka.” (Dari hadis shahih
riwayat imam Muslim bersumber dari shahabat Abu Hurairah). Na’udzu billah min dzalik.
Dari
pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut, kita menjadi tahu betapa pentingnya
menjaga hubungan baik dengan sesama. Sering sekali kita menyaksikan orang yang
mengaku umatnya Nabi Muhammad SAW seperti sangat mengandalkan amal ibadahnya
bagi keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat kelak. Orang ini begitu
yakin akan selamat dari neraka dan akan masuk ke sorga karena dia merasa sudah
melaksanakan sembahyang, puasa, zakat, dan haji. Bahkan sering kita melihat
orang yang seperti itu kemudian memandang sebelah mata kepada orang lain yang
dinilainya tidak setekun dia dalam beribadah.
Sedemikian yakinnya orang yang
mengandalkan amal ibadah ritualnya itu, sehingga acap kali tidak menghiraukan
orang lain dan tidak merasa perlu menjaga hubungan baik dengan sesama. Maka
kita menyaksikan setiap hari seorang muslim dengan ringan melecehkan sesama
saudaranya. Maka kita menyaksikan seorang haji –bahkan hampir setiap tahun naik
haji—yang memperlakukan buruh-buruhnya secara tidak manusiawi. Menyaksikan orang yang rajin puasa tapi
sekaligus rajin memakan harta rakyat. Kita menyaksikan orang yang rajin
sembahyang sekaligus rajin merampas hak orang lain. Kita menyaksikan
ustadz yang rajin mengkhotbahi orang dan sekaligus memprovokasi untuk melakukan
tindakan kekerasan terhadap sesama. Menyaksikan kelompok orang beragama tanpa
merasa bersalah melakukan tindakan sewenang-wenang kepada hamba-hamba Allah
karena merasa lebih benar dan lebih dekat kepadaNya. Dan seterusnya dan
sebagainya.
Melihat sabda Nabi Muhammad SAW di
atas, nyatalah bahwa meskipun orang pulang ke alam baka dengan membawa bekal
banyak berupa ibadah-ibadah ritual, bisa bangkrut bila tidak menjaga
hubungannya dengan sesama. Ketika di dunia banyak menyakiti dan merampas hak
orang.
Maka sungguh
bijaksana leluhur kita yang mentradisikan adanya halal-bi-halal setelah ritual
puasa Ramadan. Dengan puasa dan salat malam di bulan Ramadan, diharapkan dosa-dosa yang
langsung terhadap Allah, telah diampuni sesuai sabda Rasulullah SAW, “Man shaama Ramadhaana iimaanan waihtisaaban
ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi.”, Barangsiapa puasa
Ramadan karena iman dan mencari pahala Allah, maka akan diampuni dosanya yang
sudah-sudah. “Man qaama
Ramadhaana…” Barangsiapa
mendirikan ibadah di bulan Ramadan karena iman dan mencari pahala Allah, maka
akan diampuni dosanya yang sudah-sudah.
Setelah
itu untuk menyempurnakan kefitrian kita sebagai manusia, ditradisikanlah saling
bersilaturahmi dengan tujuan utama untuk saling memaafkan dan saling
menghalalkan. Halal-bi-halal. Jangan sampai
kesalahan-kesalahan terhadap sesama manusia kelak menjadi ganjalan dan menyita
modal amal baik kita. Dengan demikian
kita benar-benar lebaran, lepas dari ganjalan-ganjalan dan terbebaskan dari
dosa-dosa baik yang langsung terhadap Tuhan maupun yang terhadap sesama hamba.
Sayangnya, di zaman modern ini,
tradisi mulia lebaran dan halal-bi-halal tersebut sudah semakin terkikis
maknanya. Upacara ‘mudik’ yang terus berlangsung pun, umumnya lebih merupakan
ritual kangen-kangenan antar kerabat sendiri. Tradisi ‘open house’ juga lebih
merupakan kunjungan silaturahmi seremonial bawahan kepada atasan. Tidak
ada atau sudah jarang ada silaturahmi seperti dulu yang secara khusus berniat
melebur kesalahan dan mencari kehalalan tanggungan yang terlanjur diperbuat
terhadap sesama.
0 komentar:
Posting Komentar