Munculnya Teori Frankfurt

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahun 1923 menjadi ajang pembuktian bagi Max Horkheimer dan Theodor Adorno yang telah berhasil mengemukakan teori kritisnya yang terkenal saat iu di Jerman. Teori kritis sebagaimana namanya, diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap pemikiran dan tradisi-tradisi filsafat lain. Perkembanganya kemudian berlangsung melalui sebuah dialog. Kelahirannya berkarakter dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan kepada fenomena sosial. Maka tak heran bila inti dari teori kritis menurut Martin Jay adalah kebencian terhadap filosofis yang tertutup. Teori kritis tidak melihat dirinya hanya sebagai ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan dirinya dengan kekuatan progresif yang berkeinginan untuk menyatakan kebenaran. Oleh karena itu teori kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari pada tindakan.[1]
B. Rumusan Masalah











BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Teori Frankfurt
Pada bab ini kami ingin memperkenalkan anda dengan suatu tradisi berpikir yang disebut sebagai teori kritis. Teori kritis sifatnya sangat konkret, karena langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial yang mendesak di dalam masyarakat..Teori kritis memang mencapai puncak kejayaannya pada awal dan pertengahan abad kedua puluh. Sekarang ini banyak orang menganggapnya tinggal sekedar artifak yang tidak lagi relevan.
Memang harus diakui banyak analisis tajam yang dibuat oleh para pemikir Teori Kritis pada awal abad kedua puluh sudah jauh terpisah dengan realitas sekarang ini. Namun sekarang ini banyak pemikir muda yang mendedikasikan karya-karya mereka untuk mengembangkan analisis teori kritis ini. Tokoh yang pertama kali mengembangkan teori kritis secara sistematis adalah Horkheimer dan Marcuse. Mereka adalah para filsuf kontemporer. Walaupun dapat dinilai sebagai bagian dari filsuf kontemporer, namun banyak analisis mereka sudah terasa ketinggalan jaman. Itulah yang menjadi pendapat Axel Honneth.
Teori kritis tradisional yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat.
Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.
Ciri khas dari Teori Kritis, yang banyak juga dikenal sebagai sekolah Frankfurt, adalah keyakinannya pada kemampuan rasio manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan sosial. Namun ciri itu kini sudah banyak ditinggalkan, karena banyak filsuf tidak lagi yakin, bahwa akal budi mampu menyelesaikan semua persoalan kehidupan sosial manusia. Akal budi itu sifatnya partikular dan jamak. Tidak ada akal budi universal yang mampu menjadi titik tolak untuk pembebasan manusia, seperti yang dicita-citakan oleh Adorno dan Horkheimer. Salah satu alasannya adalah, karena akal budi manusia 800 telah dipersempit menjadi melulu soal-soal teknis instrumental, dan telah kehilangan kemampuan kritisnya. Misalnya di dalam sistem masyarakat kapitalis, akal budi lebih banyak digunakan untuk mencari uang dengan berbagai cara, daripada digunakan untuk bersikap kritis guna mencegah dampak-dampak negatif dari kapitalisme itu sendiri[4]
v Latar Belakang Pemikiran
Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa kecenderungan para filsuf sekarang ini tidak lagi ingin membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan ingin lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya ketidakadilan itu bukanlah sesuatu yang melulu universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu. Jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, maka kita harus terlebih dahulu memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Jadi Fungsi tori kritis adalah untuk menguji secara kritis kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di masyarakat dan berupaya mancari akar penyebabnya dengan membongkar apa yang tersembunyi dan membuat yang implisit menjadi eksplisit[5].
Di dalam salah satu tulisannya, yang memang bertujuan untuk merumuskan proyek teori kritis secara baru, Axel Honneth hendak menantang pendekatan yang hanya berusaha memahami lokalitas dan partikularitas dari suatu gejala ketidakadilan sosial. Ia ingin merumuskan suatu teori kritis yang bersifat universal sekaligus historis. Untuk bisa mewujudkan proyek itu, ia kemudian menempuh tiga langkah. Yang pertama Honneth hendak menegaskan kembali ide-ide dasar teori kritis tradisional, terutama yang terkait dengan kritik terhadap kapitalisme. Yang kedua ia juga ingin menegaskan, bahwa kapitalisme merupakan akar penyebab dari lemahnya cara berpikir kritis di dalam masyarakat. Dan yang ketiga ia ingin merumuskan suatu praksis politik yang tepat untuk menghadapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat kontemporer.
Proyek besar dari Honneth adalah merumuskan suatu bentuk teori kritis yang relevan dan cocok dengan problem-problem yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Dapat juga dibilang Honneth, dengan arah dan isi argumentasinya, adalah generasi ketiga teori kritis Frankfurt setelah Horkheimer dan Adorno (generasi pertama), serta Jürgen Habermas (generasi kedua).
Pada dasarnya teori kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir teori kritis bersikap negatif dan curiga terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.
Menurut Honneth teori kritis selalu melibatkan dua kategori analisis, yakni apa yang patologis (misalnya krisis di dalam masyarakat), dan apa yang tidak patologis (yang seharusnya terjadi). Horkheimer misalnya pernah merumuskan konsep organisasi yang tidak masuk akal (irrational organization). Adorno pernah merumuskan konsep dunia yang teradministrasi (administered world). Marcuse merumuskan konsep masyarakat satu dimensi (one dimensional society) dan konsep toleransi represif (repressive tolerance). Dan Habermas kemudian merumuskan konsep kolonisasi dunia kehidupan. Semua konsep itu sebenarnya menggambarkan satu hal, bahwa masyarakat yang ada sekarang ini mengalami berbagai krisis dan masalah sosial. Bentuk krisis dan masalah sosial tersebut terkandung di dalam analisis-analisis para pemikir teori kritis, sesuai dengan gayanya masing-masing.
Menurut Honneth ada satu hal yang kiranya bisa ditemukan di dalam pemikiran para filsuf tersebut, yakni mereka menjadikan lemahnya sikap kritis dan rasionalitas masyarakat sebagai sebab utama dari krisis sosial yang terjadi. “Mereka”, demikian Honneth, “menjaga relasi internal antara relasi-relasi patologis dan kondisi dari rasionalitas sosial.Konsekuensi logisnya adalah bahwa sikap kritis dari rasionalitas masyarakat (social rationality) haruslah dibangkitkan ulang. Jika teori kritis generasi ketiga, yang berfokus pada masalah-masalah kontemporer hendak dirumuskan, maka konsep rasio kritis harus juga dirumuskan ulang sesuai kondisi-kondisi sekarang.
Untuk membangkitkan rasio kritis guna menanggapi problem-problem sosial kontemporer, Honneth lalu menimba kembali ide-ide dari filsafat Hegel, terutama di dalam buku Hegel tentang filsafat politik, yakni Philosophy of Right. Menurut tafsiran Honneth buku Philosophy of Right tulisan Hegel mencoba menganalisis lenyapnya makna dari kehidupan politik pada masa itu. Dan bagi Hegel cara mengembalikan makna adalah dengan membangkitkan rasio obyektif di dalam sejarah. Rasio obyektif itu sudah ada, namun tertutup oleh hiruk pikuk sejarah dan krisis sosial yang terjadi.
Konsep rasio di dalam filsafat Hegel, menurut Honneth, sangatlah komprehensif. Hegel berusaha menggabungkan konsep rasio universal yang bergerak di dalam sejarah dalam bentuk peradaban di satu sisi, dan tuntutan etika yang sifatnya lokal dan partikular di sisi lain. Setiap orang diharapkan mampu mempertimbangkan aspek-aspek sejarah yang dominan pada situasi sekarang, dan mulai mengkaitkan aspek-aspek itu dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih bersifat lokal dan partikular.
Jika hal itu bisa dilakukan, maka mereka akan menjalani hidup yang bermakna. Hegel memberikan tempat bagi bentuk-bentuk pemikiran dominan, sekaligus bentuk-bentuk pemikiran yang sifatnya lokal. Yang terakhir ini disebut Hegel sebagai etika (ethics). Ia juga yakin bahwa semua krisis sosial terjadi, karena ketidakmampuan masyarakat menghidupi dan mengekspresikan nilai-nilai lokal yang mereka punyai. Mereka tidak mampu menegaskan dan mengekspresikan identitas lokal mereka.
Namun begitu para pemikir teori kritis kiranya juga yakin bahwa, selain kekuatan rasionalitas manusia, faktor kebebasan juga memainkan peranan penting. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan yang sifatnya kooperatif (cooperative freedom). Ada dua hal yang terkandung di dalam konsep kebebasan ini.Yang pertama adalah bahwa orang memiliki kemampuan dan kemauan untuk memilih cara-cara yang dianggapnya perlu guna mewujudkan potensi-potensi dirinya semaksimal mungkin. Yang kedua kepenuhan potensi diri itu hanya bisa dicapai, jika secara langsung beririsan dengan kebaikan seluruh masyarakat (common good). Kebaikan bersama seluruh masyarakat adalah kebaikan yang telah disepakati secara rasional oleh seluruh warga masyarakat yang memiliki kebebasan individual untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya.
Teori kritis setidaknya memiliki tujuan dasar,yaitu membongkar kesesatan-kesesatan berpikir dan bertindak di dalam masyarakat kapitalis, dan menawarkan sebuah teori untuk melakukan pembebasan dari kesesatan-kesesatan semacam itu.Ada lagi pendapat lain tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan[6]. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Dengan demikian teori kritis sungguh ingin menjadi suatu kritik sosial terhadap kapitalisme, sekaligus teori dengan maksud praktis untuk membebaskan masyarakat dari belenggu negatif kapitalisme yang menciptakan banyak krisis sosial. Proses pembebasan atau emansipasi tersebut ditempuh dengan pertama-tama mengacu pada kekuatan akal budi manusia. Rasionalitas dan penggunaannya secara maksimal di dalam kehidupan publik adalah kunci untuk melenyapkan penderitaan.
Walaupun percaya pada kekuatan rasionalitas sebagai alat untuk memperbaiki krisis sosial, namun para pemikir teori kritis memiliki ciri khas mereka masing-masing. Mereka juga yakin bahwa bahkan di dalam keadaan krisis paling gawat sekalipun, manusia selalu bisa menggunakan rasionalitasnya. Namun rasionalitas itu tidak hanya mengenai akal, logika, dan metode ilmiah semata. Seperti yang ditulis oleh Marcuse, dorongan kehidupan juga memilki aspek estetik yang melibatkan rasionalitas. Aspek estetik inilah yang memungkinkan manusia mengambil jarak dari krisis, dan kemudian melampauinya dengan menggunakan kekuatan rasionalitas. Tentu saja pendapat Marcuse tersebut sangatlah kontroversial. Aspek estetik seringkali tidak membawa manusia pada rasionalitas, namun justru menyesatkannya di dalam kebuntuan.
Habermas mencoba menjawab kebuntuan yang diciptakan Marcuse. Bagi Habermas rasionalitas manusia paling tampak di dalam kemampuannya berkomunikasi melalui bahasa. Bahasa adalah medium rasionalitas, karena memungkinkan manusia berkomunikasi untuk mencapai kesalingpengertian bersama. Namun komunikasi itu harus memenuhi syarat terlebih dahulu, yakni bahwa proses itu dilakukan di dalam suasana kebebasan dan kesetaraan antar subyek. Krisis sosial pun juga bisa diselesaikan dengan menggunakan rasionalitas yang diterjemahkan di dalam komunikasi ini.
Rasionalitas di dalam komunikasi ini, yang disebut Habermas sebagai rasionalitas komunikatif, adalah dasar dari semua proses pembebasan di dalam masyarakat yang tercengkeram oleh krisis sosial. Proyek besar teori kritis adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu dirinya, baik belenggu sosial maupun individual. Dan proyek itu hanya dapat terwujud, menurut Habermas, jika bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebaik-baiknya untuk menciptakan kesepakatan rasional tentang hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama.
Dari sini dapatlah disimpulkan tiga konsep yang kiranya menjadi kunci dari seluruh teori kritis, yakni kritik atas kapitalisme, rasionalitas universal, dan cita-cita pembebasan. Menurut Honneth ketiga konsep itu haruslah diterjemahkan untuk membaca kondisi jaman sekarang ini,[7]
v Kritik terhadap Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang sangat perfasiv pada awal abad 20. Ia dikemukakan oleh seorang filsuf Prancis, August Comte. Ia mengatakan bahwa di masa modern ini ilmu pengetahuan, budaya, politik tidak lagi bisa didasarkan pada teologi dan metafisika. Kehidupan manusia haruslah berlandaskan pada ilmu-ilmu positif yang bermetode verifikasi-empiris dan berbahasa logis-sistematis. Masyarakat yang rasional adalah masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok elite ilmuan yang terus meneliti masyarakat secara positivistic.
Positivisme kemudian menjadi model bagi ilmu-ilmu social yang memandang bahwa tujuan penelitian adalah merekonstruksi hukum-hukum kausal, yang bekerja dalam dalam suatu tatanan masyarakat yang bisa diverifikasi melalui empirical test.
Teori kritis memandang positivisme sebagai biang keledai kemandegan proses pencerahan, yaitu tatkala teori-teori tidak lagi emansipatoris, melainkan hanya fiksasi realitas dan mereduksinya pada apa yang terukur. Teori kritis memandang positivisme sebagai aliran yang melangengkan status quo (keadaan statis masyarakat). Hal itu dikarenakan positivisme hanya bertujuan memaparkan fakta-fakta secara objektif dan mencari hukum-hukum kausalistik yang terdapat di dalam suatu masyarakat.
Positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan social pada total pasitivity. Criteria bebas nilai yang diajukan membuat ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah pada suatu tatanan masyarakat.
Ilmuwan-illmuwan yang menganut positivisme secara ketat oleh aliran Frankfurt diberi sebutan mandarins. Mereka dapat didefinisikan sebagai: (a) intelektual teknis yang menggunakan keahlian mereka untuk mengabdi pada status quo; (b) sekelompok elite cultural yang memperoleh status social, terutama dari kualifikasi pendidikan, bukan dari hak bawaan / kekayaan.
Pendidikan turut berperan dalam menciptakan para intelektual-intelektual mandarins. Sistem pendidikan telah mengembangkan cara berpikir rasional-purposif. Sebagai contoh dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi para guru menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa tujuan belajar adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang berguna untuk dijual. Manusia modern berkeyakinan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi nilar tukar.
Sebagai kesimpulan, positivisme yang berkembang demikian pervasif dan menguasai seluruh wacana ilmu pengetahuan, mulai dari alam sampai manusia, telah menjadi ideologi yang dogmatis. Sosiologi adalah contoh konkret bagaimana positivisme dijadikan landasan metodologis maupun epistemologis untuk menganalisa masyarakat.
v Kritik terhadap Masyarakat Modern
Mazhab Frankfurt, terutama tokoh-tokohnya Horkhaimer, Adorno, dan Marcuse, melihat bahwa sejarah penindasan masih terus berlangsung bahkan di masa modern sekarang ini. Mereka melihat, dialektika pencerahan yang diawali dengan kebangkitan fajar budi dari belenggu mitos dan teologi telah berubah menjadi penindasan baru. Dialektika yang terjadi menurut mereka hanyalah dilihat dari sudut pandang positif (kemajuan iptek yang kan menghasilkan kesejahteraan dan kesempurnaan). Tetapi sejarah pencerahan telah terbalik kembali menjadi mitos baru yang membelenggu harkat dan martabat kemanusian. Perkembangan rasionalitas menurut mereka tidak lagi mengabdi pada kepentingan praksis moral (how to run a good life), melainkan menjadi suatu dominasi rasio instrumental.
Kritik teori kritis terhadap masyarakat modern menghujam pada satu sasaran, yakni rasio instrumental. Rasio instrumental adalah rasio yang melihat realitas sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total. Rasio instrumental memandang realitas (alam maupun manusia) sebagai objek untuk diklasifikasi, dikonseptualisasi, ditata secara efisien untuk tujuan apa pun yang dianggap penting oleh kekuasaan[9].
Rasio instrumental, menurut Marcuse, telah mereduksi manusia menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man), dimana semua aspek kehidupan manusia, seni, agama, ilmu pengetahuan, dan bahasa, direduksi pada kepentingan control teknis. Rasio instrumental tidak akan membawa masyarakat menjadi rasional, melainkan hanya menyembunyikan irasionalitas dengan kepentingan menguasai (kehendak unutk berkuasa, Nietzsche).
Masyarakat rasional menurut teori kritis adalah masyarakat yang terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan. Bekerjanya rasio instrumental dalam masyarakat tidak pernah membawa kepada suatu rational orderingof society, melainkan bentuk-bentuk fasisme (kapitalisme, nazisme, dan komunisme).
Sebagai kesimpulan, sasaran kritik teori kritis terhadap masyarakat modern adalah rasio instrumental. Rasio instrumental telah menciptakan suatu sistem dominasi baru. Menurut Horkhaimer, “dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, namun saat ini indutrialisme dengan rasio teknokratisnya membendakan jiwa-jiwa.” Demitologisasi yang menjadi proyek pencerahan (aufklarung) lewat rasionalisasi di segala bidang telah gagal karena rasionalisme telah menjadi mitos baru.
PENUTUP
Tiada kata yang pantas kita ucapkan kecuali rasa syukur kepada Sang Pencipta,yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.Dari berbagai uraian, pembahasan dan analisis yang tercantum di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Mahzab frankfrut mengembangkan suatu teori yang dinamakan teori kritis.teori kritis bukan sekedar kontemplasi pasif prinsip-prisip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris menurut mereka haruslah memenuhi tiga syarat : (a) bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya, seperti yang telah dilakukan pendahulu mereka.(b) berpikir secara historis,berpijak dalam masyarakat,dalam prosesnya yang historis, (c) tidak memisahkan teori dan praksis,tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Teori kritis selalu menolak untuk menjadi teori tradisional yang afirmati dan pro status quo (anti perubahan). teori tradisional dipahami sebagai perumusan prinsip-prisip umum dan final dalam melukiskan dan menafsirkan kenyataan.teori tradisional memisahkan fakta dari nilai dan berusaha mendapatkan hukum-hukum obyektif tentang realitas, yang bersifat informatif dan afirmatif terhadap kenyataan yang ada.
Dan kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini pasti terdapat banyak kesalahan, kekeliruan dan kekurangan, baik itu dari segi tulisannya, bahasanya ataupun yang lain, oleh karena itu kami mengharapkan kepada teman-teman sekalian serta segenap pihak yang bersangkutan, untuk dapat memberikan kritik dan sarannya, agar dapat kita benari bersama dan dapat kita ambil manfaatnya.
Amien...................
DAFTAR PUSTAKA
v Sejarah Mahzab Frankfrut,Martin Jay (Kreasi Wacana Yogyakarta,agustus, 2005).
v Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
v http://Rezaantonius.Miltiply. Com / tag /teori kritis.
v http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kritis.
v Adian,Donny gahral, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2006.
v Agus Nuryatno. M, Mazhab Pendidkan Kritis “Menyikapi Relasi Pengetahuan Pilotik dan Kekuasaan”, Resist Book, Yogyakarta.
v A Partanto. Plus, Dahlan al Barry. M, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya.


[1] 
[2] Marxisme: Ajaran politik komunisme (sosialisme) yang diajarkan oleh Karl Marx.
[3] Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajenasi dialektis dalam perkembangan teori kritis, Kresi wacana, Yogyakarta.
[4] Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
[5] Dr. M. Agus Nuryatno, mazhab pendidkan kritis “menyikapi relasi pengetahuan pilotik dan kekuasaan”, resist book, yogyakarta, hal 13.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kritis
[7] http://Rezaantonius.Miltiply.Com / tag /teori kritis
[8] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung,2006, hal 45.
[9] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta & bandung, 2006, hal 54.

0 komentar:

Posting Komentar