BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 1923 menjadi ajang pembuktian bagi Max Horkheimer dan Theodor Adorno yang telah
berhasil mengemukakan teori kritisnya yang terkenal saat iu di Jerman. Teori
kritis sebagaimana namanya, diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap
pemikiran dan tradisi-tradisi filsafat lain. Perkembanganya kemudian
berlangsung melalui sebuah dialog. Kelahirannya berkarakter dialektis
sebagaimana metode yang ingin diterapkan kepada fenomena sosial. Maka tak heran
bila inti dari teori kritis menurut Martin Jay adalah kebencian terhadap
filosofis yang tertutup. Teori kritis tidak melihat dirinya hanya sebagai
ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan dirinya dengan
kekuatan progresif yang berkeinginan untuk menyatakan kebenaran. Oleh karena
itu teori kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang
terpisah dan lebih penting dari pada tindakan.[1]
B. Rumusan Masalah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Teori Frankfurt
Pada bab ini kami ingin memperkenalkan anda dengan suatu
tradisi berpikir yang disebut sebagai teori kritis. Teori kritis sifatnya
sangat konkret, karena langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial
yang mendesak di dalam masyarakat..Teori kritis memang mencapai puncak
kejayaannya pada awal dan pertengahan abad kedua puluh. Sekarang ini banyak
orang menganggapnya tinggal sekedar artifak yang tidak lagi relevan.
Memang harus diakui banyak analisis tajam yang dibuat oleh para
pemikir Teori Kritis pada awal abad kedua puluh sudah jauh terpisah dengan
realitas sekarang ini. Namun sekarang ini banyak pemikir muda yang
mendedikasikan karya-karya mereka untuk mengembangkan analisis teori kritis
ini. Tokoh yang pertama kali mengembangkan teori kritis secara sistematis
adalah Horkheimer dan Marcuse. Mereka adalah para filsuf kontemporer. Walaupun
dapat dinilai sebagai bagian dari filsuf kontemporer, namun banyak analisis
mereka sudah terasa ketinggalan jaman. Itulah yang menjadi pendapat Axel
Honneth.
Teori kritis tradisional yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan
Theodor Adorno banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar
pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason)
masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi
dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap
dinamika masyarakat.
Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut
tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya
sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas
konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi
dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal.
Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada
kultur yang sifatnya lokal dan partikular.
Ciri khas dari Teori Kritis, yang banyak juga dikenal sebagai
sekolah Frankfurt, adalah keyakinannya pada kemampuan rasio manusia untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan sosial. Namun ciri
itu kini sudah banyak ditinggalkan, karena banyak filsuf tidak lagi yakin,
bahwa akal budi mampu menyelesaikan semua persoalan kehidupan sosial manusia.
Akal budi itu sifatnya partikular dan jamak. Tidak ada akal budi universal yang
mampu menjadi titik tolak untuk pembebasan manusia, seperti yang dicita-citakan
oleh Adorno dan Horkheimer. Salah satu alasannya adalah, karena akal budi
manusia 800 telah dipersempit menjadi melulu soal-soal teknis instrumental,
dan telah kehilangan kemampuan kritisnya. Misalnya di dalam sistem masyarakat
kapitalis, akal budi lebih banyak digunakan untuk mencari uang dengan berbagai
cara, daripada digunakan untuk bersikap kritis guna mencegah dampak-dampak
negatif dari kapitalisme itu sendiri[4]
v Latar Belakang Pemikiran
Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa kecenderungan para filsuf sekarang
ini tidak lagi ingin membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan ingin
lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan
partikular. Artinya ketidakadilan itu bukanlah sesuatu yang melulu universal,
melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu.
Jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, maka kita harus
terlebih dahulu memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian
berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk
memperjuangkan hak-hak mereka.
Jadi Fungsi tori kritis adalah untuk menguji secara kritis
kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di masyarakat dan berupaya mancari akar
penyebabnya dengan membongkar apa yang tersembunyi dan membuat yang implisit
menjadi eksplisit[5].
Di dalam salah satu tulisannya, yang memang bertujuan untuk
merumuskan proyek teori kritis secara baru, Axel Honneth hendak menantang
pendekatan yang hanya berusaha memahami lokalitas dan partikularitas dari suatu
gejala ketidakadilan sosial. Ia ingin merumuskan suatu teori kritis yang
bersifat universal sekaligus historis. Untuk bisa mewujudkan proyek itu, ia
kemudian menempuh tiga langkah. Yang pertama Honneth hendak
menegaskan kembali ide-ide dasar teori kritis tradisional, terutama yang
terkait dengan kritik terhadap kapitalisme. Yang kedua ia juga ingin
menegaskan, bahwa kapitalisme merupakan akar penyebab dari lemahnya cara
berpikir kritis di dalam masyarakat. Dan yang ketiga ia ingin
merumuskan suatu praksis politik yang tepat untuk menghadapi problem-problem
yang muncul di dalam masyarakat kontemporer.
Proyek besar dari Honneth adalah merumuskan suatu bentuk teori
kritis yang relevan dan cocok dengan problem-problem yang dihadapi masyarakat
sekarang ini. Dapat juga dibilang Honneth, dengan arah dan isi argumentasinya,
adalah generasi ketiga teori kritis Frankfurt setelah Horkheimer dan Adorno
(generasi pertama), serta Jürgen Habermas (generasi kedua).
Pada dasarnya teori kritis adalah suatu gaya berpikir yang
merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan
satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang
mendasari seluruh pemikir di dalam ranah teori kritis, yakni sikap negatifnya
pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir teori kritis bersikap negatif
dan curiga terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak
paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial
(social negativism). Setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi
yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan
Honneth teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi
juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni
iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.
Menurut Honneth teori kritis selalu melibatkan dua kategori analisis,
yakni apa yang patologis (misalnya krisis di dalam masyarakat), dan apa yang
tidak patologis (yang seharusnya terjadi). Horkheimer misalnya pernah
merumuskan konsep organisasi yang tidak masuk akal (irrational organization).
Adorno pernah merumuskan konsep dunia yang teradministrasi (administered
world). Marcuse merumuskan konsep masyarakat satu dimensi (one dimensional
society) dan konsep toleransi represif (repressive tolerance). Dan
Habermas kemudian merumuskan konsep kolonisasi dunia kehidupan. Semua konsep
itu sebenarnya menggambarkan satu hal, bahwa masyarakat yang ada sekarang ini
mengalami berbagai krisis dan masalah sosial. Bentuk krisis dan masalah sosial
tersebut terkandung di dalam analisis-analisis para pemikir teori kritis,
sesuai dengan gayanya masing-masing.
Menurut Honneth ada satu hal yang kiranya bisa ditemukan di dalam
pemikiran para filsuf tersebut, yakni mereka menjadikan lemahnya sikap kritis
dan rasionalitas masyarakat sebagai sebab utama dari krisis sosial yang
terjadi. “Mereka”, demikian Honneth, “menjaga relasi internal antara
relasi-relasi patologis dan kondisi dari rasionalitas sosial.Konsekuensi
logisnya adalah bahwa sikap kritis dari rasionalitas masyarakat (social
rationality) haruslah dibangkitkan ulang. Jika teori kritis generasi ketiga,
yang berfokus pada masalah-masalah kontemporer hendak dirumuskan, maka konsep
rasio kritis harus juga dirumuskan ulang sesuai kondisi-kondisi sekarang.
Untuk membangkitkan rasio kritis guna menanggapi problem-problem
sosial kontemporer, Honneth lalu menimba kembali ide-ide dari filsafat Hegel,
terutama di dalam buku Hegel tentang filsafat politik, yakni Philosophy of
Right. Menurut tafsiran Honneth buku Philosophy of Right tulisan
Hegel mencoba menganalisis lenyapnya makna dari kehidupan politik pada masa
itu. Dan bagi Hegel cara mengembalikan makna adalah dengan membangkitkan rasio
obyektif di dalam sejarah. Rasio obyektif itu sudah ada, namun tertutup oleh
hiruk pikuk sejarah dan krisis sosial yang terjadi.
Konsep rasio di dalam filsafat Hegel, menurut Honneth, sangatlah
komprehensif. Hegel berusaha menggabungkan konsep rasio universal yang bergerak
di dalam sejarah dalam bentuk peradaban di satu sisi, dan tuntutan etika yang
sifatnya lokal dan partikular di sisi lain. Setiap orang diharapkan mampu
mempertimbangkan aspek-aspek sejarah yang dominan pada situasi sekarang, dan
mulai mengkaitkan aspek-aspek itu dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih
bersifat lokal dan partikular.
Jika hal itu bisa dilakukan, maka mereka akan menjalani hidup yang
bermakna. Hegel memberikan tempat bagi bentuk-bentuk pemikiran dominan,
sekaligus bentuk-bentuk pemikiran yang sifatnya lokal. Yang terakhir ini
disebut Hegel sebagai etika (ethics). Ia juga yakin bahwa semua krisis sosial
terjadi, karena ketidakmampuan masyarakat menghidupi dan mengekspresikan
nilai-nilai lokal yang mereka punyai. Mereka tidak mampu menegaskan dan
mengekspresikan identitas lokal mereka.
Namun begitu para pemikir teori kritis kiranya juga yakin bahwa,
selain kekuatan rasionalitas manusia, faktor kebebasan juga memainkan peranan
penting. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan yang sifatnya
kooperatif (cooperative freedom). Ada dua hal yang terkandung di dalam konsep
kebebasan ini.Yang pertama adalah bahwa orang memiliki kemampuan dan
kemauan untuk memilih cara-cara yang dianggapnya perlu guna mewujudkan
potensi-potensi dirinya semaksimal mungkin. Yang kedua kepenuhan
potensi diri itu hanya bisa dicapai, jika secara langsung beririsan dengan
kebaikan seluruh masyarakat (common good). Kebaikan bersama seluruh masyarakat
adalah kebaikan yang telah disepakati secara rasional oleh seluruh warga
masyarakat yang memiliki kebebasan individual untuk mengembangkan
potensi-potensi dirinya.
Teori kritis setidaknya memiliki tujuan dasar,yaitu membongkar
kesesatan-kesesatan berpikir dan bertindak di dalam masyarakat
kapitalis, dan menawarkan sebuah teori untuk melakukan pembebasan
dari kesesatan-kesesatan semacam itu.Ada lagi pendapat lain tujuan teori
kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong
kebebasan, keadilan dan persamaan[6]. Teori ini
menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus
terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang
cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Dengan demikian teori kritis sungguh ingin menjadi suatu kritik
sosial terhadap kapitalisme, sekaligus teori dengan maksud praktis untuk
membebaskan masyarakat dari belenggu negatif kapitalisme yang menciptakan
banyak krisis sosial. Proses pembebasan atau emansipasi tersebut ditempuh
dengan pertama-tama mengacu pada kekuatan akal budi manusia. Rasionalitas dan
penggunaannya secara maksimal di dalam kehidupan publik adalah kunci untuk
melenyapkan penderitaan.
Walaupun percaya pada kekuatan rasionalitas sebagai alat untuk
memperbaiki krisis sosial, namun para pemikir teori kritis memiliki ciri khas
mereka masing-masing. Mereka juga yakin bahwa bahkan di dalam keadaan krisis
paling gawat sekalipun, manusia selalu bisa menggunakan rasionalitasnya. Namun
rasionalitas itu tidak hanya mengenai akal, logika, dan metode ilmiah semata. Seperti
yang ditulis oleh Marcuse, dorongan kehidupan juga memilki aspek estetik yang
melibatkan rasionalitas. Aspek estetik inilah yang memungkinkan manusia
mengambil jarak dari krisis, dan kemudian melampauinya dengan menggunakan
kekuatan rasionalitas. Tentu saja pendapat Marcuse tersebut sangatlah
kontroversial. Aspek estetik seringkali tidak membawa manusia pada
rasionalitas, namun justru menyesatkannya di dalam kebuntuan.
Habermas mencoba menjawab kebuntuan yang diciptakan Marcuse. Bagi
Habermas rasionalitas manusia paling tampak di dalam kemampuannya berkomunikasi
melalui bahasa. Bahasa adalah medium rasionalitas, karena memungkinkan manusia
berkomunikasi untuk mencapai kesalingpengertian bersama. Namun komunikasi itu
harus memenuhi syarat terlebih dahulu, yakni bahwa proses itu dilakukan di
dalam suasana kebebasan dan kesetaraan antar subyek. Krisis sosial pun juga
bisa diselesaikan dengan menggunakan rasionalitas yang diterjemahkan di dalam
komunikasi ini.
Rasionalitas di dalam komunikasi ini, yang disebut Habermas sebagai
rasionalitas komunikatif, adalah dasar dari semua proses pembebasan di dalam
masyarakat yang tercengkeram oleh krisis sosial. Proyek besar teori kritis
adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu dirinya, baik belenggu sosial
maupun individual. Dan proyek itu hanya dapat terwujud, menurut Habermas, jika
bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebaik-baiknya untuk menciptakan
kesepakatan rasional tentang hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama.
Dari sini dapatlah disimpulkan tiga konsep yang kiranya menjadi
kunci dari seluruh teori kritis, yakni kritik atas kapitalisme, rasionalitas
universal, dan cita-cita pembebasan. Menurut Honneth ketiga konsep itu haruslah
diterjemahkan untuk membaca kondisi jaman sekarang ini,[7]
v Kritik terhadap Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang sangat
perfasiv pada awal abad 20. Ia dikemukakan oleh seorang filsuf Prancis, August
Comte. Ia mengatakan bahwa di masa modern ini ilmu pengetahuan, budaya, politik
tidak lagi bisa didasarkan pada teologi dan metafisika. Kehidupan manusia
haruslah berlandaskan pada ilmu-ilmu positif yang bermetode verifikasi-empiris
dan berbahasa logis-sistematis. Masyarakat yang rasional adalah masyarakat yang
dipimpin oleh sekelompok elite ilmuan yang terus meneliti masyarakat secara
positivistic.
Positivisme kemudian menjadi model bagi ilmu-ilmu social yang
memandang bahwa tujuan penelitian adalah merekonstruksi hukum-hukum kausal,
yang bekerja dalam dalam suatu tatanan masyarakat yang bisa diverifikasi
melalui empirical test.
Teori kritis memandang positivisme sebagai biang keledai kemandegan
proses pencerahan, yaitu tatkala teori-teori tidak lagi emansipatoris,
melainkan hanya fiksasi realitas dan mereduksinya pada apa yang terukur. Teori
kritis memandang positivisme sebagai aliran yang melangengkan status quo
(keadaan statis masyarakat). Hal itu dikarenakan positivisme hanya bertujuan
memaparkan fakta-fakta secara objektif dan mencari hukum-hukum kausalistik yang
terdapat di dalam suatu masyarakat.
Positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan social pada total
pasitivity. Criteria bebas nilai yang diajukan membuat ilmuwan tidak mampu
melihat sesuatu yang salah pada suatu tatanan masyarakat.
Ilmuwan-illmuwan yang menganut positivisme secara ketat oleh aliran
Frankfurt diberi sebutan mandarins. Mereka dapat didefinisikan
sebagai: (a) intelektual teknis yang menggunakan keahlian mereka untuk mengabdi
pada status quo; (b) sekelompok elite cultural yang memperoleh status social,
terutama dari kualifikasi pendidikan, bukan dari hak bawaan / kekayaan.
Pendidikan turut berperan dalam menciptakan para intelektual-intelektual
mandarins. Sistem pendidikan telah mengembangkan cara berpikir
rasional-purposif. Sebagai contoh dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi
para guru menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa tujuan belajar adalah
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang berguna untuk dijual. Manusia
modern berkeyakinan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi
nilar tukar.
Sebagai kesimpulan, positivisme yang berkembang demikian pervasif
dan menguasai seluruh wacana ilmu pengetahuan, mulai dari alam sampai manusia,
telah menjadi ideologi yang dogmatis. Sosiologi adalah contoh konkret bagaimana
positivisme dijadikan landasan metodologis maupun epistemologis untuk
menganalisa masyarakat.
v Kritik terhadap Masyarakat Modern
Mazhab Frankfurt, terutama tokoh-tokohnya Horkhaimer, Adorno, dan
Marcuse, melihat bahwa sejarah penindasan masih terus berlangsung bahkan di
masa modern sekarang ini. Mereka melihat, dialektika pencerahan yang diawali
dengan kebangkitan fajar budi dari belenggu mitos dan teologi telah berubah
menjadi penindasan baru. Dialektika yang terjadi menurut mereka hanyalah
dilihat dari sudut pandang positif (kemajuan iptek yang kan menghasilkan
kesejahteraan dan kesempurnaan). Tetapi sejarah pencerahan telah terbalik
kembali menjadi mitos baru yang membelenggu harkat dan martabat kemanusian.
Perkembangan rasionalitas menurut mereka tidak lagi mengabdi pada kepentingan
praksis moral (how to run a good life), melainkan menjadi suatu dominasi rasio
instrumental.
Kritik teori kritis terhadap masyarakat modern menghujam pada satu
sasaran, yakni rasio instrumental. Rasio instrumental adalah rasio yang melihat
realitas sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara
total. Rasio instrumental memandang realitas (alam maupun manusia) sebagai
objek untuk diklasifikasi, dikonseptualisasi, ditata secara efisien untuk
tujuan apa pun yang dianggap penting oleh kekuasaan[9].
Rasio instrumental, menurut Marcuse, telah mereduksi manusia
menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man), dimana semua aspek
kehidupan manusia, seni, agama, ilmu pengetahuan, dan bahasa, direduksi pada
kepentingan control teknis. Rasio instrumental tidak akan membawa masyarakat
menjadi rasional, melainkan hanya menyembunyikan irasionalitas dengan
kepentingan menguasai (kehendak unutk berkuasa, Nietzsche).
Masyarakat rasional menurut teori kritis adalah masyarakat yang
terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan.
Bekerjanya rasio instrumental dalam masyarakat tidak pernah membawa kepada
suatu rational orderingof society, melainkan bentuk-bentuk fasisme
(kapitalisme, nazisme, dan komunisme).
Sebagai kesimpulan, sasaran kritik teori kritis terhadap masyarakat
modern adalah rasio instrumental. Rasio instrumental telah menciptakan suatu
sistem dominasi baru. Menurut Horkhaimer, “dahulu kala animisme menjiwakan
benda-benda, namun saat ini indutrialisme dengan rasio teknokratisnya
membendakan jiwa-jiwa.” Demitologisasi yang menjadi proyek pencerahan
(aufklarung) lewat rasionalisasi di segala bidang telah gagal karena
rasionalisme telah menjadi mitos baru.
PENUTUP
Tiada kata yang pantas kita ucapkan kecuali rasa
syukur kepada Sang Pencipta,yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan makalah ini.Dari berbagai uraian, pembahasan dan
analisis yang tercantum di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Mahzab frankfrut mengembangkan suatu teori yang dinamakan teori
kritis.teori kritis bukan sekedar kontemplasi pasif prinsip-prisip obyektif
realitas, melainkan bersifat emansipatoris menurut mereka haruslah memenuhi
tiga syarat : (a) bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya, seperti
yang telah dilakukan pendahulu mereka.(b) berpikir secara historis,berpijak
dalam masyarakat,dalam prosesnya yang historis, (c) tidak memisahkan teori dan
praksis,tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil
yang obyektif.
Teori kritis selalu menolak untuk menjadi teori tradisional yang
afirmati dan pro status quo (anti perubahan). teori tradisional dipahami
sebagai perumusan prinsip-prisip umum dan final dalam melukiskan dan
menafsirkan kenyataan.teori tradisional memisahkan fakta dari nilai dan
berusaha mendapatkan hukum-hukum obyektif tentang realitas, yang bersifat
informatif dan afirmatif terhadap kenyataan yang ada.
Dan kami sadar bahwa dalam
pembuatan makalah ini pasti terdapat banyak kesalahan, kekeliruan dan
kekurangan, baik itu dari segi tulisannya, bahasanya ataupun yang
lain, oleh karena itu kami mengharapkan kepada teman-teman sekalian
serta segenap pihak yang bersangkutan, untuk dapat memberikan kritik dan
sarannya, agar dapat kita benari bersama dan dapat kita ambil manfaatnya.
Amien...................
DAFTAR PUSTAKA
v Sejarah Mahzab Frankfrut,Martin Jay (Kreasi Wacana
Yogyakarta,agustus, 2005).
v Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik,
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
v http://Rezaantonius.Miltiply. Com / tag /teori kritis.
v http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kritis.
v Adian,Donny gahral, Percik Pemikiran Kontemporer,
Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2006.
v Agus Nuryatno. M, Mazhab Pendidkan Kritis “Menyikapi
Relasi Pengetahuan Pilotik dan Kekuasaan”, Resist Book, Yogyakarta.
v A Partanto. Plus, Dahlan al Barry. M, Kamus Ilmiah
Populer, Arkola, Surabaya.
[3] Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajenasi
dialektis dalam perkembangan teori kritis, Kresi wacana, Yogyakarta.
[5] Dr. M. Agus Nuryatno, mazhab pendidkan kritis “menyikapi
relasi pengetahuan pilotik dan kekuasaan”, resist book, yogyakarta, hal 13.
[9] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer,
Jalasutra, Yogyakarta & bandung, 2006, hal 54.
0 komentar:
Posting Komentar